Jumat, 03 September 2021

SEJARAH KITAB AL-BARZANJI

 

Al-Barzanji atau Berzanji adalah suatu do’a-do’a, puji-pujian dan penceritaan riwayat Nabi Muhammad saw yang biasa dilantunkan dengan irama atau nada. Isi Berzanji bertutur tentang kehidupan Nabi Muhammad saw yakni silsilah keturunannya, masa kanak-kanak, remaja, dewasa, hingga diangkat menjadi rasul. Didalamnya juga mengisahkan sifat-sifat mulia yang dimiliki Nabi Muhammad serta berbagai peristiwa untuk dijadikan teladan umat manusia.

Nama Barzanji diambil dari nama pengarangnya, seorang sufi bernama Syaikh Ja’far bin Husin bin Abdul Karim bin Muhammad Al – Barzanji. Beliau adalah pengarang kitab Maulid yang termasyur dan terkenal dengan nama Mawlid Al-Barzanji. Karya tulis tersebut sebenarnya berjudul ‘Iqd Al-Jawahir (kalung permata) atau ‘Iqd Al-Jawhar fi Mawlid An-Nabiyyil Azhar. Barzanji sebenarnya adalah nama sebuah tempat di Kurdistan, Barzanj. Nama Al-Barzanji menjadi populer tahun 1920-an ketika Syaikh Mahmud Al-Barzanji memimpin pemberontakan nasional Kurdi terhadap Inggris yang pada waktu itu menguasai Irak.

Kitab Maulid Al-Barzanji karangan beliau ini termasuk salah satu kitab maulid yang paling populer dan paling luas tersebar ke pelosok negeri Arab dan Islam, baik Timur maupun Barat. Bahkan banyak kalangan Arab dan non-Arab yang menghafalnya dan mereka membacanya dalam acara-acara keagamaan yang sesuai. Kandungannya merupakan Khulasah (ringkasan) Sirah Nabawiyah yang meliputi kisah kelahiran beliau, pengutusannya sebagai rasul, hijrah, akhlaq, peperangan hingga wafatnya. 

Syaikh Ja’far Al-Barzanji dilahirkan pada hari Kamis awal bulan Zulhijjah tahun 1126 di Madinah Al-Munawwaroh dan wafat pada hari Selasa, selepas Asar, 4 Sya’ban tahun 1177 H di Kota Madinah dan dimakamkan di Jannatul Baqi`, sebelah bawah maqam beliau dari kalangan anak-anak perempuan Junjungan Nabi saw.

Sayyid Ja’far Al-Barzanji adalah seorang ulama’ besar keturunan Nabi Muhammad saw dari keluarga Sa’adah Al Barzanji yang termasyur, berasal dari Barzanj di Irak. Datuk-datuk Sayyid Ja’far semuanya ulama terkemuka yang terkenal dengan ilmu dan amalnya, keutamaan dan keshalihannya. Beliau mempunyai sifat dan akhlak yang terpuji, jiwa yang bersih, sangat pemaaf dan pengampun, zuhud, amat berpegang dengan Al-Quran dan Sunnah, wara’, banyak berzikir, sentiasa bertafakkur, mendahului dalam membuat kebajikan bersedekah,dan pemurah.

Nama nasabnya adalah Sayid Ja’far ibn Hasan ibn Abdul Karim ibn Muhammad ibn Sayid Rasul ibn Abdul Sayid ibn Abdul Rasul ibn Qalandar ibn Abdul Sayid ibn Isa ibn Husain ibn Bayazid ibn Abdul Karim ibn Isa ibn Ali ibn Yusuf ibn Mansur ibn Abdul Aziz ibn Abdullah ibn Ismail ibn Al-Imam Musa Al-Kazim ibn Al-Imam Ja’far As-Sodiq ibn Al-Imam Muhammad Al-Baqir ibn Al-Imam Zainal Abidin ibn Al-Imam Husainibn Sayidina Ali r.a.

Semasa kecilnya beliau telah belajar Al-Quran dari Syaikh Ismail Al-Yamani, dan belajar tajwid serta membaiki bacaan dengan Syaikh Yusuf As-So’idi dan Syaikh Syamsuddin Al-Misri. Antara guru-guru beliau dalam ilmu agama dan syariat adalah : Sayid Abdul Karim Haidar Al-BarzanjiSyeikh Yusuf Al-KurdiSayid Athiyatullah Al-HindiSayid Ja’far Al-Barzanji telah menguasai banyak cabang ilmu, antaranya: Shoraf, Nahwu, Manthiq, Ma’ani, Bayan, Adab, Fiqh, Usulul Fiqh, Faraidh, Hisab, Usuluddin, Hadits, Usul Hadits, Tafsir, Hikmah, Handasah, A’rudh, Kalam, Lughah, Sirah, Qiraat, Suluk, Tasawuf, Kutub Ahkam, Rijal, Mustholah.

Syaikh Ja’far Al-Barzanji juga seorang Qodhi (hakim) dari madzhab Maliki yang bermukim di Madinah, merupakan salah seorang keturunan (buyut) dari cendekiawan besar Muhammad bin Abdul Rasul bin Abdul Sayyid Al-Alwi Al-Husain Al-Musawi Al-Saharzuri Al-Barzanji (1040-1103 H / 1630-1691 M), Mufti Agung dari madzhab Syafi’i di Madinah. Sang mufti (pemberi fatwa) berasal dari Shaharzur, kota kaum Kurdi di Irak, lalu mengembara ke berbagai negeri sebelum bermukim di Kota Sang Nabi. Di sana beliau telah belajar dari ulama’-ulama’ terkenal, diantaranya Syaikh Athaallah ibn Ahmad Al-Azhari, Syaikh Abdul Wahab At-Thanthowi Al-Ahmadi, Syaikh Ahmad Al-Asybuli. Beliau juga telah diijazahkan oleh sebahagian ulama’, antaranya : Syaikh Muhammad At-Thoyib Al-Fasi, Sayid Muhammad At-Thobari, Syaikh Muhammad ibn Hasan Al A’jimi, Sayid Musthofa Al-Bakri, Syaikh Abdullah As-Syubrawi Al-Misri.

Syaikh Ja’far Al-Barzanji, selain dipandang sebagai mufti, beliau juga menjadi khatib di Masjid Nabawi dan mengajar di dalam masjid yang mulia tersebut. Beliau terkenal bukan saja karena ilmu, akhlak dan taqwanya, tapi juga dengan kekeramatan dan kemakbulan doanya. Penduduk Madinah sering meminta beliau berdo’a untuk hujan pada musim-musim kemarau.

Pensyarahan Kitab al-Barzanji

Kitab Maulid Al-Barzanji ini telah disyarahkan oleh Al-’Allaamah Al-Faqih Asy-Syaikh Abu ‘Abdullah Muhammad bin Ahmad yang terkenal dengan panggilan Ba`ilisy yang wafat tahun 1299 H dengan satu syarah yang memadai, cukup elok dan bermanfaat yang dinamakan ‘Al-Qawl Al-Munji ‘ala Mawlid Al-Barzanji’ yang telah banyak kali diulang cetaknya di Mesir.

Di samping itu, telah disyarahkan pula oleh para ulama kenamaan umat ini. Antara yang masyhur mensyarahkannya ialah Syaikh Muhammad bin Ahmad ‘Ilyisy Al-Maaliki Al-’Asy’ari Asy-Syadzili Al-Azhari dengan kitab ’Al-Qawl Al-Munji ‘ala Maulid Al-Barzanji’. Beliau ini adalah seorang ulama besar keluaran Al-Azhar Asy-Syarif, bermazhab Maliki lagi Asy`ari dan menjalankan Thoriqah Asy-Syadziliyyah. Beliau lahir pada tahun 1217 H / 1802M dan wafat pada tahun 1299 H / 1882M.

Ulama kita kelahiran Banten, Pulau Jawa, yang terkenal sebagai ulama dan penulis yang produktif dengan banyak karangannya, yaitu Sayyidul Ulamail HijazAn-Nawawi Ats-TsaniSyaikh Muhammad Nawawi Al-Bantani Al-Jawi turut menulis syarah yang lathifah bagi Maulid al-Barzanji dan karangannya itu dinamakannya ‘Madaarijush Shu`uud ila Iktisaail Buruud’. Kemudian, Sayyid Ja’far bin Sayyid Isma`il bin Sayyid Zainal ‘Abidin bin Sayyid Muhammad Al-Hadi bin Sayyid Zain yang merupakan suami kepada satu-satunya anak Sayyid Ja’far al-Barzanji, juga telah menulis syarah bagi Maulid Al-Barzanj tersebut yang dinamakannya ‘Al-Kawkabul Anwar ‘ala ‘Iqdil Jawhar fi Maulidin Nabiyil Azhar’. Sayyid Ja’far ini juga adalah seorang ulama besar keluaran Al-Azhar Asy-Syarif. Beliau juga merupakan seorang Mufti Syafi`iyyah. Karangan-karangan beliau banyak, antaranya: “Syawaahidul Ghufraan ‘ala Jaliyal Ahzan fi Fadhaail Ramadhan”“Mashaabiihul Ghurar ‘ala Jaliyal Kadar” dan “Taajul Ibtihaaj ‘ala Dhauil Wahhaaj fi Israa` wal Mi’raaj”. Beliau juga telah menulis sebuah manaqib yang menceritakan perjalanan hidup dan ketinggian nendanya Sayyid Ja’far Al-Barzanji dalam kitabnya “Ar-Raudhul A’thar fi Manaqib As-Sayyid Ja’far”

Al-Barzanji dan Peringatan Maulid Nabi

Historisitas Al-Barzanji tidak dapat dipisahkan dengan momentum besar perihal peringatan maulid Nabi Muhammad saw untuk yang pertama kali. Maulid Nabi atau hari kelahiran Nabi Muhammad saw pada mulanya diperingati untuk membangkitkan semangat umat Islam. Sebab waktu itu umat Islam sedang berjuang keras mempertahankan diri dari serangan tentara salib Eropa, yakni dari Prancis, Jerman, dan Inggris.

Kita mengenal itu sebagai Perang Salib atau The Crusade. Pada tahun 1099 M tentara salib telah berhasil merebut Yerusalem dan menyulap Masjidil Aqsa menjadi gereja. Umat Islam saat itu kehilangan semangat perjuangan dan persaudaraan ukhuwah. Secara politis memang umat Islam terpecah-belah dalam banyak kerajaan dan kesultanan. Meskipun ada satu khalifah tetap satu dari Dinasti Bani Abbas di kota Baghdad sana, namun hanya sebagai lambang persatuan spiritual.

Adalah Sultan Salahuddin Yusuf Al-Ayyubi -dalam literatur sejarah Eropa dikenal dengan nama Saladin, seorang pemimpin yang pandai mengena hati rakyat jelata. Salahuddin memerintah para tahun 1174-1193 M atau 570-590 H pada Dinasti Bani Ayyub- katakanlah dia setingkat Gubernur. Meskipun Salahuddin bukan orang Arab melainkan berasal dari suku Kurdi, pusat kesultanannya berada di kota Qahirah (Kairo), Mesir, dan daerah kekuasaannya membentang dari Mesir sampai Suriah dan Semenanjung Arabia. Menurut Salahuddin, semangat juang umat Islam harus dihidupkan kembali dengan cara mempertebal kecintaan umat kepada Nabi mereka. Salahuddin mengimbau umat Islam di seluruh dunia agar hari lahir Nabi Muhammad SAW, yang setiap tahun berlalu begitu saja tanpa diperingati, kini harus dirayakan secara massal.

Sebenarnya hal itu bukan gagasan murni Salahuddin, melainkan usul dari iparnya, Muzaffaruddin Gekburi yang menjadi Atabeg (setingkat Bupati) di Irbil, Suriah Utara. Untuk mengimbangi maraknya peringatan Natal oleh umat Nasrani, Muzaffaruddin di istananya sering menyelenggarakan peringatan maulid nabi, cuma perayaannya bersifat lokal dan tidak setiap tahun. Adapun Salahuddin ingin agar perayaan maulid nabi menjadi tradisi bagi umat Islam di seluruh dunia dengan tujuan meningkatkan semangat juang, bukan sekadar perayaan ulang tahun biasa.

Ketika Salahuddin meminta persetujuan dari Khalifah di Baghdad yakni An-Nashir, ternyata Khalifah setuju. Maka pada musim ibadah haji bulan Dzulhijjah 579 H / 1183 M, Salahuddin sebagai penguasa Haramain (dua tanah suci, Mekah dan Madinah) mengeluarkan instruksi kepada seluruh jemaah haji, agar jika kembali ke kampung halaman masing-masing segera menyosialkan kepada masyarakat Islam di mana saja berada, bahwa mulai tahun 580 / 1184 M tanggal 12 Rabiul Awal dirayakan sebagai hari Maulid Nabi dengan berbagai kegiatan yang membangkitkan semangat umat Islam.

Pada mulanya gagasan Salahuddin ditentang oleh para ulama. Sebab sejak zaman Nabi peringatan seperti itu tidak pernah ada. Lagi pula hari raya resmi menurut ajaran agama cuma ada dua, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha. Akan tetapi Salahuddin kemudian menegaskan bahwa perayaan Maulid Nabi hanyalah kegiatan yang menyemarakkan syiar agama, bukan perayaan yang bersifat ritual, sehingga tidak dapat dikategorikan bid`ah yang terlarang.

Salah satu kegiatan yang di prakarsai oleh Sultan Salahuddin pada peringatan Maulid Nabi yang pertama kali tahun 1184 (580 H) adalah menyelenggarakan sayembara penulisan riwayat Nabi beserta puji-pujian bagi Nabi dengan bahasa yang seindah mungkin. Seluruh ulama dan sastrawan diundang untuk mengikuti kompetisi tersebut. Pemenang yang menjadi juara pertama adalah Syaikh Ja`far Al-Barzanji.

Ternyata peringatan Maulid Nabi yang diselenggarakan Sultan Salahuddin itu membuahkan hasil yang positif. Semangat umat Islam menghadapi Perang Salib bergelora kembali. Salahuddin berhasil menghimpun kekuatan, sehingga pada tahun 1187 (583 H) Yerusalem direbut oleh Salahuddin dari tangan bangsa Eropa, dan Masjidil Aqsa menjadi masjid kembali, sampai hari ini.

Kitab Al-Barzanji ditulis dengan tujuan untuk meningkatkan kecintaan kepada Rasulullah SAW dan meningkatkan gairah umat. Dalam kitab itu riwayat Nabi saw dilukiskan dengan bahasa yang indah dalam bentuk puisi dan prosa (nasr) dan kasidah yang sangat menarik. Secara garis besar, paparan Al-Barzanji dapat diringkas sebagai berikut: (1) Sislilah Nabi adalah: Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muttalib bin Hasyim bin Abdul Manaf bin Qusay bin Kitab bin Murrah bin Fihr bin Malik bin Nadar bin Nizar bin Maiad bin Adnan. (2) Pada masa kecil banyak kelihatan luar biasa pada dirinya. (3) Berniaga ke Syam (Suraih) ikut pamannya ketika masih berusia 12 tahun. (4) Menikah dengan Khadijah pada usia 25 tahun. (5) Diangkat menjadi Rasul pada usia 40 tahun, dan mulai menyiarkan agama sejak saat itu hingga umur 62 tahun. Rasulullah meninggal di Madinah setelah dakwahnya dianggap telah sempurna oleh Allah SWT.

Dalam Barzanji diceritakan bahwa kelahiran kekasih Allah ini ditandai dengan banyak peristiwa ajaib yang terjadi saat itu, sebagai genderang tentang kenabiannya dan pemberitahuan bahwa Nabi Muhammad adalah pilihan Allah. Saat Nabi Muhammad dilahirkan tangannya menyentuh lantai dan kepalanya mendongak ke arah langit, dalam riwayat yang lain dikisahkan Muhammad dilahirkan langsung bersujud, pada saat yang bersamaan itu pula istana Raja Kisrawiyah retak terguncang hingga empat belas berandanya terjatuh. Maka, Kerajaan Kisra pun porak poranda. Bahkan, dengan lahirnya Nabi Muhammad ke muka bumi mampu memadamkan api sesembahan Kerajaan Persi yang diyakini tak bisa dipadamkan oleh siapapun selama ribuan tahun.

Keagungan akhlaknya tergambarkan dalam setiap prilaku beliau sehari-hari. Sekitar umur tiga puluh lima tahun, beliau mampu mendamaikan beberapa kabilah dalam hal peletakan batu Hajar Aswad di Ka’bah. Di tengah masing-masing kabilah yang bersitegang mengaku dirinya yang berhak meletakkan Hajar Aswad, Rasulullah tampil justru tidak mengutamakan dirinya sendiri, melainkan bersikap akomodatif dengan meminta kepada setiap kabilah untuk memegang setiap ujung sorban yang ia letakan di atasnya Hajar Aswad. Keempat perwakilan kabilah itu pun lalu mengangkat sorban berisi Hajar Aswad, dan Rasulullah kemudian mengambilnya lalu meletakkannya di Ka’bah.

Kisah lain yang juga bisa dijadikan teladan adalah pada suatu pengajian seorang sahabat datang terlambat, lalu ia tidak mendapati ruang kosong untuk duduk. Bahkan, ia minta kepada sahabat yang lain untuk menggeser tempat duduknya, namun tak ada satu pun yang mau. Di tengah kebingungannya, Rasulullah saw memanggil sahabat tersebut dan memintanya duduk di sampingnya.. Tidak hanya itu, Rasul kemudian melipat sorbannya lalu memberikannya pada sahabat tersebut untuk dijadikan alas tempat duduk. Melihat keagungan akhlak Nabi Muhammad, sahabat tersebut dengan berlinangan air mata lalu menerima sorban tersebut namun tidak menjadikannya alas duduk, tetapi justru mencium sorban Nabi Muhammad saw tersebut.

Bacaan shalawat dan pujian kepada Rasulullah bergema saat kita membacakan Barzanji di acara peringatan maulid Nabi Mauhammad saw, Ya Nabi salâm ‘alaika, Ya Rasûl salâm ‘alaika, Ya Habîb salâm ‘alaika, ShalawatulLâh ‘alaika… (Wahai Nabi salam untukmu, Wahai Rasul salam untukmu, Wahai Kekasih salam untukmu, Shalawat Allah kepadamu…

Tujuan Peringatan Maulid dan Puji-pujian Kepada Rosulullah

Kemudian, apa tujuan dari peringatan maulid Nabi dan bacaan shalawat serta pujian kepada Rasulullah? Dr. Sa’id Ramadlan Al-Bûthi menulis dalam Kitab Fiqh Al-Sîrah Al-Nabawiyyah: “Tujuannya tidak hanya untuk sekedar mengetahui perjalanan Nabi dari sisi sejarah saja. Tapi, agar kita mau melakukan tindakan aplikatif yang menggambarkan hakikat Islam yang paripurna dengan mencontoh Nabi Muhammad saw.”

Sarjana Jerman peneliti Islam, Annemarie Schimmel dalam bukunya, Dan Muhammad adalah Utusan Allah: Penghormatan terhadap Nabi saw dalam Islam (1991), , menerangkan bahwa teks asli karangan Ja’far Al-Barzanji, dalam bahasa Arab, sebetulnya berbentuk prosa. Namun, para penyair kemudian mengolah kembali teks itu menjadi untaian syair, sebentuk eulogy bagi Sang Nabi. Pancaran kharisma Nabi Muhammad saw terpantul pula dalam sejumlah puisi, yang termasyhur: Seuntai gita untuk pribadi utama, yang didendangkan dari masa ke masa.

Untaian syair itulah yang tersebar ke berbagai negeri di Asia dan Afrika, tak terkecuali Indonesia. Tidak tertinggal oleh umat Islam penutur bahasa Swahili di Afrika atau penutur bahasa Urdu di India, kita pun dapat membaca versi bahasa Indonesia dari syair itu, meski kekuatan puitis yang terkandung dalam bahasa Arab kiranya belum sepenuhnya terwadahi dalam bahasa kita sejauh ini.

Secara sederhana kita dapat mengatakan bahwa karya Ja’far Al-Barzanji merupakan biografi puitis Nabi Muhammad saw. Dalam garis besarnya, karya ini terbagi dua: ‘Natsar’ dan ‘Nadhom’. Bagian Natsar terdiri atas 19 sub bagian yang memuat 355 untaian syair, dengan mengolah bunyi “ah” pada tiap-tiap rima akhir. Seluruhnya menurutkan riwayat Nabi Muhammad saw, mulai dari saat-saat menjelang beliau dilahirkan hingga masa-masa tatkala paduka mendapat tugas kenabian. Sementara, bagian Nadhom terdiri atas 16 sub bagian yang memuat 205 untaian syair, dengan mengolah rima akhir “nun”.

Dalam untaian prosa lirik atau sajak prosaik itu, terasa betul adanya keterpukauan sang penyair oleh sosok dan akhlak Sang Nabi. Dalam bagian Nadhom misalnya, antara lain diungkapkan sapaan kepada Nabi pujaan” Engkau mentari, Engkau rebulan dan Engkau cahaya di atas cahaya“.

Di antara idiom-idiom yang terdapat dalam karya ini, banyak yang dipungut dari alam raya seperti matahari, bulan, purnama, cahaya, satwa, batu, dan lain-lain. Idiom-idiom seperti itu diolah sedemikian rupa, bahkan disenyawakan dengan shalawat dan doa, sehingga melahirkan sejumlah besar metafor yang gemilang. Silsilah Sang Nabi sendiri, misalnya, dilukiskan sebagai “Untaian Mutiara”.

Betapapun, kita dapat melihat teks seperti ini sebagai tutur kata yang lahir dari perspektif penyair. Pokok-pokok tuturannya sendiri, terutama menyangkut riwayat Sang Nabi, terasa berpegang erat pada Alquran, hadist, dan sirah nabawiyyah. Sang penyair kemudian mencurahkan kembali rincian kejadian dalam sejarah ke dalam wadah puisi, diperkaya dengan imajinasi puitis, sehingga pembaca dapat merasakan madah yang indah.

Salah satu hal yang mengagumkan sehubungan dengan karya Ja’far Al-Barzanji adalah kenyataan bahwa karya tulis ini tidak berhenti pada fungsinya sebagai bahan bacaan. Dengan segala potensinya, karya ini kiranya telah ikut membentuk tradisi dan mengembangkan kebudayaan sehubungan dengan cara umat Islam diberbagai negeri menghormati sosok dan perjuangan Nabi Muhammad saw.

Kitab Al-Barzanji dalam bahasa aslinya (Arab) dibacakan dalam berbagai macam lagu; rekby (dibaca perlahan), hejas (dibaca lebih keras dari rekby ), ras (lebih tinggi dari nadanya dengan irama yang beraneka ragam), husein (memebacanya dengan tekanan suara yang tenang), nakwan membaca dengan suara tinggi tapi nadanya sama dengan nada ras, dan masyry, yaitu dilagukan dengan suara yang lembut serta dibarengi dengan perasaan yang dalam.

Di berbagai belahan Dunia Islam, syair Barzanji lazimnya dibacakan dalam kesempatan memeringati hari kelahiran Sang Nabi. Dengan mengingat-ingat riwayat Sang Nabi, seraya memanjatkan shalawat serta salam untuknya, orang berharap mendapat berkah keselamatan, kesejahteraan, dan ketenteraman. Sudah lazim pula, tak terkecuali di negeri kita, syair Barzanji didendangkan – biasanya, dalam bentuk standing ovation – dikala menyambut bayi yang baru lahir dan mencukur rambutnya.

Pada perkembangan berikutnya, pembacaan Barzanji dilakukan di berbagai kesempatan sebagai sebuah pengharapan untuk pencapaian sesuatu yang lebih baik. Misalnya pada saat kelahiran bayi, upacara pemberian nama, mencukur rambut bayi, aqiqah, khitanan, pernikahan, syukuran, kematian (haul), serta seseorang yang berangkat haji dan selama berada disana. Ada juga yang hanya membaca Barzanji dengan berbagai kegiatan keagamaan, seperti penampilan kesenian hadhrah, pengumuman hasil berbagai lomba, dan lain-lain, dan puncaknya ialah mau’idhah hasanah dari para muballigh atau da’i.

Kini peringatan Maulid Nabi sangat lekat dengan kehidupan warga Nahdlatul Ulama (NU). Hari Senin tanggal 12 Rabi’ul Awal kalender hijriyah (Maulud). Acara yang disuguhkan dalam peringatan hari kelahiran Nabi ini amat variatif, dan kadang diselenggarakan sampai hari-hari bulan berikutnya, bulan Rabius Tsany (Bakda Mulud). Ada yang hanya mengirimkan masakan-masakan spesial untuk dikirimkan ke beberapa tetangga kanan dan kiri, ada yang menyelenggarakan upacara sederhana di rumah masing-masing, ada yang agak besar seperti yang diselenggarakan di mushala dan masjid-masjid, bahkan ada juga yang menyelenggarakan secara besar-besaran, dihadiri puluhan ribu umat Islam.

Para ulama NU memandang peringatan Maulid Nabi ini sebagai bid’ah atau perbuatan yang di zaman Nabi tidak ada, namun termasuk bid’ah hasanah (bid’ah yang baik) yang diperbolehkan dalam Islam. Banyak memang amalan seorang muslim yang pada zaman Nabi tidak ada namun sekarang dilakukan umat Islam, antara lain: berzanjen, diba’an, yasinan, tahlilan (bacaan Tahlilnya, misalnya, tidak bid’ah sebab Rasulullah sendiri sering membacanya), mau’idhah hasanah pada acara temanten dan mauludan.

Dalam ‘Madarirushu’ud Syarhul’ Barzanji dikisahkan, Rasulullah SAW bersabda:

“Siapa menghormati hari lahirku, tentu aku berikan syafa’at kepadanya di hari kiamat.” 

Sahabat Umar bin Khattab secara bersemangat mengatakan:

“Siapa yang menghormati hari lahir Rasulullah sama artinya dengan menghidupkan Islam!”

By: https://www.ipnutrenggalek.or.id/

 

Jumat, 30 April 2021

POLITIK, NEOTRIBALISME, DAN ETIKA SOLIDARITAS

 

Republik kekerasan. Begitu mungkin sebutan yang cocok bagi republik tercinta ini. Sejarahnya disesaki siklus penundukan, kekerasan, darah, dan korban. Pelbagai peristiwa kekerasan datang silih berganti. Pembantaian kader PKI tahun 1965, peristiwa Tanjung Priok, penyerbuan markas PDI, tragedi Mei 1998, konflik Ambon, peristiwa Semanggi, dan sebagainya. Semuanya berlalu tanpa jejak yang berarti. Tersapu politik yang sudah demikian terstruktural oleh penundukan dan kekerasan. Politik yang berseberangan dengan hidup, kebebasan, dan kebaikan. Sesuatu yang hanya ada satu level di atas tribalisme kuno. Padahal, sejarah sebenarnya mengajarkan bagaimana berpolitik yang santun. Di masa Yunani Kuno, misalnya. Dalam polis (negara-kota) Atena, politik dijalankan tanpa kekerasan. Politik kekerasan dicibir sebagai politik tribal kaum barbar yang mengedepankan otot ketimbang otak. Para politisi Atena bekerja dengan persuasi, bukan koersi. Kerja yang diwadahi sebuah ranah publik. Ranah tempat segala urusan publik dibicarakan secara terbuka, bebas, dan rasional.

Politik sebagai proses deliberasi publik sendiri adalah persimpangan dalam sejarah politik. Momen bersejarah saat publik untuk pertama kali dilibatkan dalam proses politik yang rasional dan sehat. Proses ketika kebijakan politik tidak lagi diputuskan secara privat. Bukan seperti keputusan seorang ayah menyekolahkan anaknya di sekolah ternama. Dengan kata lain, politik bukan keputusan sepihak, ia membutuhkan legitimasi publik. Sebuah politik yang santun, meminjam istilah Dr Haryatmoko.

Ujian tengah semester bagi politik yang santun adalah bangkitnya neotribalisme dalam berbagai formatnya. Politik yang kembali menyempit dalam ruang-ruang privat tak berjendela. Keputusan diambil sepihak dengan membeku-matikan keterlibatan publik. Ranah publik diratakan dan prinsip-prinsip, seperti kebebasan, kesetaraan, dan solidaritas, dicampakkan jauh-jauh dari politik. Ini yang terjadi semasa rezim Orde Baru. Rezim neotribalisme yang bekerja begitu halus membungkam deliberasi publik. Kita masih bisa membaca beberapa semiopolitika neotribalisme Orde Baru. Pertama, politik diatur oleh doktrin tunggal yang mengurusi segalanya mulai dari urusan privat sampai publik. Kedua, akuntabilitas tubuh-tubuh politik menjadi kebal dari skrutinisasi publik. Ketiga, mekanisme penundukan menyebar di semua lini kehidupan: ekonomi, sosial, budaya, dan religi. Ketiganya berakar dari sebuah kebenaran sederhana: absennya deliberasi publik oleh proses penundukan halus yang menyerang kesadaran sosial secara simbolik.

Serangan simbolik paling halus adalah lewat pranata hukum. Serangan ini berpangku pada konsepsi umum positivisme hukum yang meleburkan moral dan hukum. Filsafat yang beranggapan bahwa hukum sendiri adalah sebuah legitimasi moral yang matang. Dengan kata lain, segalanya pasti beres secara moral asal konstitusional. Bertolak dari lapisan kesadaran yang mengental secara sosial ini, pelbagai produk perundang-undangan yang melegitimasi kekerasan dan penundukan dirumuskan. Dari yang paling nyata (UU Antiterorisme) sampai paling halus (UU Sisdiknas). Semuanya adalah kerja diam-diam yang sedikit demi sedikit menggerus hak-hak dasar warga negara.

Politik yang santun mensyaratkan seni berpolitik yang santun pula. Sayang, seni berpolitik republik ini berbicara lain. Seni berpolitik saya tipologikan menjadi dua. Pertama, seni berpolitik utilitaris. Seni berpolitik ini memandang segala sesuatu dari kacamata efektivitas. Ia memilah-milah mana isu yang strategis dan mana yang tidak. Apakah satu isu bisa memuluskan jalan ke singgasana kekuasaan atau tidak. Semuanya adalah soal polling, tak lebih! Dan, tampaknya pembelaan korban, rekonsiliasi, dan rehabilitasi hak-hak dasar bukan komoditas yang layak jual di pasar politik. Tak heran mengapa pelbagai rekomendasi humanitarian dari kelompok-kelompok sipil selalu saja mentah di tengah jalan. Kelompok-kelompok politik lebih berfokus pada isu strategis yang kondusif bagi aksentuasi kepentingan masing-masing.

Kedua adalah seni berpolitik futuris. Seni berpolitik yang selalu ingin meratakan masa lalu. Ia berpijak pada janji-janji keesokan: pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan sosial, tinggal landas, dan sebagainya. Semuanya berkisar seputar harapan-harapan, bukan kelukaan. Politik futuris selalu mengatakan, "Marilah kita lupakan masa lalu untuk bersama- sama membangun bangsa ini ke depan." Masa lalu adalah sumber konflik yang harus dikubur dalam-dalam. Semuanya cukup diselesaikan lewat kompromi elite. Rekonsiliasi menjadi sekadar seremonial yang kehilangan jejak pada ingatan sosial masyarakat.

Etika politik yang mendasari politik utilitaris dan futuris adalah etika yang berporos pada sektarianisme yang kuat. Etika yang membuat politik menjadi sekadar ajang perjuangan kepentingan kelompok yang menghamba pada instrumentalisasi nalar. Yang ada di pikiran tiap kelompok adalah bagaimana mengamankan kepentingannya sendiri dengan segala cara. Kebaikan dikacaukan dengan kesuksesan. Kekuasaan selalu dilihat sebagai konspirasi untuk menghabisi kelompok dengan kepentingan berbeda

Dua seni berpolitik itu saya tengarai masih bercokol kuat di republik ini. Dunia politik yang masih keruh oleh pertikaian dan perebutan kekuasaan. Dunia yang kehilangan panduan etika sosial yang ketat, kecuali etika utilitaris, di mana tujuan mengamini sarana. Atmosfer politik menjadi keruh oleh kecemasan, kecurigaan, dan kehendak untuk berkuasa. Sungguh sebuah iklim yang amat tidak kondusif bagi tumbuhnya demokrasi yang matang dan sehat. Demokrasi yang beralaskan sebuah etika sosial dan kesantunan politik. Sistem yang benar-benar menjamin lestarinya hak-hak dasar manusia dari terkaman kekuasaan.

Pertanyaan berikut: etika sosial macam apa yang harus dibangun? Milan Kundera, novelis Perancis kelahiran Ceko, mengatakan sesuatu tentang persahabatan. Persahabatan baginya adalah sesuatu yang lebih sublim ketimbang ras, agama, atau ideologi: sebuah relasi yang nonsektarian. Persahabatan adalah sebuah etika yang beralaskan saling pengakuan satu sama lain sebagai subyek moral yang setara. Etika yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip metasektarian, seperti kebebasan, kesetaraan, dan keadilan.

Bila persahabatan ditarik secara politis, maka hasilnya adalah apa yang disebut Hannah Arendt sebagai etika solidaritas. Sebuah etika yang menjamin bahwa politik tidak sekadar dijadikan sarana perjuangan primordialitas, tetapi penjamin kebaikan untuk semua. Namun, solidaritas di sini harus dibedakan dengan nilai- nilai, seperti kasih, perhatian, simpati, dan sebagainya. Semua itu masih dalam lingkup privat. Dalam lingkup publik, nilai-nilai itu harus mengalami transformasi politik lewat ranah publik.

Cinta dalam ranah privat bisa amat sektarian. Seorang ayah bisa demikian mencintai anaknya hingga melakukan apa pun demi kesuksesan anaknya. Seorang radikalis bisa demikian mengasihi kelompoknya hingga rela mengorbankan nyawanya lewat aksi bom bunuh diri. Etika solidaritas jauh dari kedua contoh itu. Etika solidaritas dalam politik mendorong cinta pada sebuah dimensi baru. Dimensi publik. Mencintai adalah melihat yang lain bukan sebagai musuh atau obyek ideologis, tetapi sebagai subyek politik yang setara. Mencintai juga berarti memberi kesempatan bagi semua perspektif untuk masuk dalam sebuah diskursus publik (ngambang).

Etika solidaritas adalah sarana sekaligus hasil sebuah ranah publik yang sehat. Disebut sarana karena melaluinya ranah publik menjadi sungguh-sungguh publik, bukan sekadar ajang perjuangan kepentingan jangka pendek. Dalam hal ini, ranah publik berfungsi mendesektarianisasi nilai-nilai privat. Di lain pihak, ranah publik yang sehat menghasilkan etika solidaritas yang kuat. Saat segala urusan dibicarakan secara terbuka dalam semangat kebersamaan guna menjamin kesetaraan dan kebebasan, lambat laun sebuah bangunan etika sosial yang kokoh akan berdiri.

Persoalannya, bagaimana menstrukturkan etika solidaritas dalam tubuh politik bangsa ini. Tubuh yang diwarisi rezim sebelumnya dalam kondisi memprihatinkan: koyak oleh politik kekerasan dan penundukan. Politik yang acuh terhadap hak-hak dasar manusia. Itu semua membuat perubahan mendasar dalam struktur politik bangsa ini bukan hal sepele. Paling tidak ada dua hal yang menjadi kunci perubahan. Pertama, struktur itu sendiri dan kedua, karakter politisi. Pertama bersifat sosial, sedang kedua individual. Keduanya berbeda, namun saling bertautan.

Menurut Giddens, struktur adalah kebiasaan yang berulang dan membuat pola. Hukum adalah salah satu sarana sekaligus hasil sebuah struktur. Dalam kontens sarana, bila ditengok produk perundang-undangan kita, masih banyak yang belum bisa lepas dari struktur penundukan. Banyak undang- undang yang bisa dijadikan justifikasi untuk perampasan hak- hak dasar manusia. Selain itu, fairness dalam politik masih belum tertampung sempurna dalam undang-undang. Undang- undang masih menjadi obyek sasaran manipulasi ideologis. Dengan kata lain, undang-undang masih dijadikan sarana memantapkan dominasi ideologis satu kelompok atas yang lain. Ini tentu amat tidak kondusif bagi moralitas yang berporos pada solidaritas.

Perubahan menuntut orang berkarakter kuat. Sebuah struktur, sekuat apa pun ia, akan berubah saat banyak orang berani mengambil jarak dari kesadaran dominan. Masalahnya, struktur bisa begitu dominan sehingga orang-orang berkarakter kuat pun bisa larut di dalamnya. Banyak kisah bagaimana cendekiawan yang semula terkenal vokal, kini menjadi the most loyal spokeperson of authority. Padahal, seperti ditegaskan Edward Said, fungsi pokok cendekiawan adalah berbicara kebenaran di hadapan kekuasaan. Ini membuat kita bertanya-tanya seputar maraknya cendekiawan terjun ke politik. Apakah mereka akan membuat perubahan atau lenyap dalam pusaran habitus yang sudah mengendap lama.

Pendidikan menjadi instrumen strategis guna membangun karakter politik nonsektarian. Sayang, ia pun menjadi sasaran strategis kelompok sektarian untuk menancapkan kukunya. Pendidikan yang seharusnya menghasilkan insan yang memiliki daya pertimbangan otonom, menjadi ajang indoktrinasi ideologis yang tertutup bagi nilai-nilai solidaritas. Ini membuat perbincangan mengenai pendidikan kewarganegaraan kembali relevan. Bukan semata-mata pendidikan teknis mengenai tata cara penyelenggaraan negara. Namun, pendidikan yang menanamkan moral politik yang berpijak pada solidaritas, kebebasan, dan keadilan. Pendidikan yang akan menghasilkan insan-insan yang tidak saja melek politik, namun mampu menjalankannya secara etis dan rasional. Kader-kader bangsa yang tahu bagaimana berpolitik secara santun.

oleh : Donny Gahral Adian Ketua Asosiasi Praktisi Filsafat Indonesia