Senin, 24 Desember 2018

FILSAFAT ILMU DAN ARAH PENGEMBANGAN PANCASILA: RELEVANSINYA DALAM MENGATASI PERSOALAN KEBANGSAAN


A. Pendahuluan

Pengkajian Pancasila dengan menggunakan pisau analisis filsafat ilmu adalah hal yang menarik karena di dalam nilai-nilai Pancasila  secara  genuine  sudah  terkandung  juga  filsafat  ilmu. Filsafat ilmu pada dasarnya adalah suatu telaah kritis terhadap metode  yang  digunakan  untuk  mengkaji  ilmu  tertentu,  baik  itu secara empiris maupun rasional. Filsafat ilmu merupakan bagian filsafat  yang  mencoba  berbuat  bagi  keilmuan  yang  dikerjakan filsafat terhadap seluruh pengalaman manusia. Filsafat melakukan dua hal : di satu sisi, membangun teori-teori tentang manusia dan alam semesta serta menyajikannya sebagai landasan-landasan bagi keyakinan dan tindakan; di sisi lain, filsafat memeriksa secara kritis segala hal yang dapat disajikan sebagai suatu landasan bagi keyakinan dan tindakan.

Archie J. Bahm dalam tulisannya yang berjudul What Is Science  menegaskan  bahwa  persoalan-persoalan  di  dalam kehidupan masyarakat, jika masalah itu dikatakan ilmiah, harus meliputi  komponen-komponen  :  sikap,  metode,  tindakan, kesimpulan dan implikasi. Sikap ilmiah diperlukan dalam menyelesaikan problem kehidupan manusia. Sikap ilmiah ini sangat penting dalam memperoleh ilmu pengetahuan. Bahm menjelaskan bahwa untuk memperoleh ilmu pengetahuan harus memiliki beberapa syarat, yakni harus memiliki rasa ingin tahu, bersifat spekulatif dan objektif, membuka cakrawala pengetahuan baru atau inovatif serta mampu memberikan penilaian, dan bersifat tentatif.

Pengetahuan ilmiah itu dibangun dengan tujuan untuk memecahkan problem-problem ilmiah. Menurut Bahm, ilmu itu sendiri adalah suatu nama bagi usaha manusia untuk mampu memahami sifat dasar berbagai hal dengan jalan merumuskan hipotesis-hipotesis atau teori-teori tentang sifat-sifat dasar dan mengujinya   secara pengamatan atau percobaan untuk mengetahui apakah masih berlaku atau tidak. Oleh karena itu, untuk dapat memecahkan masalah ilmiah diperlukan  sikap-sikap  yang ilmiah juga.

Bahm juga memberikan hipotesis bahwa sesungguhnya masalah ilmiah dapat diterima oleh para ilmuwan dan masyarakat jika dapat dikomunikasikan, dapat dipecahkan secara ilmiah, dan bahkan  dapat  dipecahkan  dengan  menggunakan  metode  secara ilmiah juga. Dengan demikian, setiap persoalan–persoalan yang muncul di dalam kehidupan manusia itu harus dapat diteliti dan dikaji secara ilmiah. Di sini,   filsafat ilmu berperan dan berfungsi untuk mengkaji permasalahan secara ilmiah.

Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, sudah seharusnya filsafat ilmu dengan dasar-dasar dan metode ilmiahnya mampu   menyelesaikan   persoalan   kebangsaan   yang   sekarang dihadapi oleh bangsa Indonesia. Salah satunya adalah lunturnya pemahaman dan penerapan nilai-nilai Pancasila sebagai pandangan hidup di dalam masyarakat. Lunturnya pemahaman dan penerapan nilai-nilai Pancasila sebagai dasar ideologi negara Indonesia menyebabkan bangsa Indonesia banyak ditimpa masalah-masalah besar, seperti praktek korupsi yang menggurita, dan bencana alam yang berkelanjutan, serta bencana kemanusiaan lainnya.

Koento  Wibisono  menyatakan  bahwa  sejak   reformasi 1998, akibat praktek politik yang dilakukan oleh rezim Orde Baru menyebabkan banyak orang menjadi pesimis, alergi, dan apatis dengan Pancasila. Bangsa Indonesia ini kadang juga menyalahkan Pancasila,  di  mana  semua  kesalahan  mengenai  persoalan kebangsaan itu dijatuhkan pada ideologi Pancasila. Padahal, jika dipikirkan kembali persoalannya bukan pada Pancasila, akan tetapi bagaimana masyarakat Indonesia mampu menerapkan nilai-nilai Pancasila di dalam kehidupan.

Pancasila  yang memiliki  sumber pengetahuan  dan  nilai- nilai luhur sudah seharusnya dapat diimplementasikan oleh setiap masyarakat Indonesia. Akan tetapi, persoalan secara filosofis adalah mengapa Pancasila itu sulit diterapkan di dalam diri bangsa Indonesia?   Pancasila hanya menjadi sebuah simbol dan tidak memiliki arti serta sumbangsih dalam menyelesaikan persoalan negara, persoalan yang seharusnya diselesaikan secara bersama.

Berdasarkan asumsi itu, persoalan mengenai lunturnya pemahaman bangsa Indonesia mengenai Pancasila sebagai pandangan hidup (way of life) menjadi tugas dari disiplin filsafat ilmu untuk mengkaji secara ilmiah dengan mengedepankan sikap akademis dan intelektual yang tinggi, sehingga dapat diperoleh pemecahan  masalah  secara  komprehensif.  Filsafat  ilmu  sebagai dasar ilmu pengetahuan harus mampu mengembangkan Pancasila sebagai dasar-dasar ilmu pengetahuan yang sesungguhnya mempunyai nilai-nilai luhur untuk mengatasi persoalan kehidupan manusia dengan menggunakan aspek ontologi, epistemologi dan aksiologi.

B.Sejarah Filsafat Ilmu

Filsafat ilmu berasal dari zaman Yunani Kuno, di mana filsafat ilmu lahir karena munculnya sebuah pengetahuan dari Barat. Akan tetapi, pada perkembangannya ternyata ilmu pengetahuan di abad ke-17 mengalami perpecahan, di mana ilmu dan filsafat berdiri sendiri.

Dengan  demikian,  dapat  dikemukakan  bahwa  sebelum abad ke-17 ilmu identik dengan filsafat. Pendapat tersebut sejalan dengan pemikiran Van Peursen (1985)  yang mengemukakan bahwa dahulu  ilmu  merupakan  bagian  dari  filsafat,  sehingga  definisi tentang ilmu bergantung pada sistem filsafat yang dianut. Koento Wibisono menyatakan bahwa filsafat itu sendiri telah mengantarkan adanya suatu konfigurasi dengan menunjukkan bagaimana “pohon ilmu pengetahuan” telah tumbuh mekar-bercabang secara subur.

Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dapat dipahami   bahwa para filsuf Yunani Kuno ternyata telah merintis tentang pengertian apa itu filsafat ilmu dan bagaimana ilmu pengetahuan itu harus diletakkan? Ilmu pengetahuan menampakkan diri  sebagai  masyarakat,  sebagai  proses  dan  sebagai  produk,  di mana kaidah-kaidah ilmu pengetahuan itu dikatakan oleh Robert Merton adalah universalisme, komunalisme, disinterestedness dan skeptisisme yang terarah.

Sementara itu, perkembangan ilmu pengetahuan semakin lama semakin maju dengan munculnya ilmu-ilmu baru yang pada akhirnya memunculkan pula sub-sub ilmu pengetahuan baru bahkan ke   arah   ilmu   pengetahuan   yang   lebih   khusus   lagi   seperti spesialisasi-spesialisasi. Oleh karena itu, tepatlah apa yang dikemukakan oleh Van Peursen (1985), bahwa ilmu pengetahuan dapat dilihat sebagai suatu sistem yang jalin-menjalin dan taat asas (konsisten)  dari  ungkapan-ungkapan   yang  sifat  benar-tidaknya dapat ditentukan.

Ilmu pengetahuan adalah rangkaian aktivitas manusia yang rasional  dan  kognitif  yang  terdiri  dari  berbagai  metode  berupa aneka prosedur dan tata langkah sehingga menghasilkan kumpulan pengetahuan yang sistematis mengenai gejala-gejala kealaman, kemasyarakatan atau perorangan untuk tujuan mencapai kebenaran, memperoleh pemahaman, memberikan penjelasan, ataupun melakukan penerapan.

Francis Bacon (1561-1626) mengembangkan semboyan Knowledge is Power yang mensinyalir bahwa peranan ilmu pengetahuan terhadap kehidupan manusia, baik individual maupun sosial  menjadi  sangat  menentukan.  Karena  itu,  implikasi  yang timbul   adalah bahwa ilmu yang satu sangat erat hubungannya dengan ilmu yang lain, serta semakin kaburnya garis batas antara ilmu dasar-murni atau teoritis dengan ilmu terapan atau praktis.

Untuk mengatasi gap antara ilmu yang satu dengan ilmu yang lain dibutuhkan satu bidang ilmu yang dapat menjembatani serta mewadahi perbedaan yang muncul. Filsafat mampu mengatasi hal tersebut. Ini senada dengan pendapat Immanuel Kant yang menyatakan bahwa filsafat merupakan disiplin ilmu yang mampu menunjukkan batas-batas dan ruang lingkup pengetahuan manusia secara  tepat.  Oleh  sebab  itu  Francis  Bacon  menyebut  filsafat sebagai ibu agung dari ilmu-ilmu (the great mother of the sciences).

Pengetahuan ilmiah atau ilmu merupakan a higher level of knowledge maka lahirlah filsafat ilmu sebagai penerus pengembangan filsafat pengetahuan. Filsafat ilmu sebagai cabang filsafat menempatkan objek sasarannya ilmu (pengetahuan), ilmu tentang ilmu. Berkenaan dengan filsafat dalam konteks  kearifan  hidup  personal  maupun  kolektivitas  tertentu, filsafat ilmu (Philosophy of Science) adalah sebuah refleksi kritis secara mendasar atas perkembangan ilmu, khususnya terhadap tendensi filsafat ilmu, yaitu filsafat sebagai “pandangan hidup” atau weltanschauung. Hal ini berkaitan dengan upaya sekelompok manusia untuk merespon dan menjawab permasalahan pokok kehidupan manusia. Selain itu, filsafat sebagai pandangan hidup hampir sama juga dengan Pancasila yang merupakan way of life. Karena itu, Pancasila dan filsafat juga memiliki ilmu pengetahuan (knowledge). Hubungan-hubungan keilmuan nampak terlihat di dalam nilai-nilai Pancasila yang terdiri dari lima sila.

C. Filsafat Ilmu dan Relevansinya dengan Nilai-Nilai Pancasila

Filsafat ilmu adalah segenap pemikiran reflektif terhadap persoalan-persoalan   mengenai   segala   hal    yang   menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala segi dari kehidupan umat manusia. Filsafat ilmu merupakan satu bidang pengetahuan campuran yang eksistensi dan pemekarannya bergantung pada hubungan timbal-balik dan saling-pengaruh antara filsafat dan ilmu.

Robert Ackermann mendefinisikan filsafat ilmu adalah sebuah tinjauan kritis tentang pendapat-pendapat ilmiah dewasa ini dengan  perbandingan  terhadap  pendapat-pendapat  lampau  yang telah dibuktikan atau dalam kerangka ukuran-ukuran yang dikembangkan dari pendapat-pendapat demikian itu. Filsafat ilmu demikian jelas bukan suatu cabang ilmu yang bebas dari praktek ilmiah senyatanya.

Rudolf Carnap memakai istilah science of science dan memberikan definisi the analysis and description of science from various points of view, including logic, methodology, sociology and history  of  science.  (Analisis  dan  deskripsi  tentang  ilmu  dari berbagai sudut tinjauan, termasuk logika, metodologi, sosiologi dan sejarah ilmu). Filsafat ilmu sebagai sumber pengetahuan ternyata memiliki  keterkaitan  dengan  Pancasila.  Pancasila  sebagai pandangan hidup  (way of life) ternyata juga menyimpan banyak pengetahuan-pengetahuan yang sudah selayaknya dikembangkan oleh disiplin filsafat ilmu yang secara ilmiah mempunyai nilai-nilai muatan positif dalam membentuk watak dan karakter bangsa Indonesia.

Di sisi lain, ketika berbicara tentang filsafat, ada dua hal yang  patut  diperhatikan  :  pertama,  filsafat  sebagai  metode  dan kedua,  filsafat  sebagai  suatu  pandangan.  Oleh karena itu, di sini filsafat sebagai sebuah ilmu pengetahuan akan dijadikan sebagai pandangan hidup. Terkait dengan Pancasila, Pancasila sebagai sebuah pandangan hidup sudah tentu memiliki nilai-nilai filsafat yang terkandung di dalamnya, dan bahkan Pancasila telah memiliki ilmu pengetahuan.

Secara filsafati, Pancasila merupakan sistem nilai-nilai ideologis yang berderajat. Artinya di dalamnya terkandung nilai luhur, nilai dasar, nilai instrumental, nilai praksis, dan nilai teknis. Agar ia dapat menjadi ideologi bangsa dan negara Indonesia yang lestari  tetapi  juga  dinamis  berkembang,  nilai  luhur  dan  nilai dasarnya harus dapat bersifat tetap, sementara nilai instrumentalnya harus semakin dapat direformasi dengan perkembangan tuntutan zaman.

Di samping itu, Pancasila mampu dijadikan pangkal sudut pandang dalam mengembangkan ilmu pengetahuan (science of knowledge) yang dalam karya-karya berikutnya ditunjukkan segi- segi ontologik, epistemologi, dan aksiologinya sebagai raison d’etre bagi Pancasila sebagai suatu faham atau aliran filsafati.

Pancasila sejak semula dijadikan weltanschauung atau pandangan hidup bangsa Indonesia, sekaligus prinsip-prinsip dasar negara. Dengan demikian, isi pemikiran Pancasila sangat berhubungan dengan nilai-nilai yang mendasari urusan kemasyarakatan. Ketika Pancasila dinyatakan sebagai pandangan hidup, berarti Pancasila itu sendiri memiliki ilmu pengetahuan yang sesungguhnya sangat bermanfaat bagi bangsa Indonesia sebagai petunjuk (guidance) di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pancasila yang dipelajari secara ilmiah adalah satu objek pembahasan di mana secara umum Pancasila merupakan hasil budaya bangsa Indonesia. Filsafat ilmu juga tidak dapat dilepaskan dengan Pancasila sebagai sebuah ilmu (science). Anton Bakker dalam analisisnya menyatakan secara tegas bahwa Pancasila dapat berperan selaku framework di mana sekian ilmu serentak bekerja secara interdispliner. Di sini kapasitas Pancasila dapat dieksplorasi ke dalam ranah filsafat ilmu (Philosophy of Science) berkaitan dengan aras ontologis, epistemologis dan aksiologis.

Pancasila merupakan sebuah pandangan dunia atau world view  yang  juga  dapat  ditanamkan  nilai-nilai  filsafat.  Pancasila adalah filsafat bangsa yang sesungguhnya berhimpit dengan jiwa bangsa. Di sini yang muncul adalah kapasitas pengetahuan bangsa, misalnya yang berkaitan dengan hakikat kenyataan dan kebenaran. Hakikat kenyataan dan kebenaran serta nilai-nilai filsafat tersebut sebenarnya adalah bagian dari aspek ontologi, epistemologi dan aksiologi yang harus dieksplorasi oleh filsafat ilmu dalam upaya mengembangkan Pancasila.

Sebagai  pandangan  dunia  atau  filsafat,  Pancasila merupakan  acuan  intelektual  kognitif  bagi  cara  berpikir  bangsa, yang  dalam  usaha  keilmuan  dapat  terbangun  ke  dalam  sistem filsafat yang kredibel. Bahan materialnya adalah berbagai butir dan ajaran kebijaksanaan dalam budaya etnik maupun agama.

Penguasaan ilmu pengetahuan di Indonesia harus berpedoman pada keilmuan Pancasila. Pancasila berfungsi sebagai sudut pandang. Hal ini adalah konsekuensi logis dari pendirian teleologis dalam ilmu. Ilmu pengetahuan tidak bebas nilai: ilmu pengetahuan “masuk” ke  dalam  matriks  Pancasila  yang berbasis Ketuhanan Yang Maha Esa dan berpuncak pada Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

D. Pengembangan Nilai- Nilai Pancasila

Pancasila  mempunyai  pengertian  secara  umum  sebagai pandangan dunia (way of life), pandangan hidup (weltanschauung), pegangan  hidup  (weldbeschauung),  petunjuk  hidup  (wereld  en levens  beschouwing).  Dalam  hal  ini,  Pancasila  diperuntukkan sebagai petunjuk hidup yang harus diamalkan dalam kehidupan sehari-hari (Kaelan, 1993:67). Dengan kata lain, Pancasila diperuntukkan sebagai petunjuk arah semua kegiatan dan aktivitas hidup dan kehidupan di segala bidang : politik, pendidikan, agama, budaya, sosial dan ekonomi. Ini berarti semua tingkah laku   dan tindak tanduk perbuatan manusia Indonesia harus dijiwai dan merupakan pancaran dari semua sila Pancasila.

Secara  etimologis,  menurut  tingkatnya,  kata  “Pancasila” berasal dari bahasa Sansekerta, India (bahasa kasta Brahmana). Menurut Prof. Muhammad Yamin, dalam bahasa Sansekerta perkataan ”Pancasila” ada dua macam  arti,  yaitu: Panca artinya

‘lima’, sedangkan, syiila berkaitan dengan peraturan tingkah laku yang  penting/  baik.  Dengan  demikian,  Pancasila  itu  memiliki prinsip-prinsip moral dan etika.

Adapun   isi   dari   Pancasila   adalah   sebagai   berikut: Ketuhanan Yang Maha Esa, sila pertama ini meliputi dan menjiwai sila-sila kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Di dalam sila pertama ini kita harus percaya dan taqwa kepada   Tuhan   Yang   Maha   Esa,   saling   menghormati   dan bekerjasama antara pemeluk agama, saling menghormati kebebasan dalam menjalankan ibadah sesuai agama dan kepercayaan masing- masing, tidak memaksakan satu agama dan kepercayaan kepada orang lain.

Kemanusiaan  Yang  Adil  dan  Beradab,  sila kedua,  pada dasarnya diliputi dan dijiwai oleh Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, yang juga menjiwai  sila-sila persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin   oleh   hikmat   kebijaksanaan   dalam   permusyawatan, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Di dalam sila kedua, kita harus mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan kewajiban,  saling  mencintai  sesama  manusia,  mengembangkan sikap tenggang rasa, tidak semena-mena terhadap orang   lain, menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.

Persatuan Indonesia, sila ketiga ini diliputi dan dijiwai oleh Sila Ketuhanan Yang Maha Esa serta kemanusiaan yang adil dan beradab, meliputidan menjiwai sila-sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Di dalam sila ketiga ini kita harus menempatkan persatuan, kesatuan, kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara Indonesia di atas kepentingan pribadi atau golongan,  rela  berkorban  untuk  kepentingan  bangsa  dan  negara, cinta tanah air dan bangsa, memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa yang ber-Bhineka Tunggal Ika.

Kerakyatan  yang  dipimpin  oleh  hikmat  kebijaksanaan dalam  permusyawaratan  perwakilan,  adalah    diliputi  dan  dijiwai oleh sila-sila Ke-Tuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Persatuan Indonesia, meliputi dan menjiwai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Di dalam sila keempat, berarti mengutamakan  kepentingan  negara  dan  masyarakat, mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama, musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi oleh semangat kekeluargaan, dengan itikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil keputusan.

Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, sila ini diliputi dan dijiwai oleh sila-sila Ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Kemanusiaan   yang   adil   dan   beradab,   persatuan   Indonesia, kerakyatan oleh hikmat kebijaksanaan dalam permuswaratan/ perwakilan. Di dalam sila kelima berarti perbuatan-perbuatan yang luhur yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotong royongan, bersikap adil, menghormati hak-hak orang lain, suka memberi pertolongan kepada orang lain, tidak melakukan perbuatan yang merugikan kepentingan umum, bersama-sama berusaha  mewujudkan  kemajuan  yang  merata  dan  berkeadilan sosial.

Pancasila disebut juga weltanschauung atau pandangan hidup. Hal itu menunjukkan bahwa Pancasila merupakan gagasan vital  bangsa,  sistem  nilai  dasar  yang  derivasinya  terbangun  ke dalam sistem moral dan sistem hukum negara bangsa, negara kesatuan RI modern. Sebagai pandangan hidup, Pancasila mengandung sistem normatif preskreptif bagi kehidupan manusia.

Pancasila mengandung prinsip-prinsip mulia. Kehendak untuk menegakkan negara Indonesia pastilah didasari oleh niat dan pedoman   yang   baik.   Gagasan-gagasan   yang   terkandung   di dalamnya merangkum kebijaksanaan bangsa Indonesia atas konteks budaya dan agama yang berabad lamanya disimpan sebagai norma etis. Unsur-unsur kebaikan tercantum dan menjadi pedoman masyarakat Indonesia.

Koento Wibisono menyatakan bahwa untuk mengembangkan Pancasila, pertama harus ada unsur keyakinan. Setiap ideologi selalu memuat konsep-konsep dasar yang menggambarkan seperangkat keyakinan yang diorientasikan kepada tingkah laku para pendukungnya untuk mencapai suatu tujuan yang dicita-citakan.  Yang  kedua  adalah  unsur  mitos.  Setiap  ideologi selalu memitoskan ajaran dari seseorang atau “badan” sebagai kesatuan, yang secara fundamental mengajarkan cara bagaimana hal yang ideal itu pasti dapat dicapai. Yang ketiga adalah loyalitas. Setiap ideologi selalu menuntut adanya loyalitas serta keterlibatann optimal para pendukungnya untuk mendapatkan derajat penerimaan optimal. Selain itu, dalam ideologi terkandung juga adanya  tiga sub unsur, yaitu rasional, penghayatan dan susila.

Notonagoro dalam usahanya memberikan dasar yang sahih bagi tafsir Pancasila secara ilmiah menyajikan sejumlah alasan yang dianggapnya penting. Pertama, dia mengutip apa yang dikatakan oleh Menteri Roeslan Abdulgani pada seminar manipol di Bandung tanggal 28 Januari 1961 bahwa presiden Soekarno menghendaki penarikan ke atas dan penarikan ke bawah ajaran Pancasila. Yang dimaksud dengan penarikan ke atas adalah perumusan teori Pancasila, khususnya ke dalam filsafat ilmu yang mengkaji Pancasila. Sedangkan, yang dimaksud dengan penarikan ke bawah adalah tingkat penjabaran dan pelaksanaannya yang boleh disebut sebagai sikap hidup atau way of life.

Sementara itu, Notonagoro juga mengatakan bahwa Pancasila bermanfaat secara epistemologis bagi cara pandang hidup berbangsa dan bernegara. Karena itu, untuk meneruskan manfaat Pancasila  sebagai  pendirian  dan  pandangan  hidup  dalam menentukan sikap dalam kerangka penyelidikan dan penyampaian pandangan  dalam  ilmu  pengetahuan  dapat  dikemukakan  tiga hal penting dan fundamental sebagai pertimbangan, yaitu : kecakapan cipta untuk mencapai kenyataan, sebab-akibat dan hubungan antara ilmu pengetahuan, serta keadaban etika.

Pengetahuan mengenai Pancasila sebagai dasar filsafat dan asas kerohanian (ideologi) negara Republik Indonesia, sebagaimana halnya pengetahuan yang lain, adalah bertingkat-tingkat. Pengetahuan dapat dibedakan menjadi dua macam. Pertama, pengetahuan  biasa,  pengetahuan  yang  dicapai  dengan  akal  sehat oleh orang pada umumnya atau disebut common sense. Kedua, pengetahuan ilmiah, pengetahuan yang diperoleh dengan cara ilmu pengetahuan atau analisis.

Filsafat ilmu sebagai dasar sebuah ilmu pengetahuan (science  of  knowledge)  dapat  mengembangkan  Pancasila  dengan tiga  cara,  yakni  ontologi,  epistemologi  dan  aksiologi.  Pertama, secara ontologi, Pancasila pada hakekatnya adalah sebuah sistem nilai atau prinsip yang mendasari bentuk negara Indonesia. Sebagai nilai atau prinsip dasar, di dalamnya terkandung makna-makna kebijaksanaan reflektif yang menyiratkan idealisasi pada hal yang dianggap baik, benar, indah dan bermanfaat bagi manusia.

Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, pada dasarnya menegaskan secara ontologi, bahwa manusia hidup di dunia harus selalu bertaqwa dan beriman kepada Tuhan. Sila pertama memiliki makna  secara  ontologi  sebagai  sebuah  ilmu  pengetahuan  yang seharusnya dapat dipahami oleh masyarakat dan bangsa Indonesia agar di dalam kehidupan tidak melakukan perbuatan yang tercela dan merugikan orang lain.

Kedua, secara epistemologis, Pancasila pada mulanya adalah harmonisasi dari paham Barat modern sekuler, paham kebangsaan, Islam dan pelbagai jenis pengetahuan lainnya yang melalui proses perdebatan panjang hingga mencapai titik temu. Kebenaran yang dikandung Pancasila adalah kebenaran konsensus. Watak konsensus berkonsekuensi pada fleksibilitas peninjauan atas konsensus, meskipun jika berubah dalam bentuk yuridis akan memiliki  kekuatan  mengikat.  Pancasila  yang  mengandung kebenaran  konsensus  adalah  sistem  terbuka  yang  dapat  ditafsir dalam pelbagai arti, dinilai kelemahan dan kelebihannya dan dikontekstualisasikan dengan semangat perubahan.

Pengetahuan yang bersifat kefilsafatan mengenai Pancasila memiliki kesesuaian dengan   proses tercapainya kesiapan pribadi. Dengan adanya pengetahuan  yang bersifat kefilsafatan mengenai hakikat  Pancasila,  itu  berarti  adanya  dasar  yang  kuat  dan  kekal untuk terbentuknya way of life negara, bangsa dan warga negara.

Nilai-nilai Pancasila yang terdiri dari lima sila itu memiliki banyak sumber pengetahuan yang sudah seharusnya mampu diimplementasikan dalam kehidupan manusia, dan dijadikan petunjuk dalam berperilaku. Pengetahuan yang terkandung di dalam Pancasila sesungguhnya  sudah  cukup  untuk  mengatasi  persoalan kebangsaan dan membawa kemajuan jika ia diterapkan secara genuine  di  dalam  menjalankan  semua  aktivitas,  tugas  negara maupun tugas akademik.

Ketiga,  secara  aksiologi,  Pancasila  sebagai  pandangan hidup mempunyai nilai-nilai luhur yang terkandung di dalam sila- silanya, yakni nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan dan kerakyatan  serta keadilan  sosial.  Nilai-nilai  luhur tersebut  sudah seharusnya mampu diserap oleh masyarakat Indonesia.

Berpijak dari ketiga aspek dalam filsafat ilmu tersebut, sistem filsafat di dalam nilai-nilai Pancasila mengandung ajaran tentang potensi dan martabat manusia yang merupakan anugerah dari Tuhan. Karena itu, ketika seseorang mampu menghayati dan menjiwai nilai-nilai budi pekerti dari Pancasila, besar kemungkinan masyarakat Indonesia akan lebih baik dalam berperilaku sehingga apa yang dicita-citakannya akan tercapai serta menjadikan jati diri bangsa Indonesia lebih bermartabat.

Tepat kiranya jika Notonagoro mengembangkan Pancasila seringkali menggunakan “pisau filsafat ilmu”.   Ia menghampiri Pancasila dari jendela filsafat, meminjam pelbagai perspektif di dalam   teori-teori   filsafat   dalam   rangka   membedah   hakikat Pancasila.   Satu-satunya   jalan   untuk   meluruskan,   atau   untuk memberi porsi pantas bagi batas-batas pengertian, debat ilmiah- filosofis diyakini dapat menghantarkan masyarakat Indonesia dan dinamika kenegaraan pada nilai hakiki Pancasila. Filsafat sebagai ilmu yang berkerangka komprehensif, radikal, koherensi diyakini dapat menggali unsur-unsur paling inti dari Pancasila .

Dengan menguak secara filosofis nilai-nilai Pancasila diharapkan memunculkan suatu pengetahuan     baru dan pengembangan baru terhadap nilai-nilai luhur Pancasila. Dengan didasari  oleh  nilai-nilai  luhur  Pancasila  diharapkan  dapat menggugah manusia-manusia Indonesia untuk kembali setia dan konsisten meresapi dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila.  Karena itu, sudah menjadi tanggung jawab sebagai seorang ilmuwan untuk mampu membantu dan menerapkan ajaran nilai-nilai dalam Pancasila. Pancasila bagian dari falsafah bangsa Indonesia yang sudah semestinya memiliki nilai-nilai etis dan luhur untuk selalu diimplementasikan di dalam perguruan tinggi sehingga ajaran dan nilai-nilai   Pancasila   tidak   menjadi   sebuah   simbol   saja   serta dijadikan sebagai alat kepentingan politik.

Karena itu, untuk menyelesaikan problem Pancasila agar tidak  dijadikan  alat  kepentingan  politik,  dan  tidak menyebabkan manusia-manusia Indonesia menjadi apatis, masyarakat Indonesia harus  dapat menempatkan ideologi Pancasila sebagai sebuah sistem ilmu pengetahuan sehingga upaya untuk mengikis anggapan negatif atas ideologi Pancasila menjadi lebih memungkinkan. Namun demikian,  masyarakat  Indonesia  itu  juga  harus  mampu menempatkan daya kritis dari cipta karsa pikir manusia terhadap nilai-nilai Pancasila.

Apabila Pancasila tidak didukung oleh manusia-manusia yang sadar dan terdidik serta ilmuwan-ilmuwan yang handal, dan para mahasiswa yang duduk di Perguruan Tinggi, maka nilai-nilai Pancasila   akan   menjadi   pudar,   disfungsional   dan   mungkin terjerumus dalam kemandekan dan kebekuan dogmatik, kemiskinan konseptual sebagai akibat langkanya gagasan-gagasan segar secara filsafati.

Dengan begitu, sudah semestinya kita perlu merefleksikan kembali ajaran Ernest Renan dalam uraiannya Qu’est ce qu’une Nation? (1882).   Ia menegaskan bahwa hakikat bangsa itu adalah “asas kerohaniaan/asas kejiwaan yang lahir dari suatu solidaritas besar dan dikuatkan oleh keinginan untuk tetap hidup bersama (l desir de vivere ensemble). Ditambahkannya bahwa hakikat suatu bangsa tidak cukup kuat apabila hanya didasarkan pada kesamaan ras, agama, ataupun bahasa .

Filsafat, adalah sebuah ilmu pengetahuan sudah seharusnya mampu   mengembangkan   nilai-nilai   Pancasila,   dengan   jalan dijadikan bahan dan kurikulum dalam pendidikan di Indonesia. Dengan begitu, masyarakat harus memahami bahwa Pancasila yang memiliki nilai-nilai luhur itu adalah sifat-sifat dan karakter yang sesuai dengan bangsa Indonesia. Karena itu, perguruan tinggi harus mampu mengembangkan dan menanamkan sejak dini di dalam pikiran masyarakat Indonesia.

Filsafat ternyata ilmu  yang sangat mendasar bagi setiap pengembangan ilmu. Oleh karena itu sudah seharusnya jika ia dijadikan dasar bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Sebab dalam filsafat itulah kita dapat mengetahui bagaimana hakikat ilmu pengetahuan. Karena itu, Pancasila sebagai ilmu pengetahuan sudah seharusnya  juga  dikembangkan  di  dalam  struktur  masyarakat, bahkan mulai dari tingkat RT, RW, Kelurahan, Kecamatan, Kabupaten, Provinsi dan bahkan di tingkat pejabat negara. Sehingga dengan memberikan penanaman kembali esensi dan ontologi Pancasila, epistemologi Pancasila, aksiologi Pancasila, dapat dijadikan pedoman hidup bagi bangsa Indonesia dan umat manusia.

Di sisi lain, dalam konteks keilmuan di dalam akademik, pemahaman dan pengembangan terhadap  Pancasila sesungguhnya sangat relevan dengan filsafat ilmu yang menekankan pada pengetahuan ilmiah, penghayatan dan pengamalan nilai-nilai Pancasila. Hal ini dapat dilakukan oleh seorang ilmuwan dan akademisi dan bahkan itu menjadi tanggung jawab mereka untuk melakukan pengembangan Pancasila melalui jalur akademik. Langkah-langkahnya dapat berupa pengajaran dalam lembaga pendidikan formal, seminar, penelitian atau juga penyusunan karya ilmiah.

Oleh karena itu, pengembangan Pancasila secara terus- menerus melalui jalur keilmuan itu akan berdampak signifikan. Pancasila dapat memberikan sumbangsih dalam tingkat perguruan tinggi. Penerapan secara terus-menerus filsafat ilmu ke dalam pengembangan   Pancasila   merupakan   kekaryaan   yang   penting, sebagaimana juga pernah diisyaratkan oleh Bung Karno bahwa Pancasila harus ditarik ke atas, pada tingkat ilmiah.  Tugas ini harus dilakukan di tingkat perguruan tinggi. Tetapi, juga dapat dilakukan oleh komunal dan media didik yang perlu diangkat ke dalam diskusi publik.

E. Problem Kebangsaan dan  Pengamalan Nilai-Nilai Pancasila

Proses   kebangsaan   Indonesia   sampai   hari   ini   terus berlangsung dengan pelbagai dinamika dan permasalahannnya. Beberapa tahun terakhir persoalan persatuan kebangsaan terasa mengalami tantangan yang tidak ringan, yang tampak pada munculnya  peristiwa-peristiwa  kerusuhan  yang  tak  sedikit. Perbedaan aliran keagamaan dapat menyulut perpecahan yang pada akhirnya rasa persatuan semakin hilang.

Permasalahan aktual yang lain ialah merebaknya praktek korupsi yang dilakukan oleh pejabat negara dan pejabat daerah membuat peradaban bangsa Indonesia semakin hancur. Ketika korupsi menjadi budaya bangsa Indonesia, maka negara Indonesia akan mengalami kesulitan untuk maju dan bersaing dengan negara lain. Menguatnya praktek korupsi di Indonesia disebabkan oleh para pejabat   negara   yang   tidak   mampu   mengamalkan   nilai-nilai Pancasila.   Bahkan   mereka   apatis,   dan   tidak   peduli   dengan Pancasila. Pancasila dijadikan sebagai sebuah identitas saja, tetapi tidak pernah diimplementasikan  ke dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Untuk mengatasi persoalan kebangsaan dalam upaya pengembangan  Pancasila  diperlukan  beberapa  faktor.  Pertama, harus ada proses penyadaran terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila yang memiliki banyak makna bagi kehidupan umat manusia.  Penyadaran  dapat  dilakukan  selain  kepada  masyarakat juga kepada pejabat negara dengan memberi pengetahuan bahwa Pancasila  sebagai  pandangan  hidup  harus  selalu  diikutsertakan dalam setiap pengambilan kebijakan pemerintah sehingga perilaku menyimpang dan korupsi dapat direduksi.

Pengetahuan sebagai kesadaran (consciousness) dan kerjasama  cipta-rasa-karsa  menimbulkan  disiplin  kehendak kejiwaan  (sesuai  dengan  bawaan  karsa-kejiwaan  untuk  berbuat baik)  atau  wajib  melaksanakan  pengetahuan  yang kebenarannya/ kenyataannya  telah  dipastikan  oleh  cipta-rasa  dan  telah  sesuai dengan rasa keindahan kejiwaan. Pengetahuan tentang Pancasila sebagai kesadaran ideologis menimbulkan wajib ideologis. Pengetahuan tentang Pancasila sebagai kesadaran dapat menimbulkan kelanjutan transformasi di dalam kepribadian dan jiwa manusia.

Kedua,  memperbaiki  mental  pejabat  negara  agar  tidak selalu melakukan korupsi yaitu dengan selalu menanamkan nilai- nilai Pancasila. Dengan memberikan pengetahuan mengenai nilai- nilai Pancasila akan menambah pengalaman dan peresapan pengetahuan seseorang tentang Pancasila ke dalam mentalitasnya, dan hati-budi-nuraninya.

Ketiga,   menanamkan nilai-nilai Pancasila ke dalam   hati nurani. Jika hati nurani tidak memiliki kepedulian dan empati terhadap nilai-nilai luhur dari ontologi Pancasila maka sulit untuk mengimplementasikan makna Pancasila di dalam kehidupan masyarakat. Karena itu, yang perlu dibenahi adalah nurani manusia sehingga penyadaran nilai-nilai Pancasila tidak hanya dilakukan melalui rasio dan pikiran manusia saja, melainkan juga menyentuh hati nurani manusia.

Pancasila adalah inheren pada eksistensi manusia sebagai manusia yang terlepas dari keadaan kongkretnya. Untuk menunjukkan  “akses”  ke  arah  Pancasila,  Driyarkara  memulai dengan   eksistensi   manusia   yang   cara   mengadanya   ialah   ada bersama dalam “Aku-Engkau”, dan bukan antara “Aku-Engkau” . Karena itu, jika nilai-nilai Pancasila itu sudah inheren di dalam diri manusia, kemungkinan persoalan-persoalan kebangsaan itu dapat diselesaikan.

Pengetahuan  tentang  Pancasila  dimulai  saat  seseorang mulai mengerti keberadaan cipta, rasa dan karsa yang dimilikinya. Saat ketiga unsur tersebut mulai bekerja sama dalam kesatuan yang bulat dan menyeluruh meliputi perinciannya dalam memandang, menilai dan menyelesaikan masalah yang dihadapinya, saat itulah Pancasila (sebagai pengetahuan) mulai terbentuk dalam dirinya. Pengetahuan tentang Pancasila tidaklah cukup  berkedudukan  di  luar,  akan  tetapi  harus  dapat  menyatu dengan pribadinya, terjelma sebagai sifat, sebagai suasana yang meliputinya dengan mutlak, sampai-sampai dialami sebagai mentalitas, sebagai watak insan kamil di dalam seluruh jiwa dan pikiran manusia.

Notonagoro  menyatakan bahwa   dalam   keseharian   pengetahuan   yang   dimiliki   seorang manusia  tidak  menjamin  keberadaannya  sebagai  pelaksana  aktif atas  pengetahuan  tentang  nilai-nilai  Pancasila  yang  dimilikinya.

Oleh karena itu, dibutuhkan rasa atau kemauan untuk mengaplikasikan pengetahuan nilai-nilai Pancasila. Sebab hanya dengan kemauan, kemampuan tersebut dapat berguna bagi masyarakat dan bangsa Indonesia. Oleh karena itu, kebutuhan kebangsaan saat ini dan mendatang untuk menyelesaikan masalah- masalah bidang sosial, politik, ekonomi, dan budaya adalah dengan memberikan pemahaman secara komprehensif dan filosofis mengenai nilai-nilai Pancasila dalam pemenuhan eksplanasinya di kalangan elit politik, pejabat negara dan birokrat. Mereka perlu dididik mengenai nilai-nilai Pancasila agar mereka tidak melakukan praktek korupsi dan kecurangan lainnya di dalam sistem demokrasi Indonesia.

Pancasila adalah sistem ajaran bangsa Indonesia dalam menjalani   kehidupan   bernegara   dan   bermasyarakat.   Bangsa Indonesia meyakini kebenaran nilai-nilai  yang terkandung dalam Pancasila  sebagai  pedoman  berpikir  dan  bertindak.  Karena  itu, setiap  manusia  yang  ingin  melakukan  tindakan  harus  bercermin pada nilai-nilai Pancasila terlebih dahulu. Pancasila sebagai norma fundamental berfungsi sebagai suatu cita-cita atau ide yang harus diwujudkan menjadi suatu kenyataan. Wujud Pancasila secara kongkret merupakan perwujudan Pancasila dalam setiap perbuatan, tingkah laku dan sikap hidup sehari-hari.

Untuk merealisasikan pengamalan Pancasila dalam upaya mengatasi persoalan kebangsaan di  Indonesia,  maka pengamalan Pancasila dapat dilakukan di jalur pendidikan. Pertama, dengan memberikan pengetahuan, pengetahuan biasa, pengetahuan ilmiah dan pengetahuan filsafat tentang Pancasila. Hal ini sangat penting terutama bagi para pemimpin, dan ilmuwan. Kedua, dengan kesadaran, melalui sikap yang sadar dan mengetahui pertumbuhan keadaan  yang  ada  dalam  diri  sendiri  akan  membantu  seseorang untuk mengamalkan nilai-nilai Pancasila. Ketiga, dengan ketaatan, yaitu selalu dalam keadaan sedia untuk memenuhi wajib lahir dan batin, lahir berasal dari luar misalnya dari pemerintah, batin dari diri sendiri. Keempat, kemampuan yang cukup kuat, pendorong untuk melakukan perbuatan yang sesuai dengan nilai-nilai luhur Pancasila. Kelima, mawas diri, yakni dengan selalu menilai diri sendiri apakah dirinya berbuat baik atau buruk dalam melaksanakan Pancasila.

Setiap warga negara Indonesia sudah seharusnya mendasarkan cipta, rasa, karsa dan karya atas nilai-nilai Pancasila. Pada  hakikatnya,  sebagaimana  dikatakan  Notonagoro,  memiliki pengetahuan dan ilmu mengenai Pancasila pun belum cukup. Oleh karena   itu,   hal   yang   penting   adalah   mengetahui,   kemudian meresapi, menghayati dan akhirnya mengamalkan Pancasila dalam setiap  aspek  kehidupan  umat  manusia.  Pancasila  sebagai kepribadian bangsa yang merupakan perwujudan dari jiwa bangsa dalam sikap mental dan tingkah laku adalah dasar filsafat hidup, ideologi, dan moral negara yang harus dikembangkan sesuai dengan kodrat manusia.

Wawasan dan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila telah lama berakar serta hidup dalam hati nurani, sanubari, watak, kepribadian dan pergaulan hidup bangsa Indonesia yang tercermin dalam adat-istiadat, kebiasaan, perilaku serta lembaga-lembaga masyarakat. Kelima nilai dasar yang tercakup dalam Pancasila merupakan inti hidup dalam kebudayaan bangsa, sekaligus menjadi tuntutan dan tujuan hidupnya, serta menjadi ukuran dasar seluruh perikehidupan bangsa Indonesia. Dengan kata lain, pada hakikatnya adalah moral, moral bangsa Indonesia yang mengikat seluruh warga masyarakat, baik sebagai perorangan maupun sebagai kesatuan bangsa.

Pancasila adalah etika dan moral bangsa Indonesia dalam arti merupakan inti bersama dari pelbagai moral yang secara nyata terdapat di Indonesia. Bangsa Indonesia mempunyai berbagai moral yang berasal dari agama-agama, kepercayaan, dan adat istiadat. Masing-masing  moral  itu  mempunyai  coraknya  sendiri,  berbeda satu   sama   lain   dan   hanya   berlaku   bagi   kelompok   yang bersangkutan. Namun demikian, dalam moral-moral itu terdapat unsur-unsur bersama yang bersifat umum dan mengatasi segala paham golongan. Dengan demikian, nampaklah bahwa moral Pancasila   mengatasi   segala   golongan   dan   bersifat   nasional. Pancasila adalah lima asas moral  yang relevan  untuk ditetapkan menjadi dasar negara. Karena itu, nilai-nilai Pancasila yang juga memiliki ilmu pengetahuan dari aspek ontologi, epistemologi, dan aksiologi itu harus mampu dijadikan landasan dasar dalam upaya mengembangkan Pancasila dan mengatasi persoalan bangsa Indonesia saat ini.

F. Penutup

Dari  uraian  diatas  dapat  disimpulkan  bahwa  kehadiran filsafat di Perguruan Tinggi, bahkan dalam kehidupan manusia, amatlah penting. Hal itu tampak nyata dengan diajarkannya filsafat ilmu di semua bidang disiplin pada jenjang S1, S2 dan S3. Filsafat ilmu juga dapat digunakan untuk menyelesaikan persoalan kebangsaan secara ilmiah yang bermuara pada melemahnya pemahaman masyarakat terhadap nilai-nilai Pancasila.

Melemahnya pemahaman dan penghayatan masyarakat dapat diatasi dengan melakukan revitalisasi dan reaktualisasi nilai- nilai Pancasila. Dalam kerangka ini, nilai-nilai Pancasila yang memiliki ilmu pengetahuan dan hakekat pengetahuan dapat dikaji melalui  filsafat  ilmu.  Pertama,  secara ontologi,  Pancasila mempunyai ajaran dan nilai-nilai luhur, seperti mengembangkan sikap  saling  menghormati  dan  menyayangi  sesama  manusia,  di mana Tuhan mempunyai peranan dalam memberikan petunjuk pada umat manusia. Kedua, epistemologi, Pancasila mempunyai sumber pengetahuan  dan  wawasan  kebangsaan  yang  sudah  seharusnya dapat  diimplementasikan  dalam  kehidupan  sehari-hari.  Ketiga, secara aksiologi, nilai-nilai Pancasila memiliki sumbangan berarti bagi kehidupan umat manusia, nilai-nilai luhur untuk saling membantu dan memberikan rasa keadilan sosial harus diejawantahkan dalam setiap aspek kehidupan manusia.

Oleh karena itu, pengembangan Pancasila dapat dilakukan dengan filsafat ilmu. Dalam konteks ini, seorang ilmuwan dan akademisi memiliki peran dan fungsi yang sangat signifikan sebagai mediator untuk memberikan pemahaman tentang nilai-nilai Pancasila.  Melalui  kebebasan  mimbar  dan  kebebasan  akademik yang dikembangkan secara bertanggung jawab, telaah filsafati mengenai pengembangan Pancasila itu sangat relevan dan urgen untuk “disuarakan” oleh dunia perguruan tinggi.

Oleh : Syahrul Kirom (Jurnal Filsafat Vol.21, Nomor 2, Agustus 2011)

 

 

Rabu, 15 Agustus 2018

Apa yang Dipelajari Anak di Sekolah

 


Cica mencuci cangkir dan piring
“Cuci tanganmu sebelum makan,Cica!” kata Ibu
“Ya, Bu,” jawab Cica.
“Coba cari adikmu!” Cica mencari adiknya. Adik Cica sedang membaca.
“Badanmu kotor, Yun. Bersihkan dulu badanmu!”
“Ya, Kak,” kata Yuyun.
Mereka biasa hidup bersih. Bersih itu sehat.

Teks dialog tanpa judul tersebut terdapat dalam buku Aku Cinta Bahasa Indonesia terbitan Tiga Serangkai Solo (2002). Buku ini dimiliki oleh hampir setiap siswa kelas satu di beberapa sekolah dasar di Yogyakarta dan Jawa Tengah yang menjadikan buku ini sebagai buku utama dalam pelajaran Bahasa Indonesia. Teks di atas memang dibuat untuk siswa kelas satu SD yang sedang belajar membaca permulaan, yang biasanya terfokus pada latihan melisankan bacaan mulai dari melafalkan huruf, suku kata, kata dan kalimat secara benar, jelas dan lancar. Tetapi apakah dengan demikian teks boleh dibuat sembarangan tanpa mempertimbangkan logika berbahasa? Perhatikan saja urutan deskripsi peristiwanya. Bagi umumnya anak-anak, logika peristiwa yang lebih mudah dipahami tentunya mencuci cangkir dan piring dilakukan setelah makan, bukan sebelum makan seperti pada bacaan di atas. Juga lebih mudah dipahami jika badan adik kotor ketika sedang bermain pasir atau tanah, bukan ketika sedang membaca . Sementara itu dalam buku pelajaran Bahasa Indonesia untuk siswa kelas lima SD, Bina Bahasa Indonesia terbitan Erlangga Bandung (2003) terdapat teks bacaan seperti berikut:

Wajib Belajar
Desa kelahiran orang tua Indri tergolong tandus. Penduduk hanya panen setahun sekali. Itu pun kalau ada air hujan. Hasil pertanian penduduk umumnya singkong dan ubi jalar. Keadaan seperti itu bukan menandakan penduduknya miskin. Justru penduduknya tergolong makmur. Banyak hal yang dapat mereka kerjakan. Kaum ibu membentuk Home Industry atau Industri Rumah Tangga Jika kita masuk ke toko suvenir, hampir semua suvenir di sana adalah karya ibu-ibu. Begitu pula kalau kita berbelanja kue-kue tradisional. Semua itu hasil dari desa kelahiran ibunya Indri. Bagaimana dengan aktivitas bapak-bapak dan para remaja? Di sana tidak kita jumpai penduduk yang duduk di pojok gang atau di warung kopi. Konon sebagian besar remaja bekerja di kota lain. Mereka mengirimkan sebagian gaji ke desa untuk membeli sawah dan menyekolahkan adik-adik mereka. Jika ada anak usia sekolah berkeliaran pada waktu tersebut, setiap orang wajib menegur. Jika ternyata orang tua atau kakaknya yang menyuruh, pasti mendapat sanksi.

Teks bacaan ini berada dalam salah satu bab berjudul Membaca Pemahaman, yakni bab yang khusus dibuat untuk melatih siswa memahami bacaan. Setelah teks, diajukanlah pertanyaan-pertanyaan berkaitan dengan isi teks seperti: apa mata pencaharian ibu-ibu, apa yang dilakukan para remaja, mengapa penduduk desa makmur, bagaimana kesimpulanmu mengenai hasil perjuangan penduduk. Setelah itu pembahasan untuk memahami teks pun selesai. Kalaupun siswa dapat menjawab semua pertanyaan tersebut secara benar sesuai dengan isi bacaan, yakinkah kita bahwa mereka telah belajar memahami bacaan secara benar pula? Kita pasti tidak yakin akan keberhasilan pembelajarannya jika teks yang mereka baca adalah teks seperti tersebut di atas.

Dengan mempertimbangkan logika bahasa yang baik atas sebuah teks, perlu dipertanyakan dimana kita bisa temukan gagasan pokok yang dimaksud oleh judul yakni wajib belajar, sementara sebagian besar teks membahas industri rumah tangga ? Lalu jika kita perhatikan kalimat pada alinea terakhir, “mereka mengirimkan sebagian gaji ke desa untuk membeli sawah…?” , tentulah timbul pertanyaan, sawah mana yang dibeli? Sebuah kalimat yang kontradiktif dengan deskripsi pada alinea pertama. Dimana ada sawah jika kondisi desa dilukiskan sangat tandus dan hanya bisa menghasilkan singkong dan ubi jika ada hujan ?

Teks-teks bacaan yang buruk dalam pengaturan logika berbahasa seperti ini cukup banyak terdapat dalam buku-buku pelajaran Bahasa Indonesia untuk anak-anak SD. Kekacauan logika terlihat mulai dari teks yang tidak memiliki judul, judul yang kurang menggambarkan isi teks, alinea yang tidak jelas gagasan utamanya, kalimat-kalimat dalam alinea yang tidak padu, dan sebagainya. Teks dialog penuh dengan tanya-jawab basa-basi tak bermakna. “Selamat pagi Firman”. “Selamat pagi Indri”. “Kamu sudah baca pengumuman belum?” “Pengumuman apa? Dimana? Aku belum membacanya tuh.” Dan seterusnya. Teks bacaan dan dialog dengan kualitas seperti ini umumnya teks yang dibuat sendiri oleh penulis buku yang biasanya adalah para guru atau sarjana ilmu pendidikan.

Kondisi yang memprihatinkan dari teks-teks bacaan buku pelajaran Bahasa Indonesia tidak hanya terjadi pada logika berbahasa, tetapi juga pada pilihan tema. Tema kebersihan dan kesehatan mulai dari mandi, sikat gigi, menyapu, mengepel, membuang sampah, menanami halaman rumah, kerja bakti di kampung, pemberantasan nyamuk, makan sayur, muncul berkali-kali dalam banyak bacaan terutama untuk siswa kelas satu sampai kelas tiga.

Tema yang tidak menarik, tidak menumbuhkan minat seperti ini menjadi semakin membosankan karena dibahas berulang-ulang. Sementara teks buku pelajaran Bahasa Indonesia untuk siswa kelas empat hingga kelas enam, sarat dengan tema program pemerintah dan konsep-konsep yang terlalu kompleks untuk diajarkan kepada anak-anak sekolah dasar seperti urbanisasi dan gerakan kembali ke desa, transmigrasi, ekonomi koperasi, perlindungan tenaga kerja, krisis moneter, cara-cara memberantas hama, dan sebagainya. Teks bacaan dengan tema seperti itu disajikan dengan bahasa penyuluhan sehingga tidak menimbulkan kesan yang bermakna bagi siswa. Apalagi kondisi di lapangan memperlihatkan kecenderungan guru-guru juga terbatas wawasannya mengenai program-program pemerintah tersebut.

Salah satu contoh teks berisi tema program pemerintah adalah teks dialog bejudul Posko Korban Banjir dalam buku pelajaran bahasa Indonesia untuk siswa SD kelas tiga. (Tim Bina Karya Guru, Bina Bahasa Indonesia 3A, Penerbit Erlangga, 2000, hal 134-135). Dengan maksud menanamkan kesan dan makna kepada siswa, teks dialog ini harus diperagakan sebagai permainan peran. Latar belakang dialog adalah rapat di Balai desa, tokoh yang diperankan adalah Kepala Desa, Sekretaris Desa, dan dokter Puskesmas. Teks berisi tanya jawab antara ketiga tokoh seputar kondisi pengungsi, kesiapan Puskesmas, dan kesiapan dapur umum. Bisa kita bayangkan bagaimana canggungnya anak-anak usia 10 tahun kelas tiga SD memainkan peran aparat pemerintahan desa. Terbayang pula bagaimana repotnya guru-guru memandu siswa masuk ke suasana rapat desa yang menjadi konteks dialog itu. Setelah teks, siswa diminta menyebutkan nama tokoh, sifat-sifat mereka dan alasan mengapa menyebutkan sifat itu. Bagaimana mungkin siswa dapat menggambarkan sifat tokoh dari dialog singkat tidak lebih dari 25 kalimat, dari sebuah peristiwa rapat di Balai Desa yang berlangsung datar-datar saja tanpa dinamika, dan tanpa pelukisan karakter tokoh-tokohnya? Kesan dan makna apa yang bisa diharapkan muncul dari anak-anak kelas tiga SD dari bacaan dan dialog dengan tema yang sama sekali tidak mengundang minat semacam ini? Contoh-contoh di atas memperlihatkan kepada kita bahwa materi pembelajaran bahasa di kalangan siswa sekolah dasar sulit diharapkan dapat berperan dalam meletakkan bahasa sebagai sarana berolah pikir dan sarana ekspresi.

Anak-anak mulai mempelajari konsep-konsep ilmu sosial pada saat duduk di kelas 3 SD. Diawali dengan mengenal lingkungan keluarga, kemudian lingkungan sekolah, lingkungan tetangga sekitar dan seterusnya. Apa yang digambarkan oleh buku-buku pelajaran IPS kelas 3 SD tentang lingkungan tetangga ? Keadaan wilayah RT yang satu mungkin berbeda dengan keadaan wilayah RT yang lain. Ada wilayah RT yang terletak di tanah datar, ada yang di tanah berbukit. Wilayah RT di daerah perkotaan umumnya terletak di atas tanah datar. Wilayah RT yang terdapat di daerah pedesaan sebagian terletak di atas tanah berbukit. Wilayah RT 06/ RW 03 terletak di daerah perkotaan. Wilayahnya terdiri atas tanah datar dan rata. Di sana tidak ada bukit. Juga tidak ada sungai yang mengalir. (IPS Terpadu Kelas 3 SD, Tim Bina Karya Guru Penerbit Erlangga, 2000).

Dua alinea di atas membuka pembahasan mengenai lingkungan RT, RW, Kelurahan, hingga provinsi. Tanpa ada penjelasan yang memadai mengenai lembaga RT, tiba-tiba lembaga administratif itu dihubungkan dengan kondisi geografis yang secara konsep berbeda konteksnya. Deskripsi menjadi lebih kacau dengan kalimat: tidak ada bukit dan tidak ada sungai di perkotaan. Dalam memperkenalkan konsep-konsep ekonomi, buku pelajaran memulainya dengan menyebutkan jenis-jenis mata pencaharian. Mata pencaharian penduduk desa bertani, beternak, berkebun. Penduduk daerah pantai bermatapencaharian sebagai sebagai nelayan. Penduduk kota sebagian besar bekerja sebagai pegawai negeri, pegawai perusahaan swasta dan perusahaan daerah.

Berbagai jenis mata pencaharian disebutkan bagai sebuah daftar jenis pekerjaan. Konsep “bekerja” itu sendiri tidak banyak mendapat porsi dalam penjelasannya. “Bekerja” yang merupakan aktivitas ekonomi produksi, menyempit maknanya menjadi sekedar jenis pekerjaan. Tidak ada gambaran yang memadai mengenai proses. Peran Guru Deskripsi isi buku di atas hanya merupakan cuplikan kecil saja dari seluruh isi buku pelajaran yang dipakai anak-anak di sekolah dasar. Buku pelajaran adalah media pembelajaran yang paling umum dipakai di sekolah-sekolah di Indonesia. Jika isi buku pelajaran kondisinya sangat buruk, kita tentu berharap guru dapat berperan menutup kelemahannya, misalnya dengan memberikan bahan bacaan lain yang lebih baik atau menyusun sendiri bahan bacaan yang diperlukan.Tetapi kenyataannya tidaklah demikian. Dari pengalaman penulis bergaul dengan para guru sekolah dasar dan mengamati keseharian mereka dalam mengajar siswa, ada kecenderungan yang memprihatinkan yakni ketergantungan guru yang sangat tinggi terhadap buku pelajaran dalam proses belajar mengajar di kelas. Ketergantungan ini mematikan daya kritis guru terhadap kualitas isi buku pelajaran.

Ketergantungan terjadi karena beberapa faktor. Pertama, sebagian besar guru tidak memiliki pengetahuan yang memadai mengenai teks yang baik. Kedua, sebagian besar guru memiliki minat baca yang rendah sehingga sulit bagi mereka untuk berkreasi menyusun sendiri bahan pelajaran untuk siswa. Ketiga, akses mereka terhadap bahan bacaan sangat terbatas. Dana untuk buku tidak ada, perpustakaan sekolah tidak tersedia dan sekolah tidak punya referensi bacaan yang memadai selain koran. Kondisi menjadi lebih parah karena waktu di luar jam sekolah lebih banyak digunakan para guru untuk memberikan les privat dalam rangka menyiasati pendapatan yang rendah.

Kondisi kurang kritisnya guru terhadap kualitas teks antara lain juga tampak pada hasil penelitian staf pengajar FKIP Universitas Terbuka, Suparti dkk tentang persepsi guru terhadap penggunaan buku teks Bahasa Indonesia SD di Kabupaten Jombang. (Jurnal Pendidikan Vol.3 No 1, Maret 2002, Lemlit UT). Dalam hal persepsi terhadap isi buku, para guru lebih menyoroti kualitas gambar yang kurang menarik, daripada kualitas teks. Yang terjadi kemudian, lebih penting bagi guru adalah menyelesaikan pembahasan materi yang ada di dalam buku pelajaran tepat pada waktunya. Kalau bisa lebih cepat sehingga lebih banyak waktu bisa dicurahkan untuk mengajak siswa berlatih mengerjakan soal. Soal-soal pun diambil dari buku pelajaran itu lagi, atau buku pelajaran yang diterbitkan oleh penerbit lain yang isinya nyaris sama. Wacana guru dan siswa akhirnya hanya berkembang sebatas apa yang ada di buku pelajaran. Bagi umumnya guru, buku dianggap sudah lengkap mewakili konten kurikulum dan organisasi materi sehingga mereka seringkali merasa kurang aman kalau tidak mengikutinya. (Arsyar, 1989). Dampak pada Anak-anak Kualitas isi buku yang rendah ditambah dengan kemampuan guru yang kurang memadai, sangat tidak mendukung perkembangan kemampuan literasi dan pemahaman siswa.

Hasil penelitian yang dilakukan Tim Program of International Student Assessment (PISA) Badan Penelitian dan Pengembangan Depdiknas menunjukkan kemahiran membaca anak usia 15 tahun di Indonesia sangat memprihatinkan. Sekitar 37,6 persen hanya bisa membaca tanpa bisa menangkap maknanya dan 24,8 persen hanya bisa mengaitkan teks yang dibaca dengan satu informasi pengetahuan (Kompas 2 Juli 2003).

Sangat menyedihkan mengingat kemampuan membaca dan menulis merupakan kompetensi paling dasar yang dibutuhkan seseorang untuk mengembangkan pengetahuan dan meraih kompetensi yang lain. Membaca buku yang tidak menarik dan sulit dicerna isinya, menjadi beban berat bagi anak-anak. Yang kemudian dilakukan akhirnya hanya menghafal saja isi buku. Kebiasaan menghafal menumpulkan daya nalar dan kreativitas dalam memecahkan masalah dan menghasilkan karya cipta. Penghafalan juga mematikan rasa ingin tahu, padahal keingintahuan adalah kunci dari eksplorasi dalam perkembangan ilmu. Banyak penelitian mengungkapkan, kesulitan paling besar yang dhadapi siswa dalam memecahkan soal matematika berbentuk cerita adalah dalam membuat model atau memetakan masalahnya dan membuat kalimat matematika. (Hilum, 1997). Ini menunjukkan bahwa kemampuan analisa anak-anak sangat rendah akibat tidak berkembangnya logika berpikir. Kebiasaan menghafal diperkuat oleh dorongan yang diberikan para guru. Karena wawasan yang terbatas mengenai bahan yang diajarkan, guru juga selalu mendorong anak-anak untuk menghafal saja apa yang ada di buku. “Jangan cuma dibaca teksnya. Latihan-latihan soal juga harus dikerjakan. Hafalkan jawabannya. Ibu kan sudah berkali-kali mengingatkan soal-soal itu nanti pasti keluar waktu ujian,” kata seorang guru PPKn (pendidikan kewarganegaraan) kepada siswa-siswa kelas enam.

Seorang anak bisa saja hafal nama tokoh pahlawan dan tahun kejadian, tetapi belum tentu paham apa yang membuat para pahlawan memberontak, melawan dan berjuang. Buku pelajaran sejarah hanya memuat nama tokoh,tahun kejadian, urut-urutan kejadian, tanpa memberi penjelasan logis latar belakang terjadinya peristiwa-peristiwa itu. Buku Pelajaran, Kurikulum dan Pendidikan Tradisional Sebagai salah satu media pembelajaran, buku pelajaran memang harus memenuhi validitas kurikuler yakni disusun sesuai dengan kurikulum yang ditetapkan. Dapat dikatakan, buku pelajaran mencerminkan kurikulum.

Jika kondisi buku pelajaran sekolah anak-anak sangat memprihatinkan seperti terpapar di atas, bagaimana dengan kurikulum pendidikan kita ? Kurikulum di Indonesia baru mulai populer pada tahun 1950an, dan digunakan oleh mereka yang memperoleh pendidikan Barat. Definisi kurikulum beragam. Dalam arti sempit, kurikulum didefinisikan sebagai “a plan for learning”, sesuatu yang direncanakan untuk dipelajari oleh anak-anak di sekolah. Namun para ahli pendidikan saat ini mendefinisikan kurikulum secara lebih luas, yakni semua pengalaman dan pengaruh yang diperoleh anak di sekolah.

Konsep kurikulum adalah konsep pendidikan moderen, pendidikan formal sekolah. Konsep kurikulum tidak dikenal dalam pendidikan tradisional yang ada di masyarakat, baik sosialisasi maupun pendidikan agama atau pendidikan ketrampilan. Pendidikan tradisional tidak memerlukan kurikulum, tidak memerlukan perencanaan karena tujuannya adalah mewariskan nilai dan tradisi, Materi pendidikannya relatif tetap dari satu generasi ke generasi berikutnya. Pendidikan formal sekolah memerlukan kurikulum karena tujuan pendidikannya bukan sekedar mewariskan pengetahuan dan ketrampilan secara turun temurun kepada anak-anak.

Tujuan pendidikan sekolah lebih luas dan kompleks karena dituntut selalu sesuai dengan perubahan. Kurikulum harus selalu diperbarui sejalan dengan perubahan itu. Untuk mencapai tujuan pendidikan yang ditetapkan, kurikulum harus disusun secara strategis dan dirumuskan menjadi program-program tertentu. Karena harus selalu relevan dengan perubahan masyarakat, penyusunan kurikulum harus mempertimbangkan berbagai macam aspek seperti perkembangan anak, perkembangan ilmu pengetahuan, perkembangan kebutuhan masyarakat dan lapangan kerja dan sebagainya.

Kondisi materi buku pelajaran yang memprihatinkan seperti digambarkan di atas, menunjukkan betapa kurikulum pendidikan sekolah yang ada saat ini belum disusun dan direncanakan dengan baik. Hal ini terjadi kemungkinan disebabkan oleh pertama, kelemahan manajemen perencanaan di tingkat operasional, dalam hal ini Pusat Kurikulum. Kedua, visi dan tujuan pendidikan belum dirumuskan secara jelas sehingga menimbulkan kebingungan dalam menerjemahkannya ke dalam strategi dan program. Ketiga, masih kuatnya pengaruh sistem pendidikan tradisional yang cenderung tidak responsif terhadap perubahan membuat sistem pendidikan sekolah cenderung hanya mengadopsi aspek formalitasnya sementara esensi sistem yang bersifat dinamis belum terbentuk.

Pustaka Arsyar, Mohammad (1989). Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum. Jakarta: Proyek Pengembangan LPTK Ditjen PT Departemen P&K.
Kompas (2003). Kemahiran Baca di Indonesia Menyedihkan. (2 Juli 2003)
Mulder, Niels (2001). Indonesian Images. Yogyakarta: Kanisius
Nasution, S (1986). Asas-asas Kurikulum. Bandung: Jemmars
Hilum, Rium (1997). Pengaruh Kemampuan Memecahkan Masalah-masalah cerita dalam aljabar terhadap prestasi siswa. Skripsi S1 FMIPA IKIP Yogyakarta.
Supriadi, Dedi (2001). Anatomi Buku Sekolah di Indonesia. Yogyakarta: Adicita
Shaver, James P ed. (1991). Handbook of Research on Social Studies Teaching and Learning. New York: National Council for the Social Studies.

penulis : Anis Suryani

Sumber: http://antropologi.fib.ugm.ac.id/artdetail.php?id=14

Kamis, 22 Maret 2018

KIAT BELAJAR SISWA


TUGAS pokok seorang pelajar adalah belajar. Dengan belajar, siswa akan memperoleh sejumlah ilmu pengetahuan, pengalaman dan pemahaman tentang suatu ilmu. Dalam belajar adakalanya siswa susah payah membaca buku, namun hasilnya kurang maksimal. Di sisi lain ada siswa yang tampaknya santai tetapi justru mendapat hasil yang memuaskan.

Faktor penentu keberhasilan siswa dalam belajar cukup banyak. Meski demikian, dapat dikategorikan menjadi dua hal yakni faktor internal dan eksternal siswa.

-          Faktor internal berkaitan dengan diri pribadi siswa yang bersangkutan sedang

-          Faktor eksternal meliputi beberapa hal antara lain lingkungan belajar, sarana prasarana, dan pembimbingan dari pihak-pihak yang terkait dengan kehidupan siswa baik orangtua, guru, teman sebaya atau masyarakat secara luas.

 

Faktor internal siswa memiliki pengaruh yang mendasar bagi sukses tidaknya belajar. Hal ini berkaitan dengan bakat, minat dan cita-cita yang akan digapai siswa yang bersangkutan. Bagi siswa yang berbakat dengan kemampuannya akan mudah memahami sesuatu secara cepat. Potensi ini akan melejit maju bila didukung unsur minat yang kuat untuk menguasai suatu ilmu. Siswa yang berminat akan belajar keras tanpa mengenal lelah. Mereka akan disiplin, bersemangat, penuh konsentrasi dan memiliki kesungguhan hati dalam belajar. Menurut hemat penulis unsur minat adalah yang paling dominan. Siswa yang berminat akan berjuang tanpa mengenal lelah, sebagaimana mereka mampu menguasai ilmu yang dipelajari.

Minat siswa akan dapat lancar bila terdukung oleh kesehatan pribadi siswa dan suasana batin siswa yang bersangkutan. Sering dijumpai siswa penuh enerjik (sehat), penuh optimisme (memiliki cita-cita) dan mereka bergairah dalam belajar. Berbahagialah siswa yang memiliki talenta lebih sekaligus terdukung oleh suasana batin yang menyenangkan. Berbeda siswa yang kurang beruntung, bakat rendah, minat lemah apalagi tidak terdukung oleh kondisi kesehatan prima dan suasana batin sedih.

 

Faktor eksternal, khususnya lingkungan keluarga juga sangat menentukan kesuksesan belajar anak. Siswa yang berasal dari keluarga broken home, biasanya akan lemah semangat dalam mengikuti pembelajaran. Selain itu siswa akan tampil beda, mencari perhatian teman dan guru di sekolah. Tampilannya tidak mencerminkan pribadi siswa yang sesungguhnya. Mereka sebenarnya ingin protes dan menentang dengan lingkungannya. Siswa tipe ini sangat membutuhkan perhatian baik dari orangtua atau lingkungan dimana anak tinggal.

Sekolah sebenarnya kelanjutan suasana kehidupan siswa di keluarganya. Hampir dapat dipastikan, siswa yang berasal dari keluarga yang memperhatikan pendidikan pengaturannya akan lebih mudah dan lebih bergairah dalam belajar. Siswa yang nakal atau aneh, biasanya berasal dari lingkungan yang mayoritas mengecewakan pribadi siswa. Di sekolah peran guru akan menentukan corak siswa dalam belajar. Guru yang disenangi, berwibawa dan menarik perhatian siswa akan lebih mudah mengarahkan siswa daripada guru yang tidak simpatik dan dibenci siswa.

Menyadari peran guru yang cukup besar pengaruhnya dalam belajar, maka sangat bijaksana bila guru selalu memperhatikan siswa dan memberikan pembimbingan secara maksimal. Sebagai orangtua kedua di sekolah, guru seharusnya mampu membaca suasana batin siswa yang diajarnya. Guru yang acuh tak acuh, yang penting mengajar tanpa memperhatikan psikologis siswa tidak akan memaksimalkan potensi siswa dalam belajar.

Kiat Sukses

Belajar merupakan proses panjang dan memerlukan ketekunan. Terdapat dua langkah sebagai faktor pendukung dalam merealisasikan hal di atas yaitu :

-          Maka langkah awal siswa harus memiliki cita-cita. Siswa yang memiliki harapan (cita-cita) tinggi sudah dapat dipastikan, siswa akan serius penuh konsentrasi dalam memahami ilmu yang diberikan guru. Mereka tidak akan puas dan selalu berusaha mengembangkan dirinya. Langkah kedua siswa harus mau belajar secara teratur. Pengaturan waktu sangat penting, baik dalam mengikuti pelajaran atau mengulang pelajaran. Siswa yang taat waktu, sudah dipastikan memiliki disiplin yang tinggi, kapan ia belajar, kapan mengerjakan tugas atau kapan mereka istirahat.

-          Langkah berikutnya, siswa harus semangat dan kerja keras. Disiplin yang tinggi ditambah semangat tanpa mengenal lelah akan memiliki peran penting dalam belajar. Banyak siswa yang tidak memiliki unsur ini, akibatnya mereka belajar asal jalan dan yang penting asal lulus seperti teman kebanyakan.
Jiwa semangat yang membaja didukung konsentrasi yang mantap, siswa akan mudah memahami suatu ilmu. Dalam belajar diperlukan konsentrasi dalam perwujudan pemusatan perhatian pada yang dipelajari. Banyak siswa yang tampaknya belajar, namun karena belajarnya di depan TV dan main Hp, maka hasilnya tidak akan gemilang. Konsentrasi berkait erat dengan sikap senang tidaknya pada pelajaran, urusan pribadi siswa, gangguan lingkungan dan gangguan kesehatan. Siswa yang hidup di tengah-tengah keluarga yang ramai, sering cekcok, lingkungan kumuh tentunya akan beda dengan siswa yang hidup di lingkungan yang aman, tenteram dan mendukung siswa dalam belajar.

 

Faktor di atas akan melaju dengan baik bila siswa terdukung dengan sarana prasarana belajar. Alangkah bahagianya siswa yang memiliki cita-cita tinggi, bersemangat, disiplin dan terdukung oleh sarana memadai serta memiliki motivasi kuat baik dari diri siswa maupun lingkungannya. Sudah dapat diyakini siswa yang demikian akan memiliki peluang besar dalam belajar dan menggapai cita-citanya. Amiin!! (*/ida)