Perilaku
sebuah bangsa tidak tercipta dalam waktu singkat, namun terbentuk sepanjang
tahun melalui kebudayaan dan pendidikan.
Bangsa
ini kembali terpuruk dalam potret kecil olahraga di arena SEA Games XXIII yang
berakhir Senin (5/12) di Manila. Dalam gambaran besar, bangsa ini dijuluki
bangsa yang berperilaku tidak menghargai proses, tidak suka kerja keras, tetapi
ingin serba instan. Mengapa semua itu bisa terjadi?
Lihatlah
kondisi perguruan tinggi yang sudah lama mengalami ”kecelakaan”. Sebanyak 99
persen dari dosennya merupakan lulusan sendiri yang mengambil S2 dan S3 di
dalam negeri. Sebagian besar dari mereka kemudian mengajar dan menguji.
Sementara
itu daya serap mahasiswa terhadap mata kuliah yang disuapi dosennya hanya 20-30
persen. Situasi ini diperparah oleh perilaku sebagian besar mahasiswa yang
tidak senang membaca buku. Padahal buku merupakan jendela dunia.
Seorang
panelis yang sebagian besar hidupnya dicurahkan di perguruan tinggi mengamati,
baik dosen maupun mahasiswa kini tidak lagi menghargai disiplin. Sebelum tahun
1970-an atau pada zaman Soekarno, sikap ini masih bagus, dalam arti mereka tahu
disiplin. Mengapa begitu, karena pelajaran dari bangsa Jepang dan Belanda masih
menetes kepada para pemimpin bangsa saat itu.
Akan
tetapi, sejak tahun 1970-an perilaku unggul itu mulai merosot. Mereka mulai
malas bekerja dan malas berdisiplin. Baik mahasiswa maupun dosen sering bolos.
Menurut penelitiannya, selama 40 tahun mengajar tidak ada satu mahasiswa pun
yang mengikuti kuliah tiap minggu dalam satu semester lengkap.
”Paling
banyak kehadiran mahasiswa hanya 10 kali dalam satu semester. Padahal saya
sudah melakukan peringatan, sindiran atau marah, dan sebagainya, tidak
digubris,” keluhnya. Artinya, dorongan bermalas-malas di kalangan sivitas
akademika sangat kuat. Yang paling parah, para dosennya sendiri juga suka
bolos.
Gejala
umum ini ternyata tidak hanya di kalangan perguruan tinggi, tapi merembet ke
sekolah- sekolah rendah dan menengah. Ada suatu anggapan bahwa setelah SMA dan
masuk perguruan tinggi, mereka semua bisa hidup bebas. Mau datang kuliah, mau
bolos, tidak apa-apa. Ini amat mengherankan, gejala itu tumbuh subur pada saat
negeri ini membangun pada masa Orde Baru.
Demikian
juga perilaku pegawai di perguruan tinggi yang harusnya datang pukul 07.00,
pada umumnya datang pada pukul 09.00. Kalau kita membicara- kan jadwal kuliah,
tidak ada dosen yang mau mengajar pada pukul 07.00. Maunya mereka mengajar di
atas pukul 09.00 atau pukul 10.00. Ketika panelis ini mengajar pada jadwal
pukul 07.00, dari 50-80 mahasiswa yang datang tepat waktu cuma 10 orang.
Menurut
pengalamannya, setelah satu jam, masuklah mereka satu demi satu. Masuknya juga
unik, setelah buka pintu langsung duduk. Tidak ada yang minta maaf karena
keterlambatan itu. Mereka menganggap, kuliah ini hak kita, jadi bebas mau
kuliah atau tidak. Lebih jauh lagi, pada umumnya mereka tidak mau belajar keras
serta tidak senang membaca buku.
”Pernah
sekali waktu saya periksa diktat yang sudah saya bagikan. Benar-benar
mengherankan, saya lihat diktat itu bersih sekali. Tidak ada catatan dari dia
sehingga waktu ujian banyak yang tidak bisa jawab. Padahal semuanya ada di diktat,”
tuturnya.
Pendidikan
antikerja
Sebuah
analisis terhadap perilaku masyarakat di negara maju menyatakan, mayoritas
penduduknya sehari-hari mengikuti prinsip-prinsip dasar kehidupan. Misalnya,
menghargai etika, kejujuran dan integritas, bertanggung jawab, hormat pada
aturan dan hukum masyarakat, hormat pada hak orang/warga lain, cinta pada
pekerjaan, berusaha keras menabung dan investasi, bekerja keras hingga tepat
waktu.
Para
mahasiswa di negara-negara maju menyebut belajar itu bekerja. Di Amerika Serikat,
misalnya, kalau mahasiswa itu berkata, I must to work, itu artinya belajar atau
kuliah. Namun, di republik ini para mahasiswa tidak menganggapnya demikian.
Pernah seorang menteri pendidikan menyatakan, anak-anak lebih suka sekolah,
tapi tidak suka kerja. Celakanya, dalam kurikulum, mulai dari sekolah dasar
hingga perguruan tinggi, terkesan anti- kerja.
Dalam
kurikulum, program manual work hampir tidak pernah ada. Malah yang ada pun
terus dianjurkan agar dihapus. Dulu yang mengadakan kurikulum jenis ini
Pemerintah Kolonial Belanda. Oleh negeri bekas jajahannya, mulai tahun 1970-an,
kemudian diganti dengan nama resmi keterampilan atau kerajinan seni rupa.
Pernah dalam diskusi IKIP seluruh Indonesia, bidang keterampilan kerajinan
dipisahkan dari seni rupa.
Pada
zaman Ode Baru, semua media koran, televisi, radio dan sebagainya
memublikasikan pembedaan itu. Jadi sekolah itu hanya untuk kerja mental, bukan
kerja fisikal. Pernah ada pelajaran hasta karya. Tapi kemudian tidak boleh
dipakai oleh murid-murid untuk melakukan apa-apa yang menghasilkan apa-apa.
Yang
mengatakan bahwa pelajaran seni dan hasta karya di sekolah-sekolah itu harus
bebas berekspresi. Katanya yang penting bukan hasil, tapi proses, seraya tidak
peduli hasilnya apa. Proses rasa bebas itu artinya kerja sembarangan dalam
pelajaran seni rupa kerajinan dan sebagainya.
Di
kalangan masyarakat ada hubungan antara harkat manusia dan kerja manual. Makin
banyak kerja manual manusia itu makin rendah harkatnya. Makin kurang kerja
manual atau sama sekali tidak kerja manual, makin tinggi harkatnya. Kerja
intelektual atau kerja mental, misalnya belajar ilmu, teori, filsafat, banyak
sekali peminatnya karena makin tinggi harkatnya.
Namun,
yang kerja fisikal hanya sedikit saja karena harkatnya rendah. Kerja fisik itu
bukan hanya dianggap rendah, tapi juga merupakan kerja orang-orang jelata. Itu
kerja orang-orang miskin, sedangkan kerja orang-orang yang tidak begitu harus
menjauhkan diri dari yang manual, dari yang fisikal.
Situasi
ini sama dengan zaman Yunani dan Romawi dulu. Di zaman Yunani kuno tersebut
semua kerja yang bersifat fisikal manual dianggap tidak bermartabat.
Bernilai
rendah
Ironisnya,
dunia pendidikan di republik ini juga ”memusuhi” program yang berorientasi
pasar. Sejumlah ahli design pernah mengeluhkan tentang perilaku di kampusnya
yang tidak market friendly. Mereka merasa tertekan sebab kalau membuat design
berorientasi pasar itu dianggap rendah. Yang bagus dan dihargai kalau design
dibuat klasik atau bersifat scientific.
Situasi
ini berbeda dengan di luar negeri. Di negara maju itu hampir semua mahasiswanya
bekerja. Yang tidak bekerja hanya mahasiswa Indonesia yang kebetulan dapat
beasiswa dari pemerintah. Malah mereka bisa anteng bekerja di perpustakaan
seperti menyusun buku yang secara fisik tidak mau dikerjakan mahasiswa
Indonesia.
”Di
AS, para mahasiswa S3 biasa mengobrol, pada last summer ia akan bekerja sebagai
kontraktor membangun jembatan. Mereka tidak tahu bahwa kita menganggapnya
rendah. Dalam hati saya, kok mahasiswa Amerika tingkatan doktor mau kerjaan
seperti itu,” panelis ini mengungkapkan pengalamannya. Begitu juga mahasiswa
Korea ketika libur, ada yang bekerja sebagai tukang kebun, yang umumnya tidak
disukai oleh mahasiswa Indonesia.
Bangsa
ini menganggap kerja itu mempunyai nilai rendah. Artinya, kerja itu beban,
kerja itu suatu keterpaksaan, kerja itu suatu siksaan. Manusia Indonesia pada
umumnya bermimpi hidup senang, hidup enak, tanpa kerja. Lalu siapa yang
menghasil- kan makanan dan sebagainya? Seperti pada zaman Yunani kuno, ya orang-orang
rendah, rakyat jelata itu. Merekalah yang disuruh kerja, menghasilkan padi,
misalnya.
Nilai
paling tinggi itu hidup senang. Hidup senang artinya punya banyak uang.
Bagaimana menciptakan harta banyak tanpa kerja, ya korupsi itu....
Oleh Dedi Muhtadi
Sumber:
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0512/10/Fokus/2272580.htm