Selasa, 01 Agustus 2017

YANG TERBAIK UNTUK ANAK



SERIAL Harry Potter (semula) tidak diterbitkan dalam versi braille. Akibatnya, sejumlah kalangan di Inggris memprotes penerbit karena dinilai melakukan diskriminasi terhadap anak-anak yang memiliki gangguan penglihatan. Penerbit lalu berjanji akan segera menerbitkannya dalam dua minggu.

Demikian sekilas abstraksi penerapan hak anak di Inggris. Hingga tahun lalu, tercatat empat juta anak di Inggris hidup dalam kemiskinan (End Child Poverty, edisi April 2002). Ini adalah angka tertinggi di kalangan negara industri maju lainnya. Namun, kesungguhan negara ini mengurus masalah anak ditandai upaya mengintegrasikan perlindungan hak anak dengan program menghapus kemiskinan anak. Strateginya antara lain dengan mendorong implementasi Children Budget’s Year oleh kelompok kerja parlemen (All Party Parlement Group) untuk masalah anak dan kemiskinan.

 

MELIHAT keseriusannya, kita patut cemburu. Kondisi anak di Indonesia masih memprihatinkan, meski upaya perlindungan anak sudah lama dikerjakan. Ibu Mangunsarkoro sejak 1920 memeloporinya lewat Taman Siswa. Kini, delapan bulan setelah UU Perlindungan Anak Nomor 23/2002 diundangkan, kesadaran hak anak di negara ini masih rendah, bahkan masih banyak lembaga dan pihak terkait belum mengetahui keberadaan UU ini, apalagi menerapkannya.

Dalam artikel "Mematahkan Mitos, Menghormati Anak sebagai Manusia" (Kompas, 30/6/03), terurai sejumlah mitos yang dianggap mengganjal upaya perbaikan nasib anak Indonesia. Mitos-mitos ini menyebabkan orang dewasa gagal mempersepsi anak sebagai manusia, dan memperlakukan anak hanya sebagai obyek dalam keluarga, masyarakat, maupun negara. Berbagai lembaga dan legislasi nasional yang dibuat untuk melindungi hak anak pun ditengarai masih berperilaku serupa. Bagaimana ini terjadi?

Harus dipahami, perjuangan hak anak tumbuh seiring pengakuan terhadap nilai-nilai humanisme universal. Hak asasi anak merupakan bagian hak asasi manusia. Upaya perlindungan anak diberikan dalam kesadaran, anak belum punya kapasitas legal untuk melakukan sesuatu yang berimplikasi hukum. Karena itu, negara wajib melindungi hak anak, tanggung jawab pelaksanaannya diserahkan kepada orangtua dan masyarakat.

Namun, filsafat humanisme yang dibawa sistem kapitalisme modern yang kita anut kini mendorong tumbuhnya nilai-nilai kemanusiaan yang memihak kebebasan individual dan memprioritaskan kebutuhan individu di atas relasi sosial. Dalam praktiknya, nilai-nilai humanistik sering menyerah pada dorongan kebutuhan individual yang menghasilkan keuntungan lebih besar. Individualitas juga merasuk dalam kesadaran manusia dan mendominasi struktur relasi antarmanusia, hingga mampu menggeser nilai-nilai luhur dalam relasi orangtua dan anak. Apalagi globalisasi yang dimotivasi kapitalisme memaksa manusia untuk kreatif mengapitalisasi apa pun demi mendapat laba. Tentu saja anak, dalam posisinya yang lemah secara fisik, sosial, maupun hukum, menjadi pilihan yang amat atraktif untuk dikapitalkan.

Kondisi ini diperkeruh apresiasi budaya atau agama yang menerjemahkan hubungan orangtua–anak dalam relasi subordinat, di mana orangtua adalah pihak yang bertanggung jawab untuk membesarkan dan memenuhi kebutuhan anak. Orangtua lalu merasa berhak melakukan apa pun terhadap anaknya melalui berbagai dalih agama dan budaya, termasuk prinsip "demi kebaikan anak". Orangtua juga sering sulit melepas identifikasi dirinya dalam diri anak. Anak dianggap mengemban aneka obsesi dan harapan yang ingin ia capai. Akibatnya, konsep "demi kebaikan anak" sering menjelma menjadi "demi kebaikan orangtua".

CAROL Bellamy, Direktur Eksekutif UNICEF untuk Asia-Pasifik, berujar, "…Semua berawal dari satu hal, investasi pada anak-anak", dalam pidato pembukaan pertemuan Konsultasi Tingkat Menteri se-Asia Timur dan Pasifik tentang Anak awal Mei lalu (Kompas, 11/5/03). Ungkapan "investasi pada anak-anak" harus dibaca hati-hati, mengingat istilah investasi amat berbau ekonomi. Pertimbangan utama dalam investasi adalah keuntungan investor. Investasinya jelas diperlakukan sebaik mungkin, namun tujuan akhir tetap kepentingan investor. Bila logika ini terus digunakan, pemaknaan eksploitatif inilah yang masuk ke bawah sadar manusia dan mengendalikan perilaku tanpa kita sadari.

Pada kenyataannya, manusia sering memperlakukan anak sebagai properti, simbol prestise, atau atribut standar dari statusnya sebagai manusia dewasa. Misalnya, dengan menjadikan anak sebagai alasan untuk menikah atau mempertahankan perkawinan. Padahal, anak punya hak untuk tumbuh dalam rumah tangga yang sehat sejahtera secara psikologis. Hak ini sering terlanggar saat istilah "kepentingan terbaik untuk anak" ditafsirkan secara egois demi kepentingan (calon) orangtuanya. Sudah waktunya unsur hak anak masuk dalam persyaratan perkawinan, terutama bagi pasangan yang berniat punya anak. Mereka harus paham, mampu, dan bersedia memenuhi hak anak agar anak tak lagi jadi aset atau dekor rumah tangga belaka.

Rapuhnya perlindungan anak di Indonesia juga disebabkan selama ini isu anak diperlakukan bak burung dalam sangkar. Orang tertarik berpartisipasi karena "anak" adalah isu yang eksotik, segala dukungan fasilitas dan dana relatif mudah diperoleh karena manusia mudah tersentuh perasaannya bila menyangkut urusan anak. Selain itu, isu anak dianggap soft issue karena lebih bermuatan sosial atau amal, dan relatif apolitis. Padahal, kekuatan posisi tawar amat signifikan bagi keberhasilan gerakan ini. Lemahnya dukungan politik membuat gerakan ini dimanfaatkan sebagai fungsi sublimasi dari aneka kepentingan selain kepentingan anak, misalnya, pengumpulan simpati politik, popularitas, promosi jabatan, uang, atau surga.

Pertanyaannya kini, apa yang membuat masalah anak menjadi signifikan hingga butuh banyak perhatian, mulai dari budaya sampai politik? Jawabnya, karena penyelesaian separuh hati atau sekadar seremonial justru membahayakan perkembangan emosi dan struktur kepribadian anak. Artinya, cita-cita perbaikan nasib anak bakal makin jauh melayang.

Ketika fungsi-fungsi perlindungan anak gagal dilaksanakan orangtua atau masyarakat, peran negara kembali penting. Salah satu isi UU Perlindungan Anak No 23/2002 adalah pembentukan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Lembaga ini diharapkan berperan seperti Komnas HAM, dengan konsentrasi pada masalah anak. Di luar beberapa kelemahan materiil dari konsep KPAI, lembaga ini perlu didukung, setidaknya atas dua alasan. Pertama, untuk menjamin negara dan perangkatnya menjalankan fungsi pelindung hak anak sebagaimana tertuang dalam UU dengan serius dan bertanggung jawab. Kedua, guna memastikan isu anak tidak dimarjinalisasi sebagai pekerjaan departemen sosial atau pemberdayaan perempuan, tetapi juga menjadi agenda wajib tiap institusi pengambil kebijakan. Misalnya, dengan membuat analisis dan pernyataan tentang pengaruh suatu kebijakan terhadap anak (child impact statement), yang lalu dioperasionalkan dalam anggaran.

Kriteria keseriusan negara dalam melindungi hak anak akan terlihat dari seberapa jauh analisis ini dijadikan prioritas pertimbangan dalam pengambilan kebijakan.

 

KPAI juga harus mendorong keterlibatan anak dalam berbagai kegiatan atau pengambilan keputusan yang menyangkut nasibnya. Penguatan partisipasi anak tak hanya penting untuk merangsang sensitivitas sosial dan kemampuan toleransi, tetapi juga melatih anak bertanggung jawab atas keputusan yang diambil bersama.

Ini bukan konsep khayalan. Tahun 1996, di Lebanon, sejumlah anak berusia 16–18 tahun berpartisipasi dalam sidang parlemen yang membahas masalah anak, seperti pendidikan dan kesehatan. Hasilnya positif karena sejak itu masalah anak menjadi isu politik serius di Lebanon. Ini sejalan prinsip dasar hak anak yang juga termuat dalam UU No 23/2002, yaitu penghargaan terhadap partisipasi anak. Parlemen Anak, sedikitnya merupakan langkah awal. Mungkin suatu saat, pendapat anak dalam berbagai isu, seperti RUU Sisdiknas atau Panja Sukhoi, bisa diperhitungkan, mengingat baik Depdiknas maupun Bulog adalah institusi yang amat relevan dengan kesejahteraan mereka.

Di Indonesia, penerapan total hak anak masih jauh dari sempurna, namun langkah ke sana harus diambil. Bagaimanapun, anak tidak bertanggung jawab atas perilaku kita. Sebaliknya, mereka dipastikan mewarisi masalah akibat perbuatan kita saat ini. Seperti dinyatakan White Lion dalam lagu When The Children Cry, ...what have we become…just look what we have done…all that we destroyed… you must build again….

Erita Narhetali Direktur Lembaga Studi Anak Marjinal (LSAM), Tim Litbang Lembaga Bantuan Hukum Rakyat (LBHR)

Sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0307/23/opini/439314.htm

Kamis, 08 Juni 2017

OPINI: MENGAPA SAINS MEMBUTUHKAN FILSAFAT

 

Pengetahuan tentang latar belakang sejarah dan filosofis memberikan kebebasan semacam itu dari prasangka generasinya yang diderita sebagian besar ilmuwan. Kemandirian yang diciptakan oleh wawasan filosofis ini—menurut saya—tanda pembeda antara seorang seniman atau spesialis belaka dan pencari kebenaran sejati. (Albert Einstein, Surat untuk Robert Thornton, 1944)

Terlepas dari hubungan historis yang erat antara sains dan filsafat, para ilmuwan masa kini sering menganggap filsafat sama sekali berbeda dari, dan bahkan bertentangan dengan, sains. Kami berpendapat di sini bahwa, sebaliknya, filsafat dapat memiliki dampak penting dan produktif pada sains.

Terlepas dari hubungan historis yang erat antara sains dan filsafat, mendengarkan kembali ke Plato, Aristoteles, dan lainnya (di sini dibangkitkan dengan Sekolah Athena yang terkenal dari Raphael), para ilmuwan masa kini sering menganggap filsafat sama sekali berbeda dari, dan bahkan bertentangan dengan, sains. Sebaliknya, kami percaya filsafat dapat memiliki dampak penting dan produktif pada sains. Kredit gambar: Shutterstock.com/Isogood_patrick.

Kami mengilustrasikan poin kami dengan tiga contoh yang diambil dari berbagai bidang ilmu kehidupan kontemporer. Masing-masing menanggung penelitian ilmiah mutakhir, dan masing-masing telah secara eksplisit diakui oleh para peneliti praktik sebagai kontribusi yang berguna bagi sains. Contoh-contoh ini dan contoh-contoh lain menunjukkan bahwa kontribusi filsafat dapat mengambil setidaknya empat bentuk: klarifikasi konsep-konsep ilmiah, penilaian kritis asumsi atau metode ilmiah, perumusan konsep dan teori baru, dan pembinaan dialog antara ilmu-ilmu yang berbeda, serta antara ilmu pengetahuan dan masyarakat.

Klarifikasi Konseptual dan Sel Induk.

Pertama, filsafat menawarkan klarifikasi konseptual. Klarifikasi konseptual tidak hanya meningkatkan ketepatan dan kegunaan istilah ilmiah tetapi juga mengarah pada penyelidikan eksperimental baru karena pilihan kerangka konseptual yang diberikan sangat membatasi bagaimana eksperimen dipahami.

Definisi sel punca adalah contoh utama. Filsafat memiliki tradisi panjang dalam menyelidiki sifat-sifat, dan alat-alat yang digunakan dalam tradisi ini baru-baru ini telah diterapkan untuk menggambarkan "batang", sifat yang mendefinisikan sel punca. Salah satu dari kami telah menunjukkan bahwa empat jenis properti ada di bawah kedok stemness dalam pengetahuan ilmiah saat. Tergantung pada jenis jaringannya, batang dapat menjadi sifat kategoris (sifat intrinsik sel punca, tidak tergantung pada lingkungannya), sifat disposisional (sifat intrinsik sel punca yang dikendalikan oleh lingkungan mikro), sifat relasional (properti ekstrinsik yang dapat diberikan ke sel non-induk oleh lingkungan mikro), atau properti sistemik (properti yang dipertahankan dan dikendalikan pada tingkat seluruh populasi sel).

Peneliti biologi sel induk dan kanker Hans Clevers mencatat bahwa analisis filosofis ini menyoroti masalah semantik dan konseptual penting dalam onkologi dan biologi sel punca; dia juga menyarankan analisis ini siap diterapkan untuk eksperimen. Memang, di luar klarifikasi konseptual, karya filosofis ini memiliki aplikasi dunia nyata seperti yang diilustrasikan oleh kasus sel induk kanker dalam onkologi.

Penelitian yang ditujukan untuk mengembangkan obat yang menargetkan sel induk kanker atau lingkungan mikronya sebenarnya bergantung pada jenis batang yang berbeda dan dengan demikian kemungkinan memiliki tingkat keberhasilan yang berbeda tergantung pada jenis kanker. Selain itu, mereka mungkin tidak mencakup semua jenis kanker karena strategi terapi saat ini tidak memperhitungkan definisi sistemik dari stemness. Menentukan jenis batang yang ditemukan di setiap jaringan dan kanker dengan demikian berguna untuk mengarahkan pengembangan dan pilihan terapi antikanker. Dalam praktiknya, kerangka kerja ini telah mengarah pada penyelidikan terapi kanker yang menggabungkan penargetan sifat sel induk kanker intrinsik, lingkungan mikronya, dan pos pemeriksaan kekebalan untuk mencakup semua kemungkinan jenis batang.

Selanjutnya, kerangka filosofis ini baru-baru ini telah diterapkan ke bidang lain, studi tentang organoid. Dalam tinjauan sistemik data eksperimen pada organoid dari berbagai sumber, Picollet-D'hahan et al. mencirikan kemampuan untuk membentuk organoid sebagai properti disposisional. Mereka kemudian dapat berargumen bahwa untuk meningkatkan efisiensi dan reproduktifitas produksi organoid, tantangan utama saat ini di lapangan, peneliti memerlukan pemahaman yang lebih baik tentang bagian intrinsik dari sifat disposisional yang dipengaruhi oleh lingkungan mikro. Untuk membedakan fitur intrinsik sel yang memiliki disposisi seperti itu, kelompok ini sekarang mengembangkan metode genomik fungsional throughput tinggi, memungkinkan penyelidikan peran hampir setiap gen manusia dalam pembentukan organoid.

Imunogenisitas dan Mikrobioma.

Melengkapi perannya dalam klarifikasi konseptual, filsafat dapat berkontribusi pada kritik asumsi ilmiah — dan bahkan dapat proaktif dalam merumuskan teori-teori baru, dapat diuji, dan prediktif yang membantu menetapkan jalur baru untuk penelitian empiris.

Sebagai contoh, kritik filosofis terhadap kerangka kerja non-diri yang imun telah menghasilkan dua kontribusi ilmiah yang signifikan. Pertama, itu adalah dasar dari perumusan kerangka teoritis baru, teori diskontinuitas kekebalan, yang melengkapi sebelumnya diri bukan dirinya dan bahaya model dengan mengusulkan bahwa sistem respon kekebalan tubuh untuk modifikasi tiba-tiba motif antigenik. Teori ini menjelaskan banyak fenomena imunologis yang penting, termasuk penyakit autoimun, respon imun terhadap tumor, dan toleransi imunologis terhadap ligan yang diekspresikan secara kronis. Teori diskontinuitas telah diterapkan pada banyak pertanyaan, membantu mengeksplorasi efek agen kemoterapi pada imunomodulasi pada kanker dan menjelaskan bagaimana sel pembunuh alami terus-menerus memodifikasi fenotipe dan fungsinya melalui interaksinya dengan ligan mereka dengan cara yang memastikan toleransi terhadap tubuh. (diri) konstituen. Teori ini juga membantu menjelaskan konsekuensi dari vaksinasi diulang pada individu immunocompromised dan menyarankan model matematika dinamis dari aktivasi kekebalan. Secara kolektif, berbagai penilaian empiris ini menggambarkan bagaimana proposal yang diilhami secara filosofis dapat mengarah pada eksperimen baru, membuka jalan baru untuk penelitian.

Kedua, kritik filosofis berkontribusi bersama dengan pendekatan filosofis lainnya terhadap gagasan bahwa setiap organisme, jauh dari diri yang homogen secara genetik, adalah komunitas simbiosis yang menyimpan dan menoleransi banyak elemen asing (termasuk bakteri dan virus), yang dikenali tetapi tidak dihilangkan oleh sistem kekebalannya. Penelitian tentang integrasi simbiosis dan toleransi kekebalan memiliki konsekuensi luas untuk konsepsi kita tentang apa yang membentuk organisme individu, yang semakin dikonseptualisasikan sebagai ekosistem kompleks yang fungsi utamanya, dari pengembangan hingga pertahanan, perbaikan, dan kognisi, dipengaruhi oleh interaksi dengan mikroba.

Mempengaruhi Ilmu Kognitif.

Studi tentang kognisi dan ilmu saraf kognitif menawarkan ilustrasi yang mencolok tentang pengaruh filsafat yang dalam dan bertahan lama pada sains. Seperti halnya imunologi, para filsuf telah merumuskan teori dan eksperimen yang berpengaruh, membantu memulai program penelitian tertentu, dan berkontribusi pada perubahan paradigma. Tetapi skala pengaruhnya mengerdilkan kasus imunologi. Filsafat berperan dalam perpindahan dari behaviorisme ke kognitivisme dan komputasionalisme pada 1960-an. Mungkin yang paling terlihat adalah teori modularitas pikiran, yang diajukan oleh filsuf Jerry Fodor. Pengaruhnya pada teori arsitektur kognitif hampir tidak dapat dilebih-lebihkan. Dalam penghormatan setelah kematian Fodor pada tahun 2017, psikolog kognitif terkemuka James Russell berbicara di majalah British Psychological Society tentang "psikologi perkembangan kognitif BF (sebelum Fodor) dan AF (setelah Fodor)" ( https://thepsychologist.bps.org .uk/jerry-fodor-1935-2017 ).

Modularitas mengacu pada gagasan bahwa fenomena mental muncul dari pengoperasian berbagai proses yang berbeda, bukan dari satu proses yang tidak terdiferensiasi. Terinspirasi oleh bukti dalam psikologi eksperimental, oleh linguistik Chomskian, dan oleh teori komputasi baru dalam filsafat pikiran, Fodor berteori bahwa kognisi manusia terstruktur dalam satu set modul khusus tingkat yang lebih rendah, spesifik domain, dienkapsulasi secara informasi dan tingkat yang lebih tinggi, sistem pusat domain-umum untuk penalaran abduktif dengan informasi hanya mengalir ke atas secara vertikal, bukan ke bawah atau horizontal (yaitu, antar modul). Dia juga merumuskan kriteria ketat untuk modularitas. Sampai hari ini, proposal Fodor menetapkan istilah untuk banyak penelitian dan teori empiris di banyak bidang ilmu kognitif dan ilmu saraf termasuk perkembangan kognitif, psikologi evolusioner, kecerdasan buatan, dan antropologi kognitif. Meskipun teorinya telah direvisi dan ditantang, para peneliti terus menggunakan, mengubah, dan memperdebatkan pendekatan dan perangkat konseptual dasarnya.

Filsafat dan sains berbagi alat logika, analisis konseptual, dan argumentasi yang ketat. Namun para filsuf dapat mengoperasikan alat-alat ini dengan tingkat ketelitian, kebebasan, dan abstraksi teoretis yang seringkali tidak dapat dilakukan oleh para peneliti praktik dalam kegiatan sehari-hari mereka.

Tugas kepercayaan palsu merupakan contoh kunci lain dari dampak filsafat pada ilmu-ilmu kognitif. Filsuf Daniel Dennett adalah orang pertama yang memahami logika dasar percobaan ini sebagai revisi dari tes yang digunakan untuk mengevaluasi teori pikiran, kemampuan untuk menghubungkan keadaan mental dengan diri sendiri dan orang lain. Tugas menguji kapasitas untuk menghubungkan orang lain dengan keyakinan yang dianggap salah, ide kuncinya adalah bahwa penalaran tentang keyakinan salah orang lain, sebagai lawan dari keyakinan yang benar, membutuhkan pemahaman orang lain sebagai memiliki representasi mental yang berbeda dari milik sendiri dan dari yang lain. cara dunia sebenarnya. Aplikasi empiris pertamanya adalah pada tahun 1983, dalam sebuah artikel yang berjudul, “Keyakinan Tentang Keyakinan: Representasi dan Fungsi Pembatasan Keyakinan yang Salah dalam Pemahaman Anak Kecil tentang Penipuan,” itu sendiri merupakan penghargaan langsung untuk kontribusi Dennett.

Tugas keyakinan palsu merupakan eksperimen tonggak sejarah di berbagai bidang ilmu kognitif dan ilmu saraf, dengan aplikasi dan implikasi yang luas. Mereka termasuk pengujian untuk tahap perkembangan kognitif pada anak-anak, memperdebatkan arsitektur kognisi manusia dan kapasitasnya yang berbeda, menilai teori kemampuan pikiran pada kera besar, mengembangkan teori autisme sebagai kebutaan pikiran (yang sesuai dengan kesulitan dalam melewati tugas kepercayaan palsu adalah terkait dengan kondisi tersebut), dan menentukan daerah otak tertentu mana yang terkait dengan kapasitas untuk menalar tentang isi pikiran orang lain.

Filsafat juga telah membantu bidang ilmu kognitif menyaring asumsi yang bermasalah atau ketinggalan zaman, membantu mendorong perubahan ilmiah. Konsep pikiran, kecerdasan, kesadaran, dan emosi digunakan di mana-mana di berbagai bidang dengan sering sedikit kesepakatan tentang maknanya. Merekayasa kecerdasan buatan, membangun teori psikologis tentang variabel keadaan mental, dan menggunakan alat ilmu saraf untuk menyelidiki kesadaran dan emosi memerlukan alat konseptual untuk kritik diri dan dialog lintas disiplin—tepatnya alat yang dapat disediakan oleh filsafat.

Filsafat—kadang-kadang dilambangkan dengan huruf Yunani phi—dapat membantu memajukan semua tingkat usaha ilmiah, dari teori hingga eksperimen. Contoh terbaru termasuk kontribusi untuk biologi sel induk, imunologi, simbiosis, dan ilmu kognitif. Kredit gambar: Wiebke Bretting (artis).

Filsafat dan Pengetahuan Ilmiah.

Contoh di atas jauh dari satu-satunya: dalam ilmu kehidupan, refleksi filosofis telah memainkan peran penting dalam berbagai masalah seperti altruisme evolusioner, perdebatan tentang unit seleksi, pembangunan "pohon kehidupan, dominasi mikroba di biosfer, definisi gen, dan pemeriksaan kritis konsep bawaan. Demikian pula, dalam fisika, pertanyaan mendasar seperti definisi waktu telah diperkaya oleh karya para filsuf. Misalnya, analisis ireversibilitas temporal oleh Huw Price  dan kurva temporal tertutup oleh David Lewis telah membantu menghilangkan kebingungan konseptual dalam fisika.

Terinspirasi oleh contoh-contoh ini dan banyak contoh lainnya, kita melihat filsafat dan ilmu pengetahuan terletak pada suatu kontinum. Filsafat dan sains berbagi alat logika, analisis konseptual, dan argumentasi yang ketat. Namun para filsuf dapat mengoperasikan alat-alat ini dengan tingkat ketelitian, kebebasan, dan abstraksi teoretis yang seringkali tidak dapat dilakukan oleh para peneliti praktik dalam kegiatan sehari-hari mereka. Filsuf dengan pengetahuan ilmiah yang relevan kemudian dapat memberikan kontribusi yang signifikan untuk kemajuan ilmu pengetahuan di semua tingkat perusahaan ilmiah dari teori ke eksperimen seperti yang ditunjukkan oleh contoh di atas.

Tetapi bagaimana dalam praktiknya kita dapat memfasilitasi kerjasama antara peneliti dan filsuf? Sepintas, solusinya mungkin tampak jelas: setiap komunitas harus melangkah ke arah yang lain. Namun itu akan menjadi kesalahan untuk menganggap ini tugas yang mudah. Kendalanya banyak. Saat ini, sejumlah besar filsuf meremehkan sains atau tidak melihat relevansi sains dengan pekerjaan mereka. Bahkan di antara para filsuf yang menyukai dialog dengan para peneliti, hanya sedikit yang memiliki pengetahuan yang baik tentang sains terkini. Sebaliknya, hanya sedikit peneliti yang merasakan manfaat yang dapat dibawa oleh wawasan filosofis. Dalam konteks ilmiah saat ini, yang didominasi oleh spesialisasi yang semakin meningkat dan tuntutan pendanaan dan keluaran yang semakin meningkat, hanya segelintir peneliti yang memiliki waktu dan kesempatan bahkan untuk menyadari karya yang dihasilkan oleh para filosof tentang sains apalagi untuk membacanya.

Untuk mengatasi kesulitan-kesulitan ini, kami percaya bahwa serangkaian rekomendasi sederhana, yang dapat segera diterapkan, dapat membantu menjembatani kesenjangan antara sains dan filsafat. Rekoneksi antara filsafat dan sains sangat diinginkan dan lebih dapat direalisasikan dalam praktik daripada yang disarankan oleh dekade keterasingan di antara mereka.

i ) Memberikan lebih banyak ruang untuk filsafat dalam konferensi ilmiah. Ini adalah mekanisme yang sangat sederhana bagi para peneliti untuk menilai potensi kegunaan wawasan para filsuf untuk penelitian mereka sendiri. Secara timbal balik, lebih banyak peneliti dapat berpartisipasi dalam konferensi filsafat, memperluas upaya organisasi seperti Masyarakat Internasional untuk Sejarah, Filsafat, dan Studi Sosial Biologi; Asosiasi Filsafat Ilmu; dan Masyarakat untuk Filsafat Ilmu dalam Praktek.

ii ) Tuan rumah filsuf di laboratorium dan departemen ilmiah. Ini adalah cara yang ampuh (sudah dieksplorasi oleh beberapa penulis dan yang lain) bagi para filsuf untuk mempelajari sains dan memberikan analisis yang lebih tepat dan beralasan, dan bagi para peneliti untuk mengambil manfaat dari masukan filosofis dan menyesuaikan diri dengan filsafat secara lebih umum. Ini mungkin cara yang paling efisien untuk membantu filsafat memiliki dampak yang cepat dan nyata pada sains.

iii ) Co-mengawasi mahasiswa PhD. Pengawasan bersama mahasiswa PhD oleh seorang peneliti dan filsuf adalah kesempatan yang sangat baik untuk memungkinkan cross-feeding dari dua bidang. Ini memfasilitasi produksi disertasi yang kaya secara eksperimental dan ketat secara konseptual, dan dalam prosesnya, ini melatih generasi ilmuwan-filsuf berikutnya.

iv ) Menciptakan kurikulum yang seimbang dalam sains dan filsafat yang menumbuhkan dialog yang tulus di antara mereka. Beberapa kurikulum semacam itu sudah ada di beberapa negara, tetapi memperluasnya harus menjadi prioritas utama. Mereka dapat memberikan siswa dalam sains dengan perspektif yang lebih memberdayakan mereka untuk tantangan konseptual sains modern dan memberikan para filsuf dasar yang kuat untuk pengetahuan ilmiah yang akan memaksimalkan dampaknya terhadap sains. Kurikulum sains mungkin termasuk kelas dalam sejarah sains dan dalam filsafat sains. Kurikulum filsafat mungkin termasuk modul sains.

v ) Membaca ilmu pengetahuan dan filsafat. Membaca sains sangat diperlukan untuk praktik filsafat ilmu, tetapi membaca filsafat juga dapat menjadi sumber inspirasi yang besar bagi para peneliti seperti yang digambarkan oleh beberapa contoh di atas. Misalnya, klub jurnal di mana kontribusi sains dan filsafat dibahas merupakan cara yang efisien untuk mengintegrasikan filsafat dan sains.

vi ) Buka bagian baru yang dikhususkan untuk masalah filosofis dan konseptual dalam jurnal sains. Strategi ini akan menjadi cara yang tepat dan menarik untuk menunjukkan bahwa karya filosofis dan konseptual berlanjut dengan karya eksperimental, sejauh ia diilhami olehnya, dan dapat menginspirasinya sebagai balasannya. Itu juga akan membuat refleksi filosofis tentang domain ilmiah tertentu jauh lebih terlihat oleh komunitas ilmiah yang relevan daripada ketika mereka diterbitkan dalam jurnal filsafat, yang jarang dibaca oleh para ilmuwan.

Kami berharap langkah-langkah praktis di atas akan mendorong kebangkitan dalam integrasi sains dan filsafat. Selanjutnya, kami berpendapat bahwa mempertahankan kesetiaan yang erat dengan filsafat akan meningkatkan vitalitas ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan modern tanpa filsafat akan menabrak tembok: banjir data di setiap bidang akan membuat interpretasi semakin sulit, pengabaian luas dan sejarah akan semakin memecah dan memisahkan subdisiplin ilmiah, dan penekanan pada metode dan hasil empiris akan mendorong lebih dangkal dan pelatihan siswa yang lebih dangkal. Sebagai Carl Woese menulis: "masyarakat yang mengizinkan biologi menjadi disiplin ilmu teknik, yang memungkinkan sains masuk ke dalam peran mengubah dunia kehidupan tanpa berusaha memahaminya, adalah bahaya bagi dirinya sendiri." Kita membutuhkan penyegaran kembali sains di semua tingkatan, yang mengembalikan kepada kita manfaat dari ikatan erat dengan filsafat.

Penulis : Lucie Laplane , Paolo Mantovani , Ralph Adolphs , Hasok Chang , Alberto Mantovani , Margaret McFall-Ngai , Carlo Rovelli , Elliott Sober , dan Thomas Pradeu.

(PNAS 5 Maret 2019 116 (10) 3948-3952; https://doi.org/10.1073/pnas.1900357116 )

 

Selasa, 02 Mei 2017

BANGSA YANG MERENDAHKAN ETOS KERJA

 

Perilaku sebuah bangsa tidak tercipta dalam waktu singkat, namun terbentuk sepanjang tahun melalui kebudayaan dan pendidikan.

Bangsa ini kembali terpuruk dalam potret kecil olahraga di arena SEA Games XXIII yang berakhir Senin (5/12) di Manila. Dalam gambaran besar, bangsa ini dijuluki bangsa yang berperilaku tidak menghargai proses, tidak suka kerja keras, tetapi ingin serba instan. Mengapa semua itu bisa terjadi?

Lihatlah kondisi perguruan tinggi yang sudah lama mengalami ”kecelakaan”. Sebanyak 99 persen dari dosennya merupakan lulusan sendiri yang mengambil S2 dan S3 di dalam negeri. Sebagian besar dari mereka kemudian mengajar dan menguji.

Sementara itu daya serap mahasiswa terhadap mata kuliah yang disuapi dosennya hanya 20-30 persen. Situasi ini diperparah oleh perilaku sebagian besar mahasiswa yang tidak senang membaca buku. Padahal buku merupakan jendela dunia.

Seorang panelis yang sebagian besar hidupnya dicurahkan di perguruan tinggi mengamati, baik dosen maupun mahasiswa kini tidak lagi menghargai disiplin. Sebelum tahun 1970-an atau pada zaman Soekarno, sikap ini masih bagus, dalam arti mereka tahu disiplin. Mengapa begitu, karena pelajaran dari bangsa Jepang dan Belanda masih menetes kepada para pemimpin bangsa saat itu.

Akan tetapi, sejak tahun 1970-an perilaku unggul itu mulai merosot. Mereka mulai malas bekerja dan malas berdisiplin. Baik mahasiswa maupun dosen sering bolos. Menurut penelitiannya, selama 40 tahun mengajar tidak ada satu mahasiswa pun yang mengikuti kuliah tiap minggu dalam satu semester lengkap.

”Paling banyak kehadiran mahasiswa hanya 10 kali dalam satu semester. Padahal saya sudah melakukan peringatan, sindiran atau marah, dan sebagainya, tidak digubris,” keluhnya. Artinya, dorongan bermalas-malas di kalangan sivitas akademika sangat kuat. Yang paling parah, para dosennya sendiri juga suka bolos.

Gejala umum ini ternyata tidak hanya di kalangan perguruan tinggi, tapi merembet ke sekolah- sekolah rendah dan menengah. Ada suatu anggapan bahwa setelah SMA dan masuk perguruan tinggi, mereka semua bisa hidup bebas. Mau datang kuliah, mau bolos, tidak apa-apa. Ini amat mengherankan, gejala itu tumbuh subur pada saat negeri ini membangun pada masa Orde Baru.

Demikian juga perilaku pegawai di perguruan tinggi yang harusnya datang pukul 07.00, pada umumnya datang pada pukul 09.00. Kalau kita membicara- kan jadwal kuliah, tidak ada dosen yang mau mengajar pada pukul 07.00. Maunya mereka mengajar di atas pukul 09.00 atau pukul 10.00. Ketika panelis ini mengajar pada jadwal pukul 07.00, dari 50-80 mahasiswa yang datang tepat waktu cuma 10 orang.

Menurut pengalamannya, setelah satu jam, masuklah mereka satu demi satu. Masuknya juga unik, setelah buka pintu langsung duduk. Tidak ada yang minta maaf karena keterlambatan itu. Mereka menganggap, kuliah ini hak kita, jadi bebas mau kuliah atau tidak. Lebih jauh lagi, pada umumnya mereka tidak mau belajar keras serta tidak senang membaca buku.

”Pernah sekali waktu saya periksa diktat yang sudah saya bagikan. Benar-benar mengherankan, saya lihat diktat itu bersih sekali. Tidak ada catatan dari dia sehingga waktu ujian banyak yang tidak bisa jawab. Padahal semuanya ada di diktat,” tuturnya.

 

Pendidikan antikerja

Sebuah analisis terhadap perilaku masyarakat di negara maju menyatakan, mayoritas penduduknya sehari-hari mengikuti prinsip-prinsip dasar kehidupan. Misalnya, menghargai etika, kejujuran dan integritas, bertanggung jawab, hormat pada aturan dan hukum masyarakat, hormat pada hak orang/warga lain, cinta pada pekerjaan, berusaha keras menabung dan investasi, bekerja keras hingga tepat waktu.

Para mahasiswa di negara-negara maju menyebut belajar itu bekerja. Di Amerika Serikat, misalnya, kalau mahasiswa itu berkata, I must to work, itu artinya belajar atau kuliah. Namun, di republik ini para mahasiswa tidak menganggapnya demikian. Pernah seorang menteri pendidikan menyatakan, anak-anak lebih suka sekolah, tapi tidak suka kerja. Celakanya, dalam kurikulum, mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi, terkesan anti- kerja.

Dalam kurikulum, program manual work hampir tidak pernah ada. Malah yang ada pun terus dianjurkan agar dihapus. Dulu yang mengadakan kurikulum jenis ini Pemerintah Kolonial Belanda. Oleh negeri bekas jajahannya, mulai tahun 1970-an, kemudian diganti dengan nama resmi keterampilan atau kerajinan seni rupa. Pernah dalam diskusi IKIP seluruh Indonesia, bidang keterampilan kerajinan dipisahkan dari seni rupa.

Pada zaman Ode Baru, semua media koran, televisi, radio dan sebagainya memublikasikan pembedaan itu. Jadi sekolah itu hanya untuk kerja mental, bukan kerja fisikal. Pernah ada pelajaran hasta karya. Tapi kemudian tidak boleh dipakai oleh murid-murid untuk melakukan apa-apa yang menghasilkan apa-apa.

Yang mengatakan bahwa pelajaran seni dan hasta karya di sekolah-sekolah itu harus bebas berekspresi. Katanya yang penting bukan hasil, tapi proses, seraya tidak peduli hasilnya apa. Proses rasa bebas itu artinya kerja sembarangan dalam pelajaran seni rupa kerajinan dan sebagainya.

Di kalangan masyarakat ada hubungan antara harkat manusia dan kerja manual. Makin banyak kerja manual manusia itu makin rendah harkatnya. Makin kurang kerja manual atau sama sekali tidak kerja manual, makin tinggi harkatnya. Kerja intelektual atau kerja mental, misalnya belajar ilmu, teori, filsafat, banyak sekali peminatnya karena makin tinggi harkatnya.

Namun, yang kerja fisikal hanya sedikit saja karena harkatnya rendah. Kerja fisik itu bukan hanya dianggap rendah, tapi juga merupakan kerja orang-orang jelata. Itu kerja orang-orang miskin, sedangkan kerja orang-orang yang tidak begitu harus menjauhkan diri dari yang manual, dari yang fisikal.

Situasi ini sama dengan zaman Yunani dan Romawi dulu. Di zaman Yunani kuno tersebut semua kerja yang bersifat fisikal manual dianggap tidak bermartabat.

 

Bernilai rendah

Ironisnya, dunia pendidikan di republik ini juga ”memusuhi” program yang berorientasi pasar. Sejumlah ahli design pernah mengeluhkan tentang perilaku di kampusnya yang tidak market friendly. Mereka merasa tertekan sebab kalau membuat design berorientasi pasar itu dianggap rendah. Yang bagus dan dihargai kalau design dibuat klasik atau bersifat scientific.

Situasi ini berbeda dengan di luar negeri. Di negara maju itu hampir semua mahasiswanya bekerja. Yang tidak bekerja hanya mahasiswa Indonesia yang kebetulan dapat beasiswa dari pemerintah. Malah mereka bisa anteng bekerja di perpustakaan seperti menyusun buku yang secara fisik tidak mau dikerjakan mahasiswa Indonesia.

”Di AS, para mahasiswa S3 biasa mengobrol, pada last summer ia akan bekerja sebagai kontraktor membangun jembatan. Mereka tidak tahu bahwa kita menganggapnya rendah. Dalam hati saya, kok mahasiswa Amerika tingkatan doktor mau kerjaan seperti itu,” panelis ini mengungkapkan pengalamannya. Begitu juga mahasiswa Korea ketika libur, ada yang bekerja sebagai tukang kebun, yang umumnya tidak disukai oleh mahasiswa Indonesia.

Bangsa ini menganggap kerja itu mempunyai nilai rendah. Artinya, kerja itu beban, kerja itu suatu keterpaksaan, kerja itu suatu siksaan. Manusia Indonesia pada umumnya bermimpi hidup senang, hidup enak, tanpa kerja. Lalu siapa yang menghasil- kan makanan dan sebagainya? Seperti pada zaman Yunani kuno, ya orang-orang rendah, rakyat jelata itu. Merekalah yang disuruh kerja, menghasilkan padi, misalnya.

Nilai paling tinggi itu hidup senang. Hidup senang artinya punya banyak uang. Bagaimana menciptakan harta banyak tanpa kerja, ya korupsi itu....

 Oleh Dedi Muhtadi

Sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0512/10/Fokus/2272580.htm