Oleh: Enthin Herviana *)
Dalam bukunya yang berjudul The Aquarian Conspiracy (1989), Marylin Ferguson mengatakan bahwa Psikologi Transpersonal lahir dan tumbuh di tengah-tengah gejolak politik, budaya, dan agama di Amerika pada tahun 1960-an dan 1970-an. Gerakan yang menuntut persamaan hak, dimulai dari demonstrasi mahasiswa terhadap perang Vietnam sampai gerakan ekologi, pembebasan perempuan, hak-hak kaum homoseksual dan lesbian, melanda seluruh Amerika dan akhirnya merambah ke Eropa. Di bawah gelombang protes tersebut, mengalir arus spiritual yang kuat.
Gereja-gereja dari kelompok minoritas kulit hitam memberikan inspirasi bagi gerakan persamaan hak. Gereja-geraja mayoritas pun ikut bergabung berdemonstrasi menentang perang Vietnam. Tokoh-tokoh progresif seperti Jerry Rubin, Michael Rossman, Lou Krupnik, Rennie Davis, dan Noel McInnis melengkapi perjuangan mereka dengan tema-tema spiritual yang akhirnya spiritualitas itu dijadikan sebagai tujuan hidup mereka.
Psikologi transpersonal lahir dari prakarsa tokoh-tokoh psikologi yang prihatin terhadap kondisi masyarakat Barat modern waktu itu yang hidup dalam gelimang materi tetapi miskin secara spiritual. Kita dapat menyebut Anthony Sutich, pendiri The Journal of Humanistic Psychology, sebagai pendiri mazhab psikologi transpersonal. Ia mengumpulkan tokoh-tokoh yang punya paham yang sama di rumahnya di California. Mereka membahas secara informal topik-topik yang tidak diperhatikan oleh psikologi humanistik dan gerakan potensi manusia waktu itu. Pertemuan itu dihadiri antara lain, Abraham Maslow, tokoh psikologi humanistik yang mempopulerkan peak experience (pengalaman puncak). Diskusi berlangsung sangat menarik, bukan karena topik yang dibicarakan sangat beragam, melainkan karena Sutich yang memimpin diskusi dalam kondisi berbaring akibat serangan penyakit kronis, yang memimpin diskusi dengan menggunakan cermin di atas kepalanya. Stanislav Grof, Maslow, dan Victor Frankl kemudian mengusulkan istilah 'transpersonal' bagi gerakan psikologi yang mereka rintis.
Bersama tokoh-tokoh psikologi humanistik lainnya, Sutich mendirikan The Journal of Transpersonal Psychology (JTP) pada tahun 1969. Dalam misi penerbitannya, JTP memiliki tiga motif sentral; pertama, fokus pada isu-isu yang secara konvensional dianggap menjadi urusan agama, misalnya transendensi, makna terdalam, atau nilai; kedua, menggunakan studi ilmiah dan empiris atas fenomena pengalaman spiritual; ketiga, menangguhkan kepercayaan pada isi pengalaman, yakni interpretasi opsional tentang apakah fenomena bersifat supranatural atau tidak. Singkatnya, psikologi transpersonal adalah pendekatan reflektif ilmiah untuk hal-hal yang secara tradisional dianggap religius atau spiritual.
Atas kritik dan penyempurnaan terhadap mazhab-mazhab psikologi sebelumnya, psikologi transpersonal pada dasarnya merupakan kelanjutan dari psikologi humanistik. Psikologi transpersonal dapat dikatakan sebagai mazhab keempat dalam psikologi setelah behaviorisme, psikoanalisa, dan psikologi humanistik. Psikologi transpersonal berusaha menggabungkan tradisi psikologis dengan tradisi-tradisi agama-agama besar dunia. Dia ingin menguak pesan terdalam dari semangat agama yang sering dilupakan-bahkan oleh pemeluknya sendiri, yaitu sophia perennis.
Mengenai aliran keempat ini, sebuah rumusan yang disusun oleh S.I Shapiro dan Denise H. Lajoie setelah mereka menelaah lebih dari empat puluh ragam definisi tentang psikologi transpersonal selama kurun waktu dua puluh tiga tahun, kiranya cukup memberikan gambaran mengenai psikologi transpersonal: "Transpersonal Psychology is concerned with the study of humanitiys highest potential, and with the recognition, understansing, and realization of unitive, spiritual, and transcendent states of consciousness (S.I Shapiro dan Denise H. Lajoie, Definition of Transpersonal Psychology: The first twenty years. The Journal of Transpersonal Psychology; Vol.24,No.1, 1992).
Paling tidak dari rumusan diatas terdapat dua unsur penting yang menjadi sasaran telaah psikologi transpersonal, yaitu potensi-potensi luhur (the highest potentials) dan fenomena kesadaran (states of consciousness) manusia.
The states of consciousness atau lebih popular disebut the altered states of consciousness (ASOC) adalah pengalaman seorang melewati batas-batas kesadaran biasa, misalnya saja pengalaman-pengalaman alih dimensi, memasuki alam-alam kebatinan, kesatuan mistik, komunikasi batiniah, pengalaman meditasi, dan sebagainya. Demikian pula mengenai potensi-potensi luhur manusia menghasilkan telaah-telaah seperti ; altered states of consciousness (ASOC), extra sensory perception (ESP), transendensi diri, potensi luhur dan paripurna, dimensi di atas alam kesadaran, pengalaman mistik, ekstase, parapsikologi, paranormal, daya-daya batin, pengalaman spiritual dan praktek-praktek keagamaan di kawasan Timur dan di pelbagai belahan dunia lainnya.
Psikologi transpersonal, seperti halnya psikologi humanistik, menaruh perhatian pada dimensi spiritual manusia yang ternyata mengandung pelbagai potensi dan kemampuan luar biasa yang sejauh ini terabaikan dari telaah psikologi kontemporer. Bedanya adalah kalau psikologi humanistik lebih memanfaatkan potensi-potensi ini untuk peningkatan hubungan antar manusia, sedangkan psikologi transpersonal lebih tertarik untuk meneliti pengalaman subjektif-transendental, serta pengalaman luar biasa dari potensi spiritual manusia ini.
Gambaran selintas tentang psikologi transpersonal ini menunjukkan bahwa aliran ini mencoba untuk menjajagi dan melakukan telaah ilmiah terhadap suatu dimensi yang sejauh ini lebih dianggap sebagai bidang garapan kaum kebatinan, ruhaniawan, agamawan, dan mistikus. Sekalipun masih dalam taraf telaah awal, Psikologi transpersonal menunjukkan bahwa di luar alam kesadaran biasa terdapat ragam dimensi lain yang luar biasa potensialnya.
Psikologi transpersonal telah menorehkan cara pandang revolusioner mengenai manusia dan kesadarannya. Dikatakan revolusioner karena terdapat asumsi-asumsi dasar dalam psikologi transpersonal yang berbeda dengan mazhab-mazhab psikologi sebelumnya. Vaughan, Wittine, dan Walsh dalam naskah yang berjudul Transpersonal Psychology and Religion Person (dalam E.P. Shafranske (ed.) Religion and Cinical Practice of Psychology,1996) menyebutkan empat asumsi dasar psikologi transpersonal :
Dalam bukunya yang berjudul The Aquarian Conspiracy (1989), Marylin Ferguson mengatakan bahwa Psikologi Transpersonal lahir dan tumbuh di tengah-tengah gejolak politik, budaya, dan agama di Amerika pada tahun 1960-an dan 1970-an. Gerakan yang menuntut persamaan hak, dimulai dari demonstrasi mahasiswa terhadap perang Vietnam sampai gerakan ekologi, pembebasan perempuan, hak-hak kaum homoseksual dan lesbian, melanda seluruh Amerika dan akhirnya merambah ke Eropa. Di bawah gelombang protes tersebut, mengalir arus spiritual yang kuat.
Gereja-gereja dari kelompok minoritas kulit hitam memberikan inspirasi bagi gerakan persamaan hak. Gereja-geraja mayoritas pun ikut bergabung berdemonstrasi menentang perang Vietnam. Tokoh-tokoh progresif seperti Jerry Rubin, Michael Rossman, Lou Krupnik, Rennie Davis, dan Noel McInnis melengkapi perjuangan mereka dengan tema-tema spiritual yang akhirnya spiritualitas itu dijadikan sebagai tujuan hidup mereka.
Psikologi transpersonal lahir dari prakarsa tokoh-tokoh psikologi yang prihatin terhadap kondisi masyarakat Barat modern waktu itu yang hidup dalam gelimang materi tetapi miskin secara spiritual. Kita dapat menyebut Anthony Sutich, pendiri The Journal of Humanistic Psychology, sebagai pendiri mazhab psikologi transpersonal. Ia mengumpulkan tokoh-tokoh yang punya paham yang sama di rumahnya di California. Mereka membahas secara informal topik-topik yang tidak diperhatikan oleh psikologi humanistik dan gerakan potensi manusia waktu itu. Pertemuan itu dihadiri antara lain, Abraham Maslow, tokoh psikologi humanistik yang mempopulerkan peak experience (pengalaman puncak). Diskusi berlangsung sangat menarik, bukan karena topik yang dibicarakan sangat beragam, melainkan karena Sutich yang memimpin diskusi dalam kondisi berbaring akibat serangan penyakit kronis, yang memimpin diskusi dengan menggunakan cermin di atas kepalanya. Stanislav Grof, Maslow, dan Victor Frankl kemudian mengusulkan istilah 'transpersonal' bagi gerakan psikologi yang mereka rintis.
Bersama tokoh-tokoh psikologi humanistik lainnya, Sutich mendirikan The Journal of Transpersonal Psychology (JTP) pada tahun 1969. Dalam misi penerbitannya, JTP memiliki tiga motif sentral; pertama, fokus pada isu-isu yang secara konvensional dianggap menjadi urusan agama, misalnya transendensi, makna terdalam, atau nilai; kedua, menggunakan studi ilmiah dan empiris atas fenomena pengalaman spiritual; ketiga, menangguhkan kepercayaan pada isi pengalaman, yakni interpretasi opsional tentang apakah fenomena bersifat supranatural atau tidak. Singkatnya, psikologi transpersonal adalah pendekatan reflektif ilmiah untuk hal-hal yang secara tradisional dianggap religius atau spiritual.
Atas kritik dan penyempurnaan terhadap mazhab-mazhab psikologi sebelumnya, psikologi transpersonal pada dasarnya merupakan kelanjutan dari psikologi humanistik. Psikologi transpersonal dapat dikatakan sebagai mazhab keempat dalam psikologi setelah behaviorisme, psikoanalisa, dan psikologi humanistik. Psikologi transpersonal berusaha menggabungkan tradisi psikologis dengan tradisi-tradisi agama-agama besar dunia. Dia ingin menguak pesan terdalam dari semangat agama yang sering dilupakan-bahkan oleh pemeluknya sendiri, yaitu sophia perennis.
Mengenai aliran keempat ini, sebuah rumusan yang disusun oleh S.I Shapiro dan Denise H. Lajoie setelah mereka menelaah lebih dari empat puluh ragam definisi tentang psikologi transpersonal selama kurun waktu dua puluh tiga tahun, kiranya cukup memberikan gambaran mengenai psikologi transpersonal: "Transpersonal Psychology is concerned with the study of humanitiys highest potential, and with the recognition, understansing, and realization of unitive, spiritual, and transcendent states of consciousness (S.I Shapiro dan Denise H. Lajoie, Definition of Transpersonal Psychology: The first twenty years. The Journal of Transpersonal Psychology; Vol.24,No.1, 1992).
Paling tidak dari rumusan diatas terdapat dua unsur penting yang menjadi sasaran telaah psikologi transpersonal, yaitu potensi-potensi luhur (the highest potentials) dan fenomena kesadaran (states of consciousness) manusia.
The states of consciousness atau lebih popular disebut the altered states of consciousness (ASOC) adalah pengalaman seorang melewati batas-batas kesadaran biasa, misalnya saja pengalaman-pengalaman alih dimensi, memasuki alam-alam kebatinan, kesatuan mistik, komunikasi batiniah, pengalaman meditasi, dan sebagainya. Demikian pula mengenai potensi-potensi luhur manusia menghasilkan telaah-telaah seperti ; altered states of consciousness (ASOC), extra sensory perception (ESP), transendensi diri, potensi luhur dan paripurna, dimensi di atas alam kesadaran, pengalaman mistik, ekstase, parapsikologi, paranormal, daya-daya batin, pengalaman spiritual dan praktek-praktek keagamaan di kawasan Timur dan di pelbagai belahan dunia lainnya.
Psikologi transpersonal, seperti halnya psikologi humanistik, menaruh perhatian pada dimensi spiritual manusia yang ternyata mengandung pelbagai potensi dan kemampuan luar biasa yang sejauh ini terabaikan dari telaah psikologi kontemporer. Bedanya adalah kalau psikologi humanistik lebih memanfaatkan potensi-potensi ini untuk peningkatan hubungan antar manusia, sedangkan psikologi transpersonal lebih tertarik untuk meneliti pengalaman subjektif-transendental, serta pengalaman luar biasa dari potensi spiritual manusia ini.
Gambaran selintas tentang psikologi transpersonal ini menunjukkan bahwa aliran ini mencoba untuk menjajagi dan melakukan telaah ilmiah terhadap suatu dimensi yang sejauh ini lebih dianggap sebagai bidang garapan kaum kebatinan, ruhaniawan, agamawan, dan mistikus. Sekalipun masih dalam taraf telaah awal, Psikologi transpersonal menunjukkan bahwa di luar alam kesadaran biasa terdapat ragam dimensi lain yang luar biasa potensialnya.
Psikologi transpersonal telah menorehkan cara pandang revolusioner mengenai manusia dan kesadarannya. Dikatakan revolusioner karena terdapat asumsi-asumsi dasar dalam psikologi transpersonal yang berbeda dengan mazhab-mazhab psikologi sebelumnya. Vaughan, Wittine, dan Walsh dalam naskah yang berjudul Transpersonal Psychology and Religion Person (dalam E.P. Shafranske (ed.) Religion and Cinical Practice of Psychology,1996) menyebutkan empat asumsi dasar psikologi transpersonal :
Pertama, psikologi transpersonal adalah
pendekatan kepada penyembuhan dan pertumbuhan yang melingkupi semua tingkat
spektrum identitas-prapersonal, personal, dan transpersonal. Tahap prapersonal
dimulai dalam rahim sampai usia 3-4 tahun. Pada tahap ini, kesadaran didorong
oleh keinginan untuk bertahan hidup, memperoleh perlindungan, dan merasa
terikat. Tahap personal meliputi kesadaran diri (sense of self) yang kohesif
dan stabil. Sedang pada tahap transpersonal, individu menjadi pribadi yang
sadar tentang kerinduannya akan pengetahuan diri yang lebih mendalam.
Kedua, psikologi transpersonal mengakui terurainya kesadaran diri terapis serta pandangan dunia spiritualnya sebagai hal yang utama dalam membentuk sifat proses dan hasil terapi. Aumsi ini merupakan ciri khas psikologi transpersonal yang mengharuskan terapis untuk memberikan komitmen pada orientasi spiritualnya terhadap kehidupan.
Ketiga, psikologi transpersonal adalah proses kebangkitan atau pencerahan (awakening) dari identitas mikro menuju identitas makro. Psikologi transpersonal menganggap bahwa apa yang disebut Stanislav Grof sebagai spiritual emergency merupakan proses spiritual yang akan membimbing orang menuju pertumbuhan kepribadian yang lebih besar dan fungsi yang lebih tinggi.
Dan keempat, psikologi transpersonal akan membantu proses kebangkitan atau pencerahan (awakening) dengan menggunakan teknik-teknik yang mempertajam intuisi dan memperdalam kesadaran personal dan transpersonal tentang diri. Kearifan dan intuisi dibina dan dikembangkan melalui teknik-teknik seperti meditasi, pencitraan, mimpi, dan altered state of consciousness.
Kedua, psikologi transpersonal mengakui terurainya kesadaran diri terapis serta pandangan dunia spiritualnya sebagai hal yang utama dalam membentuk sifat proses dan hasil terapi. Aumsi ini merupakan ciri khas psikologi transpersonal yang mengharuskan terapis untuk memberikan komitmen pada orientasi spiritualnya terhadap kehidupan.
Ketiga, psikologi transpersonal adalah proses kebangkitan atau pencerahan (awakening) dari identitas mikro menuju identitas makro. Psikologi transpersonal menganggap bahwa apa yang disebut Stanislav Grof sebagai spiritual emergency merupakan proses spiritual yang akan membimbing orang menuju pertumbuhan kepribadian yang lebih besar dan fungsi yang lebih tinggi.
Dan keempat, psikologi transpersonal akan membantu proses kebangkitan atau pencerahan (awakening) dengan menggunakan teknik-teknik yang mempertajam intuisi dan memperdalam kesadaran personal dan transpersonal tentang diri. Kearifan dan intuisi dibina dan dikembangkan melalui teknik-teknik seperti meditasi, pencitraan, mimpi, dan altered state of consciousness.
Psikologi
transpersonal membawa perubahan baru dalam psikoterapi, atau yang sekarang
lazim disebut sebagai intervensi spiritual dalam psikoterapi. Doa, zikir,
pertobatan, dan ritus-ritus keagamaan lainnya telah menjadi media yang ampuh
dalam membantu proses penyembuhan. Sampai disini, psikologi transpersonal dapat
dikatakan telah berhasil mengawinkan antara kajian psikologi dan spirituialitas
dari tradisi agama-agama.
Memadukan Psikologi, Agama, dan Penyembuhan Holistik Hubungan antara agama dan psikologi dalam panggung sejarah menunjukkan pola yang saling menjauhi, bahkan saling memusuhi. Salah satu sebab mengapa psikologi menjauhi agama ialah kenyataan bahwa lebih dari tujuh puluh tahun-bahkan sampai sekarang di kalangan mainstream psikologi dan psikiatri yang berparadigma sains modern-agama dianggap sebagai hal yang tidak sehat secara fisik maupun mental. Kita mungkin dapat menyebut beberapa tokoh psikologi yang dalam pemikirannya memusuhi agama. Sigmund Freud, pendiri psikoanalisa mengaggap agama sebagai pemuasan keinginan kekanak-kanakan dan delusi. B.F. Skinner, pendiri behaviorisme, menganggap agama hanya sebagai jenis perilaku yang diperteguh oleh stimulus-stimulus yang diberikan oleh tokoh agama atau pengendali lain yang berkuasa. Sehingga, ketika stimulus tersebut dihilangkan, manusia sebenarnya tidak lagi membutuhkan agama.
Kita juga bisa menyebut Albert Ellis, tokoh psikologi kognitif yang penuh arogansi menganggap agama sebagai kondisi patologis dan penyakit jiwa. Sebenarnya ada banyak lagi pendapat miring dari para psikolog tentang agama (Jalaluddin Rahmat, Pengantar Psikologi Agama,2003).
Namun belakangan ini, terdapat asumsi yang berbalik-bahwa ketaatan dalam menjalankan ajaran agama ternyata dapat membantu menjaga kesehatan mental maupun fisik seseorang. Sebagai contoh, Shorto lewat penelitiannya mencatat korelasi yang signifikan antara spiritualitas dan kesehatan dalam berbagai hal: meditasi mengurangi tingkat kolesterol serum; kepercayaan agama dapat mengurangi tingkat rasa sakit pada pasien kanker; lebih banyak orang yang religius ketimbang yang tidak religius selamat setelah pembedahan jantung; meditasi dan sembahyang secara rutin dapat menurunkan tingkat stress dan depresi, dapat meningkatkan kepuasan hidup dan harga diri, dan menurunkan tingkat kecemasan terhadap kematian (Shorto, Saint and Madmen: Psychiatry Open Its Doors to Religion, 1999).
Larry Dossey, seorang internis dan penganjur pengobatan holistik, juga mengemukakan penelitian yang serupa berkenaan dengan hubungan antara spiritualitas dan proses penyembuhan. Dia menggunakan doa sebagai salah satu medium untuk membantu proses penyembuhan. Dalam penelitian yang melibatkan pasien kardiak, yang didoakan mengalami lebih sedikit kegagalan jantung, serangan jantung, dan pneumonia daripada yang tidak didoakan. Selain itu, doa juga dapat digunakan oleh sesama orang yang sehat untuk menjaga kesehatannya (Dossey, HealingWords: The Power of Prayer and the Practice of Medicine,1994), Paradigma penyembuhan holistik dan apresiasi yang tinggi terhadap spiritualitas menjadi isu sentral dari gerakan psikologi transpersonal. Ilmu kedokteran dan psikologi yang dilengkapi semangat spiritualitas dari agama-agama akan menghasilkan revolusi cara berpikir dalam melihat kesehatan manusia. Kesehatan paripurna adalah sehat secara fisik dan didukung sehat mental-spiritual.
Ken Wilber, generasi kedua dari gerakan psikologi transpersonal berpendapat bahwa untuk menghasilkan kesehatan sejati, seyogyanya harus didahului oleh sikap mental berdasar filsafat manusia yang utuh. Filsafat manusia yang utuh merupakan cara pandang yang mampu melampaui dualitas pikiran tubuh yang menjadi karakter dari pradigma Cartersian-Newtonian. Cara pandang ilmu psikologi dan kedokteran modern dalam terang filsafat Cartersian-Newtonian semata-mata melihat manusia dalam reduksi materialistis. Filsafat manusia yang utuh adalah integrasi dari beberapa entitas yang terdapat pada diri manusia diantaranya: Phisical Unconsciousness-Biological-Psychological-Causal-Subtle-Ultime consciousness (Ken Wilber, The Eye of Spirit, 1997).
Model penyembuhan yang menggabungkan entitas-entitas tersebut, sebenarnya telah dipraktekkan dalam ilmu pengobatan tradisi Timur-dan belakangan ini muncul antusiasme dari praktisi pengobatan di Barat dalam mengadopsi model pengobatan Timur tersebut, seperti yang telah dipraktekkan para penganjur model penyembuhan holistik.
Memadukan Psikologi, Agama, dan Penyembuhan Holistik Hubungan antara agama dan psikologi dalam panggung sejarah menunjukkan pola yang saling menjauhi, bahkan saling memusuhi. Salah satu sebab mengapa psikologi menjauhi agama ialah kenyataan bahwa lebih dari tujuh puluh tahun-bahkan sampai sekarang di kalangan mainstream psikologi dan psikiatri yang berparadigma sains modern-agama dianggap sebagai hal yang tidak sehat secara fisik maupun mental. Kita mungkin dapat menyebut beberapa tokoh psikologi yang dalam pemikirannya memusuhi agama. Sigmund Freud, pendiri psikoanalisa mengaggap agama sebagai pemuasan keinginan kekanak-kanakan dan delusi. B.F. Skinner, pendiri behaviorisme, menganggap agama hanya sebagai jenis perilaku yang diperteguh oleh stimulus-stimulus yang diberikan oleh tokoh agama atau pengendali lain yang berkuasa. Sehingga, ketika stimulus tersebut dihilangkan, manusia sebenarnya tidak lagi membutuhkan agama.
Kita juga bisa menyebut Albert Ellis, tokoh psikologi kognitif yang penuh arogansi menganggap agama sebagai kondisi patologis dan penyakit jiwa. Sebenarnya ada banyak lagi pendapat miring dari para psikolog tentang agama (Jalaluddin Rahmat, Pengantar Psikologi Agama,2003).
Namun belakangan ini, terdapat asumsi yang berbalik-bahwa ketaatan dalam menjalankan ajaran agama ternyata dapat membantu menjaga kesehatan mental maupun fisik seseorang. Sebagai contoh, Shorto lewat penelitiannya mencatat korelasi yang signifikan antara spiritualitas dan kesehatan dalam berbagai hal: meditasi mengurangi tingkat kolesterol serum; kepercayaan agama dapat mengurangi tingkat rasa sakit pada pasien kanker; lebih banyak orang yang religius ketimbang yang tidak religius selamat setelah pembedahan jantung; meditasi dan sembahyang secara rutin dapat menurunkan tingkat stress dan depresi, dapat meningkatkan kepuasan hidup dan harga diri, dan menurunkan tingkat kecemasan terhadap kematian (Shorto, Saint and Madmen: Psychiatry Open Its Doors to Religion, 1999).
Larry Dossey, seorang internis dan penganjur pengobatan holistik, juga mengemukakan penelitian yang serupa berkenaan dengan hubungan antara spiritualitas dan proses penyembuhan. Dia menggunakan doa sebagai salah satu medium untuk membantu proses penyembuhan. Dalam penelitian yang melibatkan pasien kardiak, yang didoakan mengalami lebih sedikit kegagalan jantung, serangan jantung, dan pneumonia daripada yang tidak didoakan. Selain itu, doa juga dapat digunakan oleh sesama orang yang sehat untuk menjaga kesehatannya (Dossey, HealingWords: The Power of Prayer and the Practice of Medicine,1994), Paradigma penyembuhan holistik dan apresiasi yang tinggi terhadap spiritualitas menjadi isu sentral dari gerakan psikologi transpersonal. Ilmu kedokteran dan psikologi yang dilengkapi semangat spiritualitas dari agama-agama akan menghasilkan revolusi cara berpikir dalam melihat kesehatan manusia. Kesehatan paripurna adalah sehat secara fisik dan didukung sehat mental-spiritual.
Ken Wilber, generasi kedua dari gerakan psikologi transpersonal berpendapat bahwa untuk menghasilkan kesehatan sejati, seyogyanya harus didahului oleh sikap mental berdasar filsafat manusia yang utuh. Filsafat manusia yang utuh merupakan cara pandang yang mampu melampaui dualitas pikiran tubuh yang menjadi karakter dari pradigma Cartersian-Newtonian. Cara pandang ilmu psikologi dan kedokteran modern dalam terang filsafat Cartersian-Newtonian semata-mata melihat manusia dalam reduksi materialistis. Filsafat manusia yang utuh adalah integrasi dari beberapa entitas yang terdapat pada diri manusia diantaranya: Phisical Unconsciousness-Biological-Psychological-Causal-Subtle-Ultime consciousness (Ken Wilber, The Eye of Spirit, 1997).
Model penyembuhan yang menggabungkan entitas-entitas tersebut, sebenarnya telah dipraktekkan dalam ilmu pengobatan tradisi Timur-dan belakangan ini muncul antusiasme dari praktisi pengobatan di Barat dalam mengadopsi model pengobatan Timur tersebut, seperti yang telah dipraktekkan para penganjur model penyembuhan holistik.