SERIAL
Harry Potter (semula) tidak diterbitkan dalam versi braille. Akibatnya,
sejumlah kalangan di Inggris memprotes penerbit karena dinilai melakukan
diskriminasi terhadap anak-anak yang memiliki gangguan penglihatan. Penerbit
lalu berjanji akan segera menerbitkannya dalam dua minggu.
Demikian
sekilas abstraksi penerapan hak anak di Inggris. Hingga tahun lalu, tercatat
empat juta anak di Inggris hidup dalam kemiskinan (End Child Poverty, edisi
April 2002). Ini adalah angka tertinggi di kalangan negara industri maju
lainnya. Namun, kesungguhan negara ini mengurus masalah anak ditandai upaya
mengintegrasikan perlindungan hak anak dengan program menghapus kemiskinan anak.
Strateginya antara lain dengan mendorong implementasi Children Budget’s Year
oleh kelompok kerja parlemen (All Party Parlement Group) untuk masalah anak dan
kemiskinan.
MELIHAT
keseriusannya, kita patut cemburu. Kondisi anak di Indonesia masih memprihatinkan,
meski upaya perlindungan anak sudah lama dikerjakan. Ibu Mangunsarkoro sejak
1920 memeloporinya lewat Taman Siswa. Kini, delapan bulan setelah UU
Perlindungan Anak Nomor 23/2002 diundangkan, kesadaran hak anak di negara ini
masih rendah, bahkan masih banyak lembaga dan pihak terkait belum mengetahui
keberadaan UU ini, apalagi menerapkannya.
Dalam
artikel "Mematahkan Mitos, Menghormati Anak sebagai Manusia" (Kompas,
30/6/03), terurai sejumlah mitos yang dianggap mengganjal upaya perbaikan nasib
anak Indonesia. Mitos-mitos ini menyebabkan orang dewasa gagal mempersepsi anak
sebagai manusia, dan memperlakukan anak hanya sebagai obyek dalam keluarga,
masyarakat, maupun negara. Berbagai lembaga dan legislasi nasional yang dibuat
untuk melindungi hak anak pun ditengarai masih berperilaku serupa. Bagaimana
ini terjadi?
Harus
dipahami, perjuangan hak anak tumbuh seiring pengakuan terhadap nilai-nilai
humanisme universal. Hak asasi anak merupakan bagian hak asasi manusia. Upaya
perlindungan anak diberikan dalam kesadaran, anak belum punya kapasitas legal
untuk melakukan sesuatu yang berimplikasi hukum. Karena itu, negara wajib
melindungi hak anak, tanggung jawab pelaksanaannya diserahkan kepada orangtua
dan masyarakat.
Namun,
filsafat humanisme yang dibawa sistem kapitalisme modern yang kita anut kini
mendorong tumbuhnya nilai-nilai kemanusiaan yang memihak kebebasan individual
dan memprioritaskan kebutuhan individu di atas relasi sosial. Dalam praktiknya,
nilai-nilai humanistik sering menyerah pada dorongan kebutuhan individual yang
menghasilkan keuntungan lebih besar. Individualitas juga merasuk dalam
kesadaran manusia dan mendominasi struktur relasi antarmanusia, hingga mampu
menggeser nilai-nilai luhur dalam relasi orangtua dan anak. Apalagi globalisasi
yang dimotivasi kapitalisme memaksa manusia untuk kreatif mengapitalisasi apa
pun demi mendapat laba. Tentu saja anak, dalam posisinya yang lemah secara
fisik, sosial, maupun hukum, menjadi pilihan yang amat atraktif untuk
dikapitalkan.
Kondisi
ini diperkeruh apresiasi budaya atau agama yang menerjemahkan hubungan
orangtua–anak dalam relasi subordinat, di mana orangtua adalah pihak yang
bertanggung jawab untuk membesarkan dan memenuhi kebutuhan anak. Orangtua lalu
merasa berhak melakukan apa pun terhadap anaknya melalui berbagai dalih agama
dan budaya, termasuk prinsip "demi kebaikan anak". Orangtua juga
sering sulit melepas identifikasi dirinya dalam diri anak. Anak dianggap
mengemban aneka obsesi dan harapan yang ingin ia capai. Akibatnya, konsep "demi
kebaikan anak" sering menjelma menjadi "demi kebaikan orangtua".
CAROL
Bellamy, Direktur Eksekutif UNICEF untuk Asia-Pasifik, berujar, "…Semua
berawal dari satu hal, investasi pada anak-anak", dalam pidato pembukaan
pertemuan Konsultasi Tingkat Menteri se-Asia Timur dan Pasifik tentang Anak
awal Mei lalu (Kompas, 11/5/03). Ungkapan "investasi pada anak-anak"
harus dibaca hati-hati, mengingat istilah investasi amat berbau ekonomi.
Pertimbangan utama dalam investasi adalah keuntungan investor. Investasinya
jelas diperlakukan sebaik mungkin, namun tujuan akhir tetap kepentingan
investor. Bila logika ini terus digunakan, pemaknaan eksploitatif inilah yang
masuk ke bawah sadar manusia dan mengendalikan perilaku tanpa kita sadari.
Pada
kenyataannya, manusia sering memperlakukan anak sebagai properti, simbol
prestise, atau atribut standar dari statusnya sebagai manusia dewasa. Misalnya,
dengan menjadikan anak sebagai alasan untuk menikah atau mempertahankan
perkawinan. Padahal, anak punya hak untuk tumbuh dalam rumah tangga yang sehat
sejahtera secara psikologis. Hak ini sering terlanggar saat istilah
"kepentingan terbaik untuk anak" ditafsirkan secara egois demi
kepentingan (calon) orangtuanya. Sudah waktunya unsur hak anak masuk dalam
persyaratan perkawinan, terutama bagi pasangan yang berniat punya anak. Mereka
harus paham, mampu, dan bersedia memenuhi hak anak agar anak tak lagi jadi aset
atau dekor rumah tangga belaka.
Rapuhnya
perlindungan anak di Indonesia juga disebabkan selama ini isu anak diperlakukan
bak burung dalam sangkar. Orang tertarik berpartisipasi karena "anak"
adalah isu yang eksotik, segala dukungan fasilitas dan dana relatif mudah
diperoleh karena manusia mudah tersentuh perasaannya bila menyangkut urusan
anak. Selain itu, isu anak dianggap soft issue karena lebih bermuatan sosial
atau amal, dan relatif apolitis. Padahal, kekuatan posisi tawar amat signifikan
bagi keberhasilan gerakan ini. Lemahnya dukungan politik membuat gerakan ini
dimanfaatkan sebagai fungsi sublimasi dari aneka kepentingan selain kepentingan
anak, misalnya, pengumpulan simpati politik, popularitas, promosi jabatan,
uang, atau surga.
Pertanyaannya
kini, apa yang membuat masalah anak menjadi signifikan hingga butuh banyak
perhatian, mulai dari budaya sampai politik? Jawabnya, karena penyelesaian
separuh hati atau sekadar seremonial justru membahayakan perkembangan emosi dan
struktur kepribadian anak. Artinya, cita-cita perbaikan nasib anak bakal makin
jauh melayang.
Ketika
fungsi-fungsi perlindungan anak gagal dilaksanakan orangtua atau masyarakat,
peran negara kembali penting. Salah satu isi UU Perlindungan Anak No 23/2002
adalah pembentukan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Lembaga ini
diharapkan berperan seperti Komnas HAM, dengan konsentrasi pada masalah anak.
Di luar beberapa kelemahan materiil dari konsep KPAI, lembaga ini perlu
didukung, setidaknya atas dua alasan. Pertama, untuk menjamin negara dan
perangkatnya menjalankan fungsi pelindung hak anak sebagaimana tertuang dalam
UU dengan serius dan bertanggung jawab. Kedua, guna memastikan isu anak tidak
dimarjinalisasi sebagai pekerjaan departemen sosial atau pemberdayaan
perempuan, tetapi juga menjadi agenda wajib tiap institusi pengambil kebijakan.
Misalnya, dengan membuat analisis dan pernyataan tentang pengaruh suatu kebijakan
terhadap anak (child impact statement), yang lalu dioperasionalkan dalam
anggaran.
Kriteria
keseriusan negara dalam melindungi hak anak akan terlihat dari seberapa jauh
analisis ini dijadikan prioritas pertimbangan dalam pengambilan kebijakan.
KPAI
juga harus mendorong keterlibatan anak dalam berbagai kegiatan atau pengambilan
keputusan yang menyangkut nasibnya. Penguatan partisipasi anak tak hanya
penting untuk merangsang sensitivitas sosial dan kemampuan toleransi, tetapi
juga melatih anak bertanggung jawab atas keputusan yang diambil bersama.
Ini
bukan konsep khayalan. Tahun 1996, di Lebanon, sejumlah anak berusia 16–18
tahun berpartisipasi dalam sidang parlemen yang membahas masalah anak, seperti
pendidikan dan kesehatan. Hasilnya positif karena sejak itu masalah anak
menjadi isu politik serius di Lebanon. Ini sejalan prinsip dasar hak anak yang
juga termuat dalam UU No 23/2002, yaitu penghargaan terhadap partisipasi anak.
Parlemen Anak, sedikitnya merupakan langkah awal. Mungkin suatu saat, pendapat
anak dalam berbagai isu, seperti RUU Sisdiknas atau Panja Sukhoi, bisa
diperhitungkan, mengingat baik Depdiknas maupun Bulog adalah institusi yang
amat relevan dengan kesejahteraan mereka.
Di
Indonesia, penerapan total hak anak masih jauh dari sempurna, namun langkah ke
sana harus diambil. Bagaimanapun, anak tidak bertanggung jawab atas perilaku
kita. Sebaliknya, mereka dipastikan mewarisi masalah akibat perbuatan kita saat
ini. Seperti dinyatakan White Lion dalam lagu When The Children Cry, ...what have
we become…just look what we have done…all that we destroyed… you must build
again….
Erita Narhetali Direktur Lembaga Studi Anak Marjinal
(LSAM), Tim Litbang Lembaga Bantuan Hukum Rakyat (LBHR)
Sumber:
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0307/23/opini/439314.htm