Rabu, 20 Juli 2011

MELURUSKAN PELAJARAN SEJARAH INDONESIA


Dibandingkan dengan buku-buku populer, buku-buku sejarah termasuk yang kurang laku di pasaran. Bisa dikatakan, pengetahuan sejarah masyarakat Indonesia pada umumnya sangat rendah. Biasanya, pengetahuan sejarah hanya didapat dari bangku-bangku sekolah. Kecenderungan sikap kritis berbagai cerita sejarah sangat lemah. Padahal, pelajaran sejarah di sekolah-sekolah menempati posisi paling penting dan strategis dalam mengembangkan kesadaran sejarah masyarakat.

Ironisnya, “pengajaran sejarah” di negeri ini belum menemukan bentuk dan arah yang jelas. Sejak era Kemerdekaan 1945 sampai sekarang, pola dan isi pengajaran sejarah terus berubah. Setiap terjadi perubahan politik, maka tujuan, pola, dan isi kurikulum pelajaran sejarah pun berubah. Ada dua tesis yang menggambarkan terjadinya perubahan seperti itu. Pertama, berjudul Sejarah Pendidikan di Indonesia: Sebuah Telaah atas Perubahan Kurikulum Sejarah Indonesia Sekolah Menengah Atas Tahun 1975-1994, ditulis Umiasih (Departemen Sejarah UI: 2000). Kedua, berjudul Penulisan Buku Pelajaran Sejarah Indonesia untuk Sekolah Menengah Atas 1964 – 1984: Sejarah Demi Kekuasaan,  oleh dan Darmiasti (Departemen Sejarah UI: 2002). Disimpulkan, sampai saat ini tidak pernah ditemukan pelajaran sejarah yang pas. Buku-buku sejarah masih dipenuhi mitos yang diciptakan penguasa dengan mengabaikan penemuan fakta-fakta baru. 

Pendekatan Indonesia-centris
Pendekatan Indonesia-centris membuat mitos bahwa “Indonesia” sudah memiliki jati dirinya sendiri sejak zaman Sriwijaya dan Majapahit. Padahal sampai hari ini, yang disebut karakter “Indonesia” sebagai suatu bangsa belum bisa didefinisikan dengan jelas. Di negara yang bernama “Indonesia” ini terakumulasi berbagai karakter dan kepribadian “bangsa” yang lebih dikenal dengan istilah “suku-bangsa”. Suku-suku bangsa ini yang sesungguhnya ada, sementara “Indonesia” sebagai bangsa tidak pernah sungguh-sungguh ada. Para ahli sampai hari tidak pernah bisa merumuskan secara pasti apa yang disebut “Indonesia”. Sunda, Jawa, Batak, Minang, dan lainnya lebih mudah dirumuskan secara kultural dibandingkan merumuskan apa yang disebut “Indonesia”.

Sebetulnya, sejak awal muncul kebangkitan nasional, yang dimaksud dengan “nasionalisme” adalah “keinginan bersatu membentuk satu negara”, bukan untuk melebur identitas menjadi satu dengan sebutan “Indonesia”. Selain tidak realistis, juga tidak ditemukan akar historisnya. Oleh sebab itu, slogan yang muncul adalah Bhineka Tunggal Ika (berbada-beda tapi satu [tujuan], yaitu negara Indonesia). Akan tetapi, kemudian “nasionalisme” dipaksakan menjadi kesatuan identitas kultural, terutama sejak Orde Baru. Penguasa Orde Baru terlalu memaksakan perumusan identitas dan ideologi “Indonesia”. Lebih parah lagi “Indonesia” didefinisikan sebagai bukan ekstrim kanan yang berhaluan Islam dan bukan ekstrim kiri yang berhaluan komunis. Akibatnya, yang berkembang justru Kristenisasi dan sekularisme yang diimpor dari Eropa Barat.

Penekanan identitas Indonesia yang bukan Islam dan bukan komunis, memunculkan interpretasi yang terlampau dipaksakan,  bahwa kesatuan Indonesia sudah terbentuk sejak zaman Sriwijaya dan Majapahit. Padahal, dua kerajaan itu jelas tidak mewakili Indonesia yang begitu luas. Sriwijaya dan Majapahit sendiri tidak pernah menjadi satu kerajaan. Masing-masing berdiri sendiri, padahal pernah sezaman. Cerita Majapahit dimasa Hayam Wuruk yang katanya pernah menyatukan Nusantara pun diragukan apakah sungguh-sungguh menyatukan wilayah-wilayah itu secara efektif. Buktinya, setelah Hayam Wuruk mangkat, wilayah-wilayah yang sebelumnya menyerahkan upeti kepada Majapahit menolak untuk menyerahkannya lagi. Beberapa justru melakukan penyerangan seperti Wiraraja dari Madura. Ini memperlihatkan bahwa dalam kasus ini kekuatan militer Hayam Wuruk-lah yang ditakuti hingga beberapa wilayah di Nusantara hingga mereka memilih menyerahkan upeti sebagai tanda menyerah daripada kerajaannya harus hancur. Setelah Hayam Wuruk tidak ada, mereka berani kembali menolak berada di bawah Majapahit. Majapahit pun tidak berani menyerang karena kekuatannya semakin melorot.

Apakah masuk akal bila konsepsi Indonesia yang menjadi cikal bakal “bangsa” Indonesia sudah terbentuk sejak saat itu? Jelas ini terlalu dipaksakan dan cenderung mengada-ada. Bahkan, jika merujuk pada Denys Lombard (Nusa Jawa Silang Budaya Jilid II, Gramedia: 2006), maka yang berkembang di kalangan akademisi adalah bahwa Indonesia terbentuk karena kolonialisme Belanda, jauh berabad-abad setelah era Sriwijaya-Majapahit. Buktinya lebih kongkrit dan lebih mudah dimengerti. Bukankah wilayah yang sekarang menjadi Indonesia adalah wilayah yang dulu dikuasai oleh Hindia Belanda.

Lombard sendiri menolak argumen ini. Ia justru membalik pertanyaan kenapa Belanda sampai bisa relatif mudah menguasai wilayah yang sekarang menjadi Indonesia ini? Berdasarkan bukti-bukti yang berhasil dikumpulkannya, justru Lombard menemukan jawaban bahwa Belanda menjadi mudah menguasai wilayah ini dan menyatukannya di bawah payung Hindia-Belanda karena sebelumnya wilayah-wilayah ini telah disatukan oleh jaringan para pedagang Muslim yang akhirnya membentuk kekuasaan Islam di berbagai wilayah. Antara satu penguasa dengan penguasa lain telah saling berhubungan secara intensif.
Sebagai bukti nyata adalah terciptanya “bahasa Melayu” baru sebagai lingua franca di antara mereka. Bahasa Melayu baru ini adalah bahasa Melayu yang telah diislamisasi secara intensif peristilahan-peristilahannya yang menunjukkan pengaruh Isam yang sangat kuat.

Argumen ini dikuatkan oleh temuan Goerge Mc. Turnan Kahin (Nasionalisme dan Revolusi, UNS Press: 1995) bahwa faktor paling penting yang memudahkan terciptanya nasionalisme Indonesia (dalam pengertian ingin untuk bersatu membentuk pemerintahan sendiri lepas dari Belanda) adalah faktor kesamaan bahasa dan agama (Islam), di samping perasaan senasib sama-sama dijajah Belanda.

Kenyataan-kenyataan seperti di atas justru diabaikan dalam buku-buku pelajaran sejarah Indonesia yang sayangnya menjadi rujukan utama terbentuknya pengetahuan sejarah masyarakat Indonesia. Alhasil, Islam dalam sejarah Indonesia selalu diposisikan hampir sama dengan PKI (Partai Komunis Indonesia), yaitu sebagai musuh negara. Beruntung penganut Islam adalah mayoritas sehingga nasibnya tidak setragis PKI. Namun, kesan permusuhan terhadap Islam tetap terbentuk sampai saat ini, terlebih lagi setelah mencuatnya isu terorisme. Permusuhan global Amerika terhadap Islam dijadikan alat untuk semakin memperkuat permusuhan “negara” di Indonesia terhadap agama mayoritas rakyatnya sendiri.

Sejarah ”Anti-Islam”
 Selain problem konsepsi Indonesia yang cukup fundamental,  buku-buku pelajaran sejarah juga menyisakan persoalan krusial dalam pemilihan dan penggambaran tokoh-tokoh yang dimunculkan dalam sejarah. Ini sebetulnya hanyalah problem turunan dari kesalahan konsepsi mengenai Indonesia. Sebagai konsekuensi konsepsi Indonesia yang sekular (baca: anti-Islam), tokoh-tokoh sejarah pun digambarkan dan diinterpretasikan sebagai tokoh-tokoh sekuler. Seorang Diponegoro yang santri dan sangat taat menjalankan Islam digambarkan sebagai seorang Jawa-sekuler. Ia pergi menyepi untuk “bersamadi” memperdalam ilmu kebatinan. Interpretasi semacam ini sengaja dimunculkan dan dibesar-besarkan untuk memperkuat kesan bahwa tokoh-tokoh dalam sejarah Indonesia adalah tokoh yang tidak terlalu pro-Islam.

Interpretasi ini jelas sulit diterima bila memperhatikan bagaimana kedekatan Diponegoro dengan para ulama dan kiai seperti Kiai Mojo dan lainnya. Belum lagi, mempertimbangkan digelorakannya Perang Sabil (jihad fî sabîlillâh) dalam Perang Diponegoro (Perang Jawa, 1825-1830) yang merupakan perang terbesar yang dihadapi Belanda sepanjang sejarah ada di Nusantara. Sebagai konsekwensi turunan berikutnya, buku-buku pelajaran sejarah Indonesia yang diajarkan di sekolah-sekolah begitu enggan memberikan porsi sewajarnya kepada gerakan-gerakan Islam sejak zaman Kebangkitan Nasional (awal abad ke-20) sampai zaman reformasi. Seolah-olah organisasi-organisasi pergerakan Islam seperti Sarekat Islam, Muhammadiyah, NU, Persis, Masyumi, dan sebagainya tidak memiliki peran siginifikan dalam membentuk “Indonesia”.

Kalau harus dirunut semua, tentu masih banyak lagi konsekuensi turunan lain dari penulisan sejarah sekular yang ujung-ujungnya adalah memberangus peran Islam dalam sejarah Indonesia. Unsur-unsur dan nuansa sekuler sejarah Indonesia dibuat menjadi sangat dominan. Inilah sesungguhnya masalah fundamental dalam penulisan sejarah Indonesia. Jika perpektif Indonesia-centris yang sekular ini tidak diperbaiki, sulit mengharapkan terjadinya perbaikan pengajaran sejarah di negeri ini. Perbaikan harus dimulai dengan mengembalikan defini “Indonesia” kepada kenyataan sejarah terbentuknya Indonesia sendiri. (Harian Republika Edisi Kamis, 15 Juli 2010

Jumat, 08 Juli 2011

ENERGI SPIRITUALITAS




Energi spiritualitas sering juga disebut energi batin yang tidak jauh berbeda dengan jenis energi lain. Di beberapa tempat di bumi ini ada yang menyebut energi spiritualitas sebagai Reiki, Chi, Ki, Manna dan lain-lain, yang sering juga disebut Universal Life Force Energy. Namun pada dasarnya sama, yaitu energi yang berasal dari jiwa, roh, batin, semangat, atau sejenisnya yang berasal dari diri makhluk hidup. Tanpa energi spiritualitas ini, maka kemampuan-kemampuan ajaib tersebut akan sulit dimunculkan. Untuk lebih ringkasnya, berikut sejumlah jenis klasifikasi penerapan energi spiritualitas (energi batin) tersebut:

Telekinesis

Telekinesis yaitu suatu kemampuan batin yang mampu menggerakkan obyek fisik tanpa menyentuh obyek tersebut. Kemampuan ini juga termasuk merekonstruksi bentuk obyek tanpa menyentuhnya. Sebenarnya telekinesis dapat dipelajari dengan mudah, asalkan memiliki kemampuan konsentrasi yang tinggi dan memiliki energi batin yang mencukupi. Kemampuan yang dekat dengan telekinesis adalahPsikokinesis. Kemampuan ini mampu mempengaruhi psikologi seseorang atau makhluk hidup hanya dengan kemampuan fikirannya. Kemampuan inilah yang sering disalahgunakan, seperti pengasihan, gendam, hingga hipnosis.


Vision atau Penglihatan. 
Ada dua kategori penglihatan, yaitu penglihatan terhadap benda halus atau makhluk halus, dan penglihatan terhadap kejadian yang akan datang. Dua kemampuan tersebut sebenarnya telah dimiliki oleh manusia sejak lahir, namun karena seiring bertambahnya umur dan berkembangnya cara fikir kita yang cenderung materialistik, maka kemampuan tersebut lambat laut hilang. Namun sebagian kecil dari kita masih memiliki kemampuan tersebut dan itu bisa terjadi karena banyak faktor, seperti keturunan, perilaku sufistik, hingga mengalami kejadian yang hampir mati (Near Death Experience).

Materialisasi
Kemampuan ini dapat menciptakan obyek-obyek fisik, bahkan dapat disentuh, serta mampu menghilangkan obyek fisik. Kemampuan ini hanya mampu dilakukan oleh mereka yang telah memasuki tahapan yang lebih tinggi dalam penguasaan energi batin. Ingat cerita Sunan Kalijaga yang mampu mengubah bukit menjadi bukit emas? Itulah salah satu kemampuan dari materialisasi. Kemampuan ini juga seringkali disalahgunakan untuk hal-hal yang bisa mencelakakan orang lain, seperti santet dan teluh.

Healing atau Penyembuhan. 
Kemampuan ini yang paling sering dipakai oleh para penggunanya. Selain secara teknis penggunaannya lebih mudah, juga memberi kepuasan batin yang luar biasa apabila mampu mengobati orang lain sehingga memperkuat kemampuan batinnya sendiri.

Transformasi
Memiliki tingkat kesulitan yang tinggi, mereka yang memiliki kemampuan transformasi bisa mengubah diri atau bagian tubuh sendiri menjadi sesuatu yang diinginkan. Contoh kongkrit ialah kemampuan mengubah tubuh menjadi binatang, semisal harimau, atau memunculkan api pada tangan. Kemampuan ini tentu secara riil sangat luar biasa, namun dalam khasanah penggunaan energi batin, hal itu tidak mustahil untuk dipelajari.

Levitation
Levitation adalah kemampuan tubuh untuk melayang di atas tanah tanpa bantuan. Kemampuan ini sudah jarang dipelajari karena sulitnya mempelajari hal itu. Sedangkan kemampuan lain yang mirip dengan levitation adalah teleportasi. Teleportasi adalah suatu kemampuan yang mampu memindahkan diri dari satu tempat ke tempat lain. Kemampuan ini juga sudah mulai jarang dipelajari, namun di jaman dulu kemampuan ini dimiliki oleh para pemuka agama atau para pertapa. Ilmu halimunan adalah salah satu contoh kemampuan teleportasi.

Telepati
Telepati adalah kemampuan untuk melakukan komunikasi batin atau fikiran dengan orang lain. Ini merupakan salah satu kemampuan batin yang bisa dipelajari dengan mudah. Kemampuan ini sebenarnya sangat dipengaruhi oleh konsistensi kita dalam mengonsentrasikan fikiran kita.

Psikiometri.
Energi batin mempunyai sifat suka menempel pada barang-barang. Barang yang tipis, seperti kertas atau kain hanya dapat menyimpan energi batin sedikit, dan dalam waktu yang tidak lama. Benda padat, terutama logam mulia, akan menarik dan menyimpan energi lebih banyak dan lama. Karena itulah semakin lama dan kuno barang tersebut, semakin banyak energi yang terserap di sekitarnya. Ibarat pita rekaman, bagi seorang yang berkemampuan psikiometri mampu mengungkap hal-hal yang terjadi pada benda tersebut dengan hanya sekali sentuh. Bahkan kuno atau tidaknya benda tertentu bisa diketahui. Cocok untuk mereka yang bekerja menilai keantikan suatu barang.

Dowsing.
Dowsing merupakan suatu bentuk kemampuan kuno yang sering digunakan oleh orang Baheula untuk mencari sumber-sumber air di dalam tanah. Dulu menggunakan kayu yang berbentuk huruf Y, di mana ujung percabangan dipegang oleh kedua tangan dan cabang yang lain dijadikan alat sensor mencari sumber air. Apabila di area tertentu ditemukan sumber air, maka ujung sensor tongkat akan terasa tertarik ke bawah. Dalam perkembangannya, ternyata kemampuan dowsing bisa digunakan untuk mencari sumber minyak, bahkan sumber tambang yang masih tersimpan di dalam tanah. Bahkan untuk mencari benda-benda kecil yang terjatuh di lapangan atau ladang ilalang, dowsing pun bisa digunakan. Selain itu,dowsing mengalami perubahan bentuk yang lebih praktis dalam bentukpendulum. Cukup dengan menyediakan peta wilayah, maka bisa ditentukan sumber-sumber air, minyak, atau bahan tambang tanpa harus observasi ke lapangan langsung.

Sebenarnya masih banyak kemampuan yang bisa disebutkan di sini. Meski begitu banyak kemampuan yang bisa dimanfaatkan oleh energi batin, namun tidak semua kemampuan tersebut cocok untuk diri kita. Di satu sisi kita memiliki kemampuan untuk melakukan telekinesis, namun di sisi lain, kita sangat lemah pada kemampuan telepati dan lainnya. Untuk itu, perlunya melakukan eksplorasi diri dimanakah sesungguhnya kemampuan kita yang sebenarnya, karena tidak ada manusia yang sempurna. Kita diciptakan memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.


Sumber: Joseph J. Weed. Wisdom of The Mystic Masters