Selasa, 27 September 2011

Materi Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan 05


POLITIK STRATEGI NASIONAL

A.    PENGERTIAN

POLITIK
Polis dari bahasa Yunani = city state === negara (rakyat, wilayah, pemerintahan yang berdaulat)
Politik adalah :

  1. Suatu keadaan yang dikehendaki, disertai cara dan alat yang digunakan  untuk                   mencapainya.
  2. Berbagai kegiatan dalam suatu negara yang berkaitan dengan proses menentukan tujuan dan upaya-upaya dalam mewujudkan tujuan tersebut dengan menentukan kebijaksanaan (policy) yang menyangkut pengaturan, pembagian dan alokasi dari sumber yang ada.
  3. Kebijakan umum dan pengambilan kebijakan untuk mencapai tujuan dan cita-cita Bangsa
      STRATEGI adalah :

  1. Pengetahuan tentang penggunaan pertempuran untuk kepentingan memenangkan  perang.
  2. Cara untuk mendapatkan kemenangan atau cara untuk mencapai suatu tujuan yang                         telah ditetapkan.
  3. Suatu kerangka rencana dan tindakan yang disusun dan disiapkan dalam suatu rangkaian keseluruhan proses yang terjadi dalam suatu arah yang telah digariskan.
POLITIK NASIONAL DAN STRATEGI NASIONAL  (Politik Strategi Nasional )
-          Politik Nasional = asas, haluan, usaha serta kebijaksanaan tindakan dari negara tentang pembinaan (perencanaan, pengembangan, pemeliharaan, pengendalian dan penggunaan potensi nasional untuk mencapai tujuan nasional
-          Strategi Nasional = cara melaksanakan politik nasional dalam mencapai sasaran dan tujuan yang ditetapkan oleh politik nasional.
= pelaksanaan dari kebijaksanaan nasional

B.     PENYUSUNAN POLITIK STRATEGI NASIONAL
Penyusunan Politik Strategi Nasional dilaksanakan oleh pemerintah berdasarkan UUD 1945 sebagai penyelenggara negara 
Suprastruktur Politik meliputi : Lembaga-lembaga Negara (MPR, Presiden, DPR, DPA, MA dan BPK) === Politik Nasional ditingkat Suprastruktur Politik digariskan oleh Presiden sebagai mandataris MPR, sedangkan Strategi Nasional dilaksanakan oleh para menteri dan jajarannya berdasarkan arahan presiden. 
Infrastruktur Politik meliputi badan yang ada di masyarakat (Parpol, Ormas, Media Massa) === Politik Strategi Nasional ditingkat Infrastruktur Politik merupakan sasaran yang dicapai dalam berbagai bidang (Hukum, politik, ekonomi, sosial-budaya dan Hankam) yang dikontrol oleh masyarakat.

Sabtu, 17 September 2011

Materi Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan 04

HAK ASASI MANUSIA DAN  RULE OF LAW : (Sebuah Pengantar)
I. Pendahuluan

Pasal 1 ayat (3) Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 menegaskan bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas negara hukum (the rule of law). Pakar ilmu sosial, Franz-Magnis Suseno (1990), melihat bahwa perlindungan HAM adalah salah satu elemen dari the rule of law, selain hukum yang adil. Kita bisa melacak akar prinsip the rule of law dari putusan-putusan pengadilan internasional seperti Pengadilan Hak Azasi Manusia (HAM) Eropa dan Komite HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), untuk mengetahui pembahasan antara the rule of law dan Hak Asasi Manusia.

Pembukaan UUD 1945 menyatakan terbentuknya Negara adalah untuk “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasar atas persatuan dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Dinyatakan bahwa untuk itu, UUD 1945 harus mengandung ketentuan yang “mewajibkan Pemerintah dan penyelenggara Negara untuk memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur.” UUD 1945 selanjutnya menegaskan bahwa “Negara Indonesia berdasar atas hukum (rechsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machtstaat).

Hak asasi manusia (HAM) merupakan hak-hak yang (seharusnya) diakui secara universal sebagai hak-hak yang melekat pada manusia karena hakekat dan kodrat kelahiran manusia itu sebagai manusia. Dikatakan ‘universal’ karena hak-hak ini dinyatakan sebagai bagian dari kemanusiaan setiap sosok manusia, tak peduli apapun warna kulitnya, jenis kelaminnya, usianya, latar belakang kultural dan pula agama atau kepercayaan spiritualitasnya. Sementara itu dikatakan ‘melekat’ atau ‘inheren’ karena hak-hak itu dimiliki sesiapapun yang manusia berkat kodrat kelahirannya sebagai manusia dan bukan karena pemberian oleh suatu organisasi kekuasaan manapun. Karena dikatakan ‘melekat’ itu pulalah maka pada dasarnya hak-hak ini tidak sesaatpun boleh dirampas atau dicabut.

Dari uraian pendahuluan di atas, penulis melihat penting dan menariknya wawasan tentang HAM dan rule of law. Oleh sebab itu, penulis berusaha menjabarkan pembahasannya dengan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa pengertian rule of law dan Hak Asasi Manusia?; dan
2. Apa kaitan antara rule of law dan Hak Asasi Manusia?

II. Pembahasan tentang Rule of law dan Hak Asasi Manusia

a. Rule of law: Sebuah Pengantar
Indonesia adalah Negara hukum (rechstaat) dan bukan negara kekuasaan (machstaat). Hal ini tertulis dalam Konstitusi Indonesia. UU 1945 dan tertuang dalam Pasal 1 (3) UUD 1945. Pertanyaannya adalah apa sebenarnya negara hukum? Konsep Negara hukum sangat dekat dengan konsep rule of law. Dalam arti sederhana rule of law diartikan oleh Thomas Paine sebagai tidak ada satu pun yang berada di atas hukum dan hukumlah yang berkuasa.

Dalam konsep modern, apa yang dikatakan oleh Thomas Paine kemudian didefinisikan secara lebih menyeluruh. Dunia modern kemudian mendefiniskan rule of law sebagai konsep yang melibatkan prinsip dan aturan yang memberi pedoman pada mekanisme tertib hukum (legal order). Ditegaskan dalam hal ini bahwa rule of law menuntut adanya regulasi dengan kualitas tertentu

Definisi rule of law di atas kemudian dirinci yang memudahakan penilaian. Salah satu definisi yang rinci tedapat dalam laporan Sekretaris Jenderal PBB, sebagai berikut :
The "rule of law" is a concept at the very heart of the Organization.s mission.
It refers to a principle of governance in which all persons, institutions and entities, public and private, including the State itself, are accountable to laws that are publicly promulgated, equally enforced and independently adjudicated, and which are consistent with international human rights norms and standards. It requires, as well, measures to ensure adherence to the principles of supremacy of law, equality before the law, accountability to the law, fairness in the application of the law, separation of powers, participation in decision-making, legal certainty, avoidance of arbitrariness and procedural and legal transparency.
Definisi yang rinci di atas memperlihatkan bahwa rule of law mengandung beberapa elemen penting yaitu: 
  1. Ditaatinya prinsip berkuasanya hukum (supremacy of law)
  2. Persamaan di depan hukum (equality before the law)
  3. Pertanggungjawaban hukum (accountability to the law)
  4. Keadilan dalam penerapan hukum (fairness in the application of the law)
  5. Adanya pemisahan kekuasaan (separation of power)
  6. Adanya partisipasi dalam pembuatan keputusan (participation in the decision making).
  7. Kepastian hukum (legal certainty)
  8. Dihindarinya kesewenang-wenangan (avoidance of arbitrariness)
  9. Adanya keterbukaan prosedur dan hukum (procedural and legal transparency)
Keseluruhan elemen ini harus dilihat untuk dapat mengukur sejauh mana rule of law telah dijalankan.

Ukuran pertama yaitu prinsip supremasi hukum berarti bahwa hukum harus menjadi dasar aturan pelaksaan kekuasaan publik. Masyarakat juga haruslah diatur berdasarkan hukum, bukan berdasarkan moralitas, keuntungan politik atau ideologi. 
Prinsip ini juga mengimplikasikan bahwa badan-badan politik terikat tidak saja pada konstitusi naisonal tetapi juga pada kewajiban hukum hak asasi manusia internasional. Hal ini mengimplikasikan bahwa legislasi yang valid harus diterapkan oleh otoritas dan pengadilan dan bahwa intervensi negara pada kehidupana rakyat haruslah memenuhi standard umum yaitu prinsip legalitas. Dengan demikian rule of law menjadi tameng pelindung rakyat dari adanya penyalahgunaan kekuasaan Ditegaskan bahwa dalam hal ini korupsi jelas tidak sejalan dengan rule of law. 

Sementara itu, prinsip persamaan di depan hukum memuat dua komponen utama yaitu bahwa aturan hukum diterapkan tanpa diskriminasi dan mensyaratkan perlakuan yang setara untuk kasus yang serupa. Adanya pertanggungjawaban hukum (accountability to the law) harus dimaknai bahwa otoritas Negara tidak boleh di luar atau di atas hukum dan harus tunduk pada hukum (subject to the law) seperti halnya warga negara. Pinsip kepastian hukum mengimplikasikan bahwa aturan tidak menyediakan ruang yang banyak untuk adanya diskresi. Prinsip ini tentunya juga berkaitan dengan prinsip keterbukaan dalam hukum dan prosedur.

Dari paparan mengenai elemen penting rule of law dan uraian masing-masing elemen terlihat bahwa rule of law pada dasarnya berfokus pada hukum dan pengembangan kelembagaan. Namun demikian, dalam hal ini harus diingat bahwa Sekretaris Jenderal PBB menyatakan elemen politik adalah penting untuk menjamin dijalankannya rule of law.

b. Tinjauan tentang Hak Asasi Manusia (HAM)

Hak asasi menunjukkan kekuasaan atau wewenang yang dimiliki seseorang bersifat mendasar. Oleh karena hak asasi bersifat mendasar dan fundamental, maka pemenuhannya bersifat imperatif.

Beberapa pendapat tentang definisi HAM antara lain :
  1. HAM adalah hak yang melekat pada diri manusia, tanpa hak itu manusia tidak dapat hidup secara layak.
  2. HAM adalah hak yang dimiliki manusia sejak kelahirannya.
  3. HAM adalah hak dasar sejak lahir merupakan anugerah dari Allah SWT;
  4. HAM adalah seperangkat hak-hak yang melekat pada hakikat dan keberadaban manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa.
HAM / Hak Asasi Manusia adalah hak yang melekat pada diri setiap manusia sejak awal dilahirkan yang berlaku seumur hidup dan tidak dapat diganggu gugat siapa pun. Sebagai warga negara yang baik kita mesti menjunjung tinggi nilai hak azasi manusia tanpa membeda-bedakan status, golongan, keturunan, jabatan, dan lain sebagainya.

Melanggar HAM seseorang bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Hak asasi manusia memiliki wadah organisasi yang mengurus permasalahan seputar hak asasi manusia yaitu Komnas HAM. Kasus pelanggaran ham di Indonesia memang masih banyak yang belum terselesaikan / tuntas sehingga diharapkan perkembangan dunia ham di Indonesia dapat terwujud ke arah yang lebih baik. Salah satu tokoh ham di Indonesia adalah Munir yang tewas dibunuh di atas pesawat udara saat menuju Belanda dari Indonesia.
Ciri pokok HAM yaitu:
  1. HAM tidak diberikan atau diwariskan;
  2. HAM untuk semua orang tanpa diskriminasi;
  3. HAM tidak boleh dilanggar, tidak boleh dibatasi.
Sifat-sifat HAM yaitu:
  1. Individual
  2. Universal
  3. Supralegal artinya tdk tergantung kepada negara atau pemerintah;
  4. Kodrati, artiny bersumber dari kodrat manusia;
  5. Kesamaan derajat;
  6. Pelaksanaan HAM tidak boleh melanggar HAM orang lain.


Universalitas dan lokalitas.
Sifat universal maksudnya melekat pada harkat martabat setiap orang.
Lokalitas maksudnya setiap manusia harus diakui dan dihormati hak-hak dasarnya melalui hukum, dan disesuaikan dengan sosio kultural suatu masyarakat atau negara. Pelaksanaannya tidak bisa dilepaskan dari kondisi social, budaya, politik atau pengalaman negara.


Sejarah Perkembangan Perjuangan HAM
a) HAM masa sejarah
  1. Perjuangan nabi Musa pada saat membebaskan umat Yahudi dari perbudakan (tahun 6000 SM).
  2. Hukum Hamirabi di Babylonia yang memberi jaminan keadilan bagi warganegara (tahun 2000 SM);
  3. Socrates (469-399 SM) dan Aristoteles (384-322SM) sebagai filsuf Yunani peletak dasar diakuinya HAM;
  4. Perjuangan Nabi Muhammad SAW untuk membebaskan para bayi wanita dan wanita dari penindasan bangsa Quraisy tahun 600 M
b) Di Inggris
  1. Perjuangan HAM sejak tahun 1215 dengan Magna Charta. Merupakan cermin dan perjuangan rakyat dan bangsawan bagi pemba-tasan kekuasaan Raja John.
  2. Tahun 1628 dikeluarkan piagam Petition of Rights yang berisi tentag hak-hak rakyat beserta jaminannya.
  3. Tahun 1679 muncul Hebeas Corpus Act, mengenai peraturan penahanan, selanjutnya dikeluarkan Bill of Rights
c) Di Amerika Serikat

Perjuangan HAM didasari oleh pemikiran John Locke, tentang hak-hak dalam diri manusia, seperti hak hidup, kebebasan dan hak milik. Kemudian dijadikan landasan bagi pengakuan HAM yang terlihat dalam Declaration of Independence of The United States. Perjuangan HAM ini karena rakyat Amerika yang berasal dari Eropa sebagai emigran merasa tertindas oleh pemerintahan Inggris. Dalam sejarah perjuangan HAM, Amerika serikat sebagai negara pertama menetapkan dan melindungi HAM dalam konstitusi.

d) Di Perancis

Perjuangan HAM ketika terjadi revolusi Perancis tahun 1789, pernya-taan tidak puas dari kaum borjuis dan rakyat terhadap kesewenanga-wenangan raja Lois XVI, menghasilkan naskah “Declaration des Droits de L’homme et di Citoyen (pernyataan mengenai hak asasi ma-nusia dan warganegara). Pada tahun 1791 deklarasi ini dimasukkan dalam konstitusi. Revolusi Perancis ini dikenal sebagai perjuangan penegakan HAM di Eropa dengan semboyan Liberte (kebebasan), egelite (persamaan), dan fraternite (persaudaraan).

e) Atlantik Charter 1941

Atlantik Charter muncul setelah perang dunia ke II oleh F.D. Roosevelt yang menyebutkan The four Freedom :
  1. Kebebasan untuk beragama (freedom of religion)
  2. Kebebasan untuk berbicara dan berpendapat (freedom of speech and thought);
  3. Kebebasan dari rasa takut (freedom of fear);
  4. Kebebasan dari kemelaratan (freedom of want).
f) PBB
Tgl 10 Desember 1948 dideklarasikan Universal Declaration of Human Rights. “Sekalian porang yang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak asasi yang sama. Mereka dikaruniai akal dan budi. Dan hendaknya bergaul satu sama lian dalam persaudaraan”.

g) Sidang Majelis Umum PBB 1966. Hasil sidang mengeluarkan Covenants on Human Rights antara lain:
  1. The International on Civil and Political Rights
  2. The International Covenant on Economic, sosial, and Cultural Rights;
Optional Protocol, adanya kemungkinan warganegara mengadukan pelanggaran HAM kepada The Human Rights Committee PBB setelah melalui Pengadilan Negaranya. HAM di Indonesia mengenai kebebasan pemilihan anggota parlemen, kebebasan bicara, mengeluarkan pendapat, izin parlemen dalam penetapan pajak, UU dan pembentukan negara, kebebasan beragama, serta diperboleh kannya parlemen untuk mengubah keputusan raja. 

h) Pengakuan Bangsa Indonesia akan HAM

i. Pembukaan UUD 45, bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak seluruh bangsa.
ii. Dirumuskan tujuan nasional dalam pembukaan UUD 45. Lalu sila kedua Pancasila merupakan landasan idiil pengakuan dan jaminan HAM.
iii. HAM diimplementasikan dalam pasal-pasal UUD 45;
iv. HAM dalam Tap MPR No XVII/MPR/1988.
v. HAM dalam Undang-undang No 39 tahun 1999 dan UU No 26 tahun 2000.

Pembagian Bidang, Jenis dan Macam Hak Asasi Manusia Dunia :
1. Hak asasi pribadi / personal Right:
  • Hak kebebasan untuk bergerak, bepergian dan berpindah-pndah tempat
  • Hak kebebasan mengeluarkan atau menyatakan pendapat
  • Hak kebebasan memilih dan aktif di organisasi atau perkumpulan
  • Hak kebebasan untuk memilih, memeluk, dan menjalankan agama dan kepercayaan yang diyakini masing-masing
2. Hak asasi politik / Political Right:
  • Hak untuk memilih dan dipilih dalam suatu pemilihan
  • Hak ikut serta dalam kegiatan pemerintahan.
  • Hak membuat dan mendirikan parpol / partai politik dan organisasi politik lainnya.
  • Hak untuk membuat dan mengajukan suatu usulan petisi
3. Hak azasi hukum / Legal Equality Right:
  • Hak mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan
  • Hak untuk menjadi pegawai negeri sipil / pns.
  • Hak mendapat layanan dan perlindungan hukum
4. Hak azasi Ekonomi / Property Rigths
  • Hak kebebasan melakukan kegiatan jual beli.
  • Hak kebebasan mengadakan perjanjian kontrak.
  • Hak kebebasan menyelenggarakan sewa-menyewa, hutang-piutang, dll
  • Hak kebebasan untuk memiliki susuatu.
  • Hak memiliki dan mendapatkan pekerjaan yang layak
5. Hak Asasi Peradilan / Procedural Rights:
  • Hak mendapat pembelaan hukum di pengadilan.
  • Hak persamaan atas perlakuan penggeledahan, penangkapan, penahanan dan penyelidikan di mata hukum.
6. Hak asasi sosial budaya / Social Culture Right:
  • Hak menentukan, memilih dan mendapatkan pendidikan.
  • Hak mendapatkan pengajaran.
  • Hak untuk mengembangkan budaya yang sesuai dengan bakat dan minat.
c. Kaitan Rule of law dan Hak Asasi Manusia

Dapat dipastikan sebagian besar orang akan menyatakan bahwa negara hukum atau rule of law terkait erat dengan hak asasi manusia dalam artian positif. Yaitu bahwa tegaknya rule of law akan berdampak positif pada pelaksanaan hak asasi manusia. Benarkan demikian? Marilah kita perjelas bagaimana kaitan antara negara hukum atau rule of law dengan hak asasi manusia.

Dalam hal ini dapat dipahami beberapa kesimpulan penting dari Randall P. Peerenboom yang melakukan penelitian kaitan antara rule of law dengan hak asasi manusia. Pertama adalah bahwa kaitan antara rule of law dengan hak asasi manusia adalah kompleks. Peerenboom menyatakan bahwa yang menjadi persoalan bukanlah prinsip-prinsip rule of law, tetapi adalah kegagalan untuk menaati prinsip-prinsip tersebut. Akan tetapi yang jelas menurutnya adalah bahwa rule of law bukanlah ‘obat mujarab’ yang dapat mengobati semua masalah. Bahwa rule of law saja tidak dapat menyelesaikan masalah. Peerenboom menyatakan bahwa rule of law hanyalah satu komponen untuk sebuah masyarakat yang adil. Nilai-nilai yang ada dalam rule of law dibutuhkan untuk jalan pada nilai-nilai penting lainnya. Dengan demikian rule of law adalah jalan tetapi bukan ‘tujuan’ itu sendiri.

Berkaitan dengan hak asasi manusia sendiri, terutama hak ekonomi, sosial dan budaya, adalah menarik bahwa Peerenboom menyatakan rule of law sangat dekat dengan pembangunan ekonomi. Selanjutnya dia menyatakan bahwa memperhitungkan pentingnya pembangunan ekonomi bagi hak asasi manusia maka dia menyatakan agar gerakan hak asasi manusia memajukan pembangunan.

Di sini sangat penting untuk diingat bahwa menurut Peerenboom sampai sekarang kita gagal untuk memperlakukan kemiskinan sebagai pelanggaran atas martabat manusia dan dengan demikian hak ekonomi, sosial dan budaya tidak diperlakukan sama dalam penegakan hukumnya seperti hak sipil dan politik. Dalam pemenuhan hak ekonomi, sosial dan budaya, menurutnya rule of law saja tidak akan cukup untuk dapat menjamin pemenuhan hak ekonomi, sosial dan budaya tanpa adanya perubahan tata ekonomi global baru dan adanya distribusi sumber alam global yang lebih adil dan seimbang. Oleh karena itu menurutnya pemenuhan hak ekonomil, sosial dan budaya juga memerlukan perubahan yang mendasar pada tata ekonomi dunia.

Terakhir yang harus dicatat adalah peringatan Peerenboom tentang bahaya demokratisasi yang prematur. Menurutnya kemajuan hak asasi manusia yang signifikan hanya dapat tercapai dalam demokrasi yang consolidated, sementara demokrasi yang prematur mengandung bahaya yang justru melemahkan rule of law dan hak asasi manusia terutama pada negara yang kemudian terjadi kekacauan sosial (social chaos) atau pun perang sipil (civil war).

Hal lain yang penting dikemukakan oleh Peerenboom adalah bahwa rule of law membutuhkan stabilitas politik, dan negara yang mempunyai kemampuan untuk membentuk dan menjalankan sistem hukum yang fungsional. Stabilitas politik saja tidak cukup. Dalam hal ini dibutuhkan hakim yang kompeten dan peradilan yang bebas dari korupsi.

Pada intinya Peerenboom menyatakan bahwa walaupun rule of law bukanlah obat mujarab bagi terpenuhinya hak asasi manusia, namun demikian, adalah benar pelaksanaan rule of law akan menyebakan kemajuan kulitas hidup dan pada akhirnya terpenuhinya hak asasi manusia.

III. Penutup

Dalam hal ini dapat dipahami beberapa kesimpulan penting dari Randall P. Peerenboom yang melakukan penelitian kaitan antara rule of law dengan hak asasi manusia. Pertama adalah bahwa kaitan antara rule of law dengan hak asasi manusia adalah kompleks. Peerenboom menyatakan bahwa yang menjadi persoalan bukanlah prinsip-prinsip rule of law, tetapi adalah kegagalan untuk menaati prinsip-prinsip tersebut.

Akan tetapi yang jelas menurutnya adalah bahwa rule of law bukanlah ‘obat mujarab’ yang dapat mengobati semua masalah. Bahwa rule of law saja tidak dapat menyelesaikan masalah. Peerenboom menyatakan bahwa rule of law hanyalah satu komponen untuk sebuah masyarakat yang adil. Nilai-nilai yang ada dalam rule of law dibutuhkan untuk jalan pada nilai-nilai penting lainnya. Dengan demikian rule of law adalah jalan tetapi bukan ‘tujuan’ itu sendiri.
Oleh : Qurratul Ain, A.Ma

Rabu, 07 September 2011

Materi Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan 03

Etika Politik, Bukan Hanya Moralitas Politikus

Banyak pengamat politik berpandangan sinis: "Berbicara etika politik itu seperti berteriak di padang gurun." "Etika politik itu nonsens". Realitas politik adalah pertarungan kekuatan dan kepentingan. Politik dibangun bukan dari yang ideal, tidak tunduk kepada apa yang seharusnya. Dalam politik, kecenderungan umum adalah tujuan menghalalkan segala cara. Dalam konteks ini, bagaimana etika politik bisa berbicara?

Urgensi Etika Politik
Kalau orang menuntut keadilan, berpihak pada korban, memberdayakan masyarakat melalui civil society, membangun demokrasi, bukanlah semua itu merupakan upaya mewujudkan etika politik? Dalam situasi kacau, bukankah etika politik menjadi makin relevan? Pertama, betapa kasar dan tidak santunnya suatu politik, tindakannya membutuhkan legitimasi. Legitimasi tindakan ini mau tidak mau harus merujuk pada norma-norma moral, nilai-nilai hukum atau peraturan perundangan. Di sini letak celah di mana etika politik bisa berbicara dengan otoritas. Kedua, etika politik berbicara dari sisi korban. Politik yang kasar dan tidak adil akan mengakibatkan jatuhnya korban. Korban akan membangkitkan simpati dan reaksi indignation (terusik dan protes terhadap ketidakadilan). Keberpihakan pada korban tidak akan mentolerir politik yang kasar. Jeritan korban adalah berita duka bagi etika politik. Ketiga, pertarungan kekuasaan dan konflik kepentingan yang berlarut-larut akan membangkitkan kesadaran akan perlunya penyelesaian yang mendesak dan adil. Penyelesaian semacam ini tidak akan terwujud bila tidak mengacu ke etika politik. Seringnya pernyataan "perubahan harus konstitusional", menunjukkan etika politik tidak bisa diabaikan begitu saja.

Kekhasan Etika Politik
Tujuan etika politik adalah mengarahkan ke hidup baik, bersama dan untuk orang lain, dalam rangka memperluas lingkup kebebasan dan membangun institusi-institusi yang adil (Paul Ricoeur, 1990). Definisi etika politik membantu menganalisa korelasi antara tindakan individual, tindakan kolektif, dan struktur-struktur yang ada. Penekanan adanya korelasi ini menghindarkan pemahaman etika politik yang diredusir menjadi hanya sekadar etika individual perilaku individu dalam bernegara. Pengertian etika politik dalam perspektif Ricoeur mengandung tiga tuntutan, pertama, upaya hidup baik bersama dan untuk orang lain...; kedua, upaya memperluas lingkup kebebasan..., ketiga, membangun institusi-institusi yang adil. Tiga tuntutan itu saling terkait. "Hidup baik bersama dan untuk orang lain" tidak mungkin terwujud kecuali bila menerima pluralitas dan dalam kerangka institusi-institusi yang adil. Hidup baik tidak lain adalah cita-cita kebebasan: kesempurnaan eksistensi atau pencapaian keutamaan. Institusi-institusi yang adil memungkinkan perwujudan kebebasan dengan menghindarkan warganegara atau kelompok-kelompok dari saling merugikan. Sebaliknya, kebebasan warganegara mendorong inisiatif dan sikap kritis terhadap institusi-institusi yang tidak adil. Pengertian kebebasan yang terakhir ini yang dimaksud adalah syarat fisik, sosial, dan politik yang perlu demi pelaksanaan kongkret kebebassan atau disebut democratic liberties: kebebasan pers, kebebasan berserikat dan berkumpul, kebebasan mengeluarkan pendapat, dan sebagainya.

Dalam definisi Ricoeur, etika politik tidak hanya menyangkut perilaku individual saja, tetapi terkait dengan tindakan kolektif (etika sosial). Dalam etika individual, kalau orang mempunyai pandangan tertentu bisa langsung diwujudkan dalam tindakan. Sedangkan dalam etika politik, yang merupakan etika sosial, untuk dapat mewujudkan pandangannya dibutuhkan persetujuan dari sebanyak mungkin warganegara karena menyangkut tindakan kolektif. Maka hubungan antara pandangan hidup seseorang dengan tindakan kolektif tidak langsung, membutuhkan perantara. Perantara ini berfungsi menjembatani pandangan pribadi dengan tindakan kolektif. Perantara itu bisa berupa simbol-simbol maupun nilai-nilai: simbol-simbol agama, demokrasi, dan nilai-nilai keadilan, kebebasan, kesetaraan, dan sebagainya. Melalui simbol-simbol dan nilai-nilai itu, politikus berusaha meyakinkan sebanyak mungkin warganegara agar menerima pandangannya sehingga mendorong kepada tindakan bersama. Maka politik disebut seni karena membutuhkan kemampuan untuk meyakinkan melalui wicara dan persuasi, bukan manipulasi, kebohongan, dan kekerasan. Etika politik akan kritis terhadap manipulasi atau penyalahgunaan nilai-nilai dan simbol-simbol itu. Ia berkaitan dengan masalah struktur sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang mengkondisikan tindakan kolektif.

Etika Politik vs Machiavellisme
Tuntutan pertama etika politik adalah "hidup baik bersama dan untuk orang lain". Pada tingkat ini, etika politik dipahami sebagai perwujudan sikap dan perilaku politikus atau warganegara. Politikus yang baik adalah jujur, santun, memiliki integritas, menghargai orang lain, menerima pluralitas, memiliki keprihatinan untuk kesejahteraan umum, dan tidak mementingkan golongannya. Jadi, politikus yang menjalankan etika politik adalah negarawan yang mempunyai keutamaan-keutamaan moral. Dalam sejarah filsafat politik, filsuf seperti Socrates sering dipakai sebagai model yang memiliki kejujuran dan integritas. Politik dimengerti sebagai seni yang mengandung kesantunan. Kesantunan politik diukur dari keutamaan moral. Kesantunan itu tampak bila ada pengakuan timbal balik dan hubungan fair di antara para pelaku. Pemahaman etika politik semacam ini belum mencukupi karena sudah puas bila diidentikkan dengan kualitas moral politikus. Belum mencukupi karena tidak berbeda dengan pernyataan. "Bila setiap politikus jujur, maka Indonesia akan makmur". Dari sudut koherensi, pernyataan ini sahih, tidak terbantahkan. Tetapi dari teori korespondensi, pernyataan hipotesis itu terlalu jauh dari kenyataan (hipotetis irealis).

Etika politik, yang hanya puas dengan koherensi norma-normanya dan tidak memperhitungkan real politic, cenderung mandul. Namun bukankah real politic, seperti dikatakan Machiavelli, adalah hubungan kekuasaan atau pertarungan kekuatan? Masyarakat bukan terdiri dari individu-individu subyek hukum, tetapi terdiri dari kelompok-kelompok yang mempunyai kepentingan yang saling berlawanan. Politik yang baik adalah politik yang bisa mencapai tujuannya, apa pun caranya. Filsuf Italia ini yakin tidak ada hukum kecuali kekuatan yang dapat memaksanya. Hanya sesudahnya, hukum dan hak akan melegitimasi kekuatan itu. Situasi Indonesia saat ini tidak jauh dari gambaran Machiavelli itu. Politik dan moral menjadi dua dunia yang berbeda. Etika politik seakan menjadi tidak relevan. Relevansi etika politik terletak pada kemampuannya untuk menjinakkan kekuatan itu dan mengatur kepentingan-kepentingan kelompok dengan membangun institusi-institusi yang lebih adil.

Institusi Sosial dan Keadilan Prosedural
Institusi-institusi sosial harus adil karena mempengaruhi struktur dasar masyarakat. Dalam struktur dasar masyarakat, seperti dikatakan John Rawls, sudah terkandung berbagai posisi sosial dan harapan masa depan anggota masyarakat berbeda-beda dan sebagian ditentukan oleh sistem politik dan kondisi sosial-ekonomi. Terlebih lagi, institusi-institusi sosial tertentu mendefinisikan hak-hak dan kewajiban masyarakat, yang pada gilirannya akan mempengaruhi masa depan setiap orang, cita-citanya, dan kemungkinan terwujudnya. Dengan demikian institusi-institusi sosial itu sudah merupakan sumber kepincangan karena sudah merupakan titik awal keberuntungan bagi yang satu dan kemalangan bagi yang lain. Maka membangun institusi-institusi yang adil adalah upaya memastikan terjaminnya kesempatan sama sehingga kehidupan seseorang tidak pertama-tama ditentukan oleh keadaan, tetapi oleh pilihannya. Keutamaan moral politikus tidak cukup tanpa adanya komitmen untuk merombak institusi-institusi sosial yang tidak adil, penyebab laten kekerasan yang sering terjadi di Indonesia. Maka sering didengar pepatah "yang jujur hancur". Ungkapan ini menunjukkan urgensi membangun institusi-institusi yang adil. Ini bisa dimulai dengan menerapkan keadilan prosedural. Keadilan prosedural adalah hasil persetujuan melalui prosedur tertentu dan mempunyai sasaran utama peraturan-peraturan, hukum-hukum, undang-undang. Jadi prosedur ini terkait dengan legitimasi dan justifikasi. Misalnya, kue tart harus dibagi adil untuk lima orang. Maka peraturan yang menetapkan "yang membagi harus mengambil pada giliran yang terakhir" dianggap sebagai prosedur yang adil. Dengan ketentuan itu, bila pembagi ingin mendapat bagian yang tidak lebih kecil dari yang lain, dengan sendirinya, tanpa harus dikontrol, dia akan berusaha membagi kue itu sedemikian rupa sehingga sama besarnya.

Dengan demikian, meski ia mengambil pada giliran terakhir, tidak akan dirugikan. Di Indonesia, para penguasa, yang dalam arti tertentu adalah pembagi kekayaan atau hasil kerja sosial, justru sebaliknya, berebut untuk mengambil yang pertama. Tentu saja akan mengambil bagian yang terbesar. Maka banyak orang atau kelompok yang mempertaruhkan semua untuk berebut kekuasaan. Keadilan prosedural menjadi tulang punggung etika politik karena sebagai prosedur sekaligus mampu mengontrol dan menghindarkan semaksimal mungkin penyalahgunaan. Keadilan tidak diserahkan kepada keutamaan politikus, tetapi dipercayakan kepada prosedur yang memungkinkan pembentukan sistem hukum yang baik sehingga keadilan distributif, komutatif, dan keadilan sosial bisa dijamin. Dengan demikian sistem hukum yang baik juga menghindarkan pembusukan politikus. Memang, bisa terjadi meski hukum sudah adil, seorang koruptor divonis bebas karena beberapa alasan kepiawaian pengacara, tak cukup bukti, tekanan terhadap hakim, dan sebagainya. Padahal, prosedur hukum positif yang berlaku tidak mampu memuaskan rasa keadilan, penyelesaiannya harus mengacu ke prinsip epieikeia (yang benar dan yang adil).

Bagaimana Menentukan Kriteria Kebenaran dan Keadilan?
Semua diperlakukan sama di depan hukum. Ketidaksamaan perlakuan hanya bisa dibenarkan bila memihak kepada yang paling tidak diuntungkan atau korban. Secara struktural, korban biasanya sudah dalam posisi lemah, misalnya, warga terhadap penguasa, minoritas terhadap mayoritas. Prinsip epieikeia ini mengandaikan integritas hakim, penguasa atau yang berkompeten menafsirkan hukum. Maka ada tuntutan timbal balik, prosedur yang adil belum mencukupi bila tidak dilaksanakan oleh pribadi yang mempunyai keutamaan moral.

DR. Haryatmoko, pengajar filsafat di Pascasarjana UI, Universitas Sanata Dharma, dan IAIN Sunan Kalijaga, Jogjakarta . Sumber: http://tumasouw.tripod.com/artikel/etika_politik_bukan_hanya_moralitas.htm

Kamis, 01 September 2011