Rabu, 05 Oktober 2016

BIAYA PENDIDIKAN DI INDONESIA: PERBANDINGAN PADA ZAMAN KOLONIAL BELANDA DAN NKRI

 

BIAYA pendidikan akademis tidak pernah murah. Yang membuat biaya pendidikan terlihat tinggi karena dibandingkan dengan penghasilan rata-rata rakyat Indonesia.

Di zaman kolonial Belanda, pemerintah kolonial sebenarnya tidak berniat mendirikan universitas. Mereka mendirikan hogeschool agar lulusan dapat membantu mission mereka menjajah rakyat Indonesia dengan mudah karena dapat memanfaatkan tenaga inlanders untuk diangkat sebagai pembantu utamanya.

Meski demikian, pemerintah kolonial akhirnya membuat sekolah juga. Pada mulanya, pemerintah kolonial mendirikan sekolah Nederlands Indische Artsen School di Surabaya. Lalu, didirikan School tot Opleiding voor Indische Artsen di Batavia. Di beberapa kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Yogyakarta didirikan Algemene Middelbare School (AMS), Middelbare Opleiding School voor Indlandse Amstenaren di Magelang, Middelbare Opleiding School voor Inlandse Bestuur Ambtenaren di Bandung, Middelbare Landbouw School di Bogor dan Ungaran. Juga Veeartsen School di Bogor.

Sekolah-sekolah itu adalah setara dengan jenjang sekolah menengah. Setelah itu, pemerintah kolonial baru mendirikan Rechts Hogeschool (RH) dan Geneeskundige Hogeschool di Jakarta. Di Bandung, pemerintah kolonial mendirikan Technische Hogeschool (TH). Kebanyakan dosen TH adalah orang Belanda.

Pada zaman kolonial (kalau tidak salah ingat), hanya ada seorang pribumi yang menjadi guru besar, yaitu Prof Husein Djajadiningrat, yang kemudian menjabat Direktur Departement Van Onderwijs en Eredienst, disusul kemudian oleh Prof Dr Mr Supomo yang mengajar di RH. Sementara universitasnya baru didirikan setelah Perang Dunia II usai dan pemerintah kolonial mau menjajah kembali Indonesia.

 

BAGI kaum inlanders atau pribumi, mereka agak sulit untuk masuk ke sekolah-sekolah tinggi itu. Bahkan, ketika almarhum Prof Roosseno lulus TH, jumlah lulusan yang bukan orang Belanda hanya tiga orang, yaitu Roosseno dan dua orang lagi vreemde oosterling alias keturunan Tionghoa. Bila demikian, lantas berapa orang yang lulus bersama almarhum Ir Soekarno (presiden pertama RI) dan Ir Putuhena? Di zaman pendudukan Jepang, pernah dicari 100 orang insinyur yang dibutuhkan. Padahal saat itu belum ada 90 orang insinyur lulusan TH Bandung.

Biaya kuliah untuk satu tahun di salah satu sekolah tinggi itu besarnya fl (gulden) 300. Saat itu, harga satu kilogram (kg) beras sama dengan 0,025 gulden. Maka, besar uang kuliah sama dengan 12.000 kg beras. Bila ukuran dan perbandingan itu diterapkan sebagai biaya kuliah di universitas sekarang, sedangkan harga beras sekarang rata-rata Rp 3.000 per kg, maka untuk kuliah di universitas biayanya sebesar Rp 36 juta per mahasiswa per tahun.

Biaya di MULO, setingkat sekolah lanjutan tingkat pertama, adalah sebesar 5,60 gulden per siswa per bulan, setara dengan 224 kg beras. Bila dihitung dengan harga beras sekarang, akan menjadi Rp 672.000 per siswa per bulan. Maka, saat itu banyak rekan sekolah saya masuk ke Ambachtschool atau Technische School, karena biayanya agak murah sedikit. Berbekal keterampilan yang diperoleh di Ambachtschool atau Technische School, siswa bisa langsung bekerja setelah lulus.

Meski biaya sekolah mahal, bagi siswa yang berasal dari keluarga tidak mampu secara ekonomis, tetapi mempunyai bakat dan nilai rapor bagus, kepala sekolah dapat mengajukan pembebasan biaya uang sekolah ke Departement O & E. Biasanya, bila pengajuan pembebasan biaya diajukan oleh Direktur MULO atau AMS, Departemen O & E akan mengabulkan, bahkan amat mungkin siswa bersangkutan juga diberi beasiswa untuk hidup.

Dari pengalaman pribadi, orangtua saya berhenghasilan 100 gulden sebulan. Dengan penghasilan itu, hampir mustahil orangtua saya bisa mengirimkan keempat anaknya menikmati pendidikan tinggi. Meski demikian, dengan kerja keras, saya dan semua adik saya dapat menikmati pendidikan tinggi. Bahkan, saya dan beberapa ratus teman pada tahun awal kemerdekaan, ketika Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) masih miskin, dapat menikmati beasiswa.

 

PADA tahun 1950, NKRI baru saja menyelesaikan perang kemerdekaan melawan penjajah Belanda. Toh Pemerintah NKRI yang masih miskin mampu memprogramkan pendidikan bagi kader bangsanya. Ratusan pemuda Indonesia dibiayai Pemerintah NKRI untuk meneruskan pendidikannya di perguruan tinggi, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Dewasa ini NKRI sudah begitu kaya, mengapa beasiswa bagi para kader bangsa tidak lancar? Padahal NKRI ingin mencerdaskan kehidupan bangsa, sedangkan penghasilan rakyatnya amat rendah. Kepada mereka yang rajin dan cerdas, sudah seharusnya pemerintah memberikan beasiswa karena pendidikan akademis memang mahal.

Seyogianya industri atau instansi pemerintah menyerahkan tugas penelitiannya kepada universitas sehingga biaya penelitian yang harus dipikul perguruan tinggi dapat dibantu atau bahkan dipikul industri dan instansi pemerintah. Dengan demikian, biaya bagi mahasiswa dapat dikurangi.

Juga cara perguruan tinggi melakukan pembibitan, jangan langsung diambil dari yang fresh graduate. Lebih-lebih kalau dosen muda itu lulusan perguruan tinggi itu karena akan timbul inbreeding bila mereka tidak disekolahkan ke tingkat lanjutan atau dimagangkan di profesi tertentu. Dosen di perguruan tinggi membutuhkan pengalaman kerja di luar perguruan tinggi, di mana mereka dapat menerapkan ilmu dan pengetahuan yang dikuasai. Maka, di luar negeri banyak profesor yang diambil dari industri atau instansi. Mereka sudah pernah menguji kemampuannya untuk berkompetisi dengan alumni dari perguruan tinggi lain. Setelah diketahui kemampuannya, mereka dipanggil untuk menjadi profesor di perguruan tertentu.

Profesor yang mengajar di universitas seyogianya mampu mengembangkan ilmunya melalui riset yang dilakukan para kandidat doktor yang dibimbingnya. Bila ada profesor yang tidak membimbing doktor, maka risetnya sudah berhenti atau ilmunya tidak berkembang. Mereka yang tidak mampu mempromotori doktor jangan diangkat sebagai profesor, cukup lektor kepala saja. Apakah tugas seorang profesor hanya mengajar dari buku yang ditulis rekannya saja?

Seorang profesor harus mau mengembangkan ilmunya dengan cara mempromotori kandidat doktor bidang ilmunya. Bila tidak demikian, perkembangan perguruan tinggi akan menjadi seperti sekolah menengah atas plus. Pada umumnya, perguruan tinggi mengembangkan ilmu yang dikuasai profesornya, maka biaya untuk belajar di perguruan tinggi selalu mahal. Dari perguruan tinggi inilah timbul inovasi dan kreasi yang selanjutnya dapat dimanfaatkan masyarakat untuk mempertahankan hidupnya aman dan nyaman.

Perguruan tinggi yang satu akan bersaing dengan perguruan tinggi lainnya, terutama dalam kemajuan ilmu dari hasil risetnya. Mengingat biaya penelitian tidak murah, untuk dapat mengikuti kuliah di perguruan tinggi dibutuhkan biaya tidak sedikit. Bila hasil riset dapat langsung diaplikasikan dan dapat dijual ke industri atau instansi terkait, hasil ini secara kumulatif dapat digunakan membiayai riset berikutnya. Jadi, hasil riset dapat menumbuhkan multiplier effect.

 

BIAYA mengikuti pendidikan di perguruan tinggi yang mahal bukan hanya terjadi di Indonesia. Di negara mana pun tetap tinggi dan penghasilan para profesornya pun amat memadai. Dengan demikian, tidak ada profesor yang bekerja di tempat lain (nyambi), kecuali di bidang pendidikan.

Di luar negeri, bila ada seorang direktur industri atau instansi dipanggil untuk menjabat profesor di salah satu perguruan tinggi, jabatannya akan ditinggalkan. Karena, jabatan profesor di perguruan tinggi lebih terhormat dan penghasilannya meningkat. Keadaan ini berbeda dengan situasi perguruan tinggi di Indonesia. Bila seorang profesor diminta menjadi direktur salah satu industri atau instansi, jabatan di perguruan tingginya akan ditinggalkan. Karena, penghasilan profesor di perguruan tinggi Indonesia rendah.

Dengan biaya kuliah yang tinggi, perguruan tinggi diharapkan akan menghasilkan riset dan ilmu yang sepadan. Menurut saya, tidak semua pemuda harus kuliah di perguruan tinggi bila kemampuan berpikirnya tidak cukup baik. Lebih baik mereka masuk akademi yang mengajarkan ilmu terapan, profesi dan kompetensi yang amat dibutuhkan oleh masyarakat.

Sebetulnya, yang dibutuhkan masyarakat adalah ilmu dari seseorang yang dapat disumbangkan, bukan suatu gelar yang menempel pada namanya, tetapi tidak dapat dimanfaatkan masyarakat. Janganlah membanggakan diri dengan gelar yang dijualbelikan seperti pernah disinyalir Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Semoga masyarakat tidak silau melihat beberapa gelar yang dipajang di sekitar nama seseorang.

Oleh: Nakoela Soenarta Guru Besar Ilmu Teknik Mesin di FTUI, ISTN, dan FTUP

Rabu, 03 Agustus 2016

MEMBANGUN MOTIVASI BELAJAR SISWA



Salah satu indikator keberhasilan pendidikan secara mikro di tataran pembelajaran level kelas adalah tatkala seorang guru mampu membangun motivasi belajar para siswanya. Jika siswa-siswa itu dapat ditumbuhkan motivasi belajarnya, maka sesulit apa pun materi pelajaran atau proses pembelajaran yang diikutinya niscaya mereka akan menjalaninya dengan "enjoy" dan "pede".


Tulisan ini mencoba mengangkat apa itu motivasi, belajar, dan pentingnya motivasi belajar siswa dalam proses pembelajaran.

A. Pengertian Motivasi

Banyak pakar yang merumuskan definisi 'motivasi' sesuai dengan kajian yang diperdalamnya. Rumusannya beraneka ragam, sesuai dengan sudut pandang dan kajian perspektif bidang telaahnya. Namun demikian, ragam definisi tersebut memiliki ciri dan kesamaan. Di bawah ini dideskripsikan beberapa kutipan pengertian 'motivasi'.

Michel J. Jucius (Onong Uchjana Effendy, 1993: 69-70) menyebutkan 'motivasi' sebagai "kegiatan memberikan dorongan kepada seseorang atau diri sendiri untuk mengambil suatu tindakan yang dikehendaki".

Menurut Dadi Permadi (2000: 72) 'motivasi' adalah "dorongan dari dalam untuk berbuat sesuatu, baik yang positif maupun yang negatif".

Sedangkan menurut Ngalim Purwanto (2004: 64-65), apa saja yang diperbuat manusia, yang penting maupun kurang penting, yang berbahaya maupun yang tidak mengandung resiko, selalu ada motivasinya. Ini berarti, apa pun tindakan yang dilakukan seseorang selalu ada motif tertentu sebagai dorongan ia melakukan tindakannya itu. Jadi, setiap kegiatan yang dilakukan individu selalu ada motivasinya.

Lantas, Nasution (2002: 58), membedakan antara 'motif' dan 'motivasi'. Motif adalah segala daya yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu, sedangkan motivasi adalah usaha-usaha untuk menyediakan kondisi-kondisi, sehingga orang itu mau atau ingin melakukannya.

Berdasarkan deskripsi di atas, 'motivasi' dapat dirumuskan sebagai sesuatu kekuatan atau energi yang menggerakkan tingkah laku seseorang untuk beraktivitas.

Motivasi dapat diklasifikasikan menjadi dua: (1) motivasi intrinsik, yaitu motivasi internal yang timbul dari dalam diri pribadi seseorang itu sendiri, seperti sistem nilai yang dianut, harapan, minat, cita-cita, dan aspek lain yang secara internal melekat pada seseorang; dan (2) motivasi ekstrinsik, yaitu motivasi eksternal yang muncul dari luar diri pribadi seseorang, seperti kondisi lingkungan kelas-sekolah, adanya ganjaran berupa hadiah (reward) bahkan karena merasa takut oleh hukuman (punishment) merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi motivasi)

B. Pengertian Belajar

Banyak definisi yang diberikan tentang 'belajar'. Misalnya Gage (1984), mengartikan 'belajar' sebagai suatu proses di mana organisma berubah perilakunya.

Cronbach mendefinisikan belajar: "learning is shown by a change in behavior as a result of experience" (belajar ditunjukkan oleh suatu perubahan dalam perilaku individu sebagai hasil pengalamannya). Harold Spears mengatakan bahwa: learning is to observe, to read, to imitate, to try something themselves, to listen, to follow direction" (belajar adalah untuk mengamati, membaca, meniru, mencoba sendiri sesuatu, mendengarkan, mengikuti arahan). Adapun Geoch, menegaskan bahwa: "learning is a change in performance as result of practice." (belajar adalah suatu perubahan di dalam unjuk kerja sebagai hasil praktik).

Kemudian, menurut Ratna Willis Dahar (1988: 25-26), "belajar didefinisikan sebagai perubahan perilaku yang diakibatkan oleh pengalaman". Paling sedikit ada lima macam perilaku perubahan pengalaman dan dianggap sebagai faktor-faktor penyebab dasar dalam belajar:

Pertama, pada tingkat emosional yang paling primitif, terjadi perubahan perilaku diakibatkan dari perpasangan suatu stimulus tak terkondisi dengan suatu stimulus terkondisi. Sebagai suatu fungsi pengalaman, stimulus terkondisi itu pada suatu waktu memeroleh kemampuan untuk mengeluarkan respons terkondisi. Bentuk semacam ini disebut responden, dan menolong kita untuk memahami bagaimana para siswa menyenangi atau tidak menyenangi sekolah atau bidang-bidang studi.

Kedua, belajar kontiguitas, yaitu bagaimana dua peristiwa dipasangkan satu dengan yang lain pada suatu waktu, dan hal ini banyak kali kita alami. Kita melihat bagaimana asosiasi ini dapat menyebabkan belajar dari 'drill' dan belajar stereotipe-stereotipe.

Ketiga, kita belajar bahwa konsekuensi-konsekuensi perilaku memengaruhi apakah perilaku itu akan diulangi atau tidak, dan berapa besar pengulangan itu. Belajar semacam ini disebut belajar operant.

Keempat, pengalaman belajar sebagai hasil observasi manusia dan kejadian-kejadian. Kita belajar dari model-model dan masing-masing kita mungkin menjadi suatu model bagi orang lain dalam belajar observasional.

Kelima, belajar kognitif terjadi dalam kepala kita, bila kita melihat dan memahami peristiwa-peristiwa di sekitar kita, dan dengan insight, belajar menyelami pengertian.

Akhirnya, Depdiknas (2003) mendefinisikan 'belajar' sebagai proses membangun makna/pemahaman terhadap informasi dan/atau pengalaman. Proses membangun makna tersebut dapat dilakukan sendiri oleh siswa atau bersama orang lain. Proses itu disaring dengan persepsi, pikiran (pengetahuan awal), dan perasaan siswa. Belajar bukanlah proses menyerap pengetahuan yang sudah jadi bentukan guru. Hal ini terbukti, yakni hasil ulangan para siswa berbeda-beda padahal mendapat pengajaran yang sama, dari guru yang sama, dan pada saat yang sama. Mengingat belajar adalah kegiatan aktif siswa, yaitu membangun pemahaman, maka partisipasi guru jangan sampai merebut otoritas atau hak siswa dalam membangun gagasannya.

Dengan kata lain, partisipasi guru harus selalu menempatkan pembangunan pemahaman itu adalah tanggung jawab siswa itu sendiri, bukan guru. Misal, bila siswa bertanya tentang sesuatu, maka pertanyaan itu harus selalu dikembalikan dulu kepada siswa itu atau siswa lain, sebelum guru memberikan bantuan untuk menjawabnya. Seorang siswa bertanya, "Pak/Bu, apakah tumbuhan punya perasaan?" Guru yang baik akan mengajukan balik pertanyaan itu kepada siswa lain sampai tidak ada seorang pun siswa dapat menjawabnya. Guru kemudian berkata, "Saya sendiri tidak tahu, tetapi bagaimana jika kita melakukan percobaan?".

Jadi, berdasarkan deskripsi di atas, 'belajar' dapat dirumuskan sebagai proses siswa membangun gagasan/pemahaman sendiri untuk berbuat, berpikir, berinteraksi sendiri secara lancar dan termotivasi tanpa hambatan guru; baik melalui pengalaman mental, pengalaman fisik, maupun pengalaman sosial.

C. Pentingnya Motivasi Belajar Siswa

Dalam kegiatan pembelajaran, 'perhatian' berperan amat penting sebagai langkah awal yang akan memacu aktivitas-aktivitas berikutnya. Dengan 'perhatian', seseorang berupaya memusatkan pikiran, perasaan emosional atau segi fisik dan unsur psikisnya kepada sesuatu yang menjadi tumpuan perhatiannya.

Gage dan Berliner (1984) mengungkapkan, tanpa adanya perhatian tidak mungkin terjadi belajar. Jadi, seseorang siswa yang menaruh minat terhadap materi pelajaran, biasanya perhatiannya akan lebih intensif dan kemudian timbul motivasi dalam dirinya untuk mempelajari materi pelajaran tersebut.

Di sini, motivasi belajar dapat didefinisikan sebagai usaha-usaha seseorang (siswa) untuk menyediakan segala daya (kondisi-kondisi) untuk belajar sehingga ia mau atau ingin melakukan proses pembelajaran.

Dengan demikian, motivasi belajar dapat berasal dari diri pribadi siswa itu sendiri (motivasi intrinsik/motivasi internal) dan/atau berasal dari luar diri pribadi siswa (motivasi ekstrinsik/motivasi eksternal). Kedua jenis motivasi ini jalin-menjalin atau kait mengait menjadi satu membentuk satu sistem motivasi yang menggerakkan siswa untuk belajar.

Jelaslah sudah pentingnya motivasi belajar bagi siswa. Ibarat seseorang menjalani hidup dan kehidupannya, tanpa dilandasi motivasi maka hanya kehampaanlah yang diterimanya dari hari ke hari. Tapi dengan adanya motivasi yang tumbuh kuat dalam diri seseorang maka hal itu akan merupakan modal penggerak utama dalam melakoni dunia ini hingga nyawa seseorang berhenti berdetak. Begitu pula dengan siswa, selama ia menjadi pembelajar selama itu pula membutuhkan motivasi belajar guna keberhasilan proses pembelajarannya.

*) Arief Achmad, Guru SMAN 21 Bandung. Ketua AGP-PGRI Jawa Barat