Sebagaimana
obat modern, obat tradisional juga bisa menjadi obat sekaligus racun. Jika
digunakan secara tepat, ia bisa menyembuhkan penyakit yang sulit ditangani oleh
obat modern sekalipun. Tapi jika pemakaiannya salah, bisa saja penyakitnya
malah tambah parah.
Obat
tradisional, khususnya obat herbal, hingga sekarang masih sering menjadi bahan
perdebatan seru yang tak kunjung habis. Para pengobat tradisional
mendewa-dewakannya, tapi kalangan dokter sering berargumen, "Belum ada
buktinya!"
Tidak
terlalu sulit mencari contohnya. Hampir tiap tahun muncul primadona baru di
jajaran obat tradisional. Sebut saja buah mahkota dewa, lalu virgin coconut oil
(VCO), kemudian buah merah, dan yang paling mutakhir, sarang semut.
Para
pengobat tradisional biasanya mengangkat pamor tanaman primadonanya dengan
testimoni para pemakai yang berhasil sembuh. Bagi mereka, pengalaman itu adalah
bukti kemujaraban tanaman tersebut. Sayangnya, kalangan dokter selalu bilang,
testimoni itu belum bisa dijadikan sebagai bukti. Dalam pandangan dokter, yang
dianggap sebagai bukti yaitu uji klinis, bukan pengakuan orang per orang.
Tinggalah
orang awam yang kebingungan menyaksikan perselisihan kedua kubu tadi. Kecuali
jika orang awam bisa memahami logika ilmu kedokteran modern. Ilmu kedokteran
modern ditegakkan di atas data-data penelitian ilmiah yang baru bisa dianggap
sah jika telah memenuhi kaidah-kaidah statistik.
Bukan
berarti pengalaman-pengalaman para pemakai itu hanya bualan atau omong kosong
belaka.
Namanya saja cerita. Kita boleh percaya, boleh juga tidak. Masalahnya,
kesembuhan beberapa orang belum bisa mewakili populasi karena belum memenuhi
kaidah statistik. Itu sebabnya pengakuan beberapa orang belum dianggap sebagai
"bukti".
Agar bisa
setara dengan obat modern, obat tradisional harus harus melewati banyak tahap.
Persis seperti obat modern. Ambil contoh, kumis kucing (Orthosiphon stamineus).
Secara empiris, tanaman ini sudah biasa dipakai kakek-nenek kita sebagai obat
tekanan darah tinggi. Pada tahap ini, derajat kumis kucing masih sebagai jamu.
Secara empiris khasiatnya sudah diakui, tapi belum ada bukti ilmiah yang
mendukungnya. Masyarakat dipersilakan memakai, tapi dokter belum sudi
meresepkannya.
"Agar
bisa diresepkan, obat tradisional harus punya bukti ilmiah dulu," kata dr.
Hedi R. Dewoto, Sp.FK, farmakolog Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Supaya punya bukti ilmiah, tanaman ini harus diuji dahulu efeknya pada binatang
coba. Jika terbukti aman dan menunjukkan efek penurunan tekanan darah, dokter
baru akan mengakui khasiatnya. Pada tahap ini pun dokter masih belum bersedia
meresepkannya.
Kumis kucing
baru akan dianggap setara dengan obat modern jika telah diuji pada manusia.
Bukan hanya pada binatang coba. Tahapan inilah yang dikenal sebagai uji klinis.
Setelah lulus uji klinis, obat ini baru bisa setara dengan obat-obat modern
antihipertensi seperti kaptopril, hidroklorotiazida (HCT), dan sebangsanya.
Begitu lulus
uji klinis, obat tradisional bisa memakai baju Fitofarmaka yang layak
diresepkan dokter dan bisa masuk pelayanan formal seperti di rumah sakit atau
puskesmas. Di Indonesia, baru ada beberapa gelintir Fitofarmaka, seperti
Tensigard Agromed (antihipertensi), X-Gra (antidisfungsi seksual pria), Stimuno
(peningkat daya tahan tubuh), Nodiar (antidiare), dan Rheumaneer (antinyeri).
Obat tradisional kategori ini sudah layak diresepkan karena memang sudah punya
bukti klinis yang mendukung. Bukan sekadar pengakuan Pak Wayan ataupun Bu Susi.
Bisa berefek
buruk
Selama ini
obat tradisional diyakini tidak punya efek sampingan. Atau, kalaupun ada, efek
sampingannya boleh diabaikan. Menurut Hedi, pandangan ini tidak sepenuhnya
benar. Bagaimanapun, obat tradisional tetap bahan asing bagi tubuh. Dalam ujian
disertasinya di Institut Pertanian Bogor belum lama ini, Dr. dr. Aris Wibudi,
Sp.PD, menceritakan sebuah kasus yang bisa menjadi pelajaran.
Aris pernah
menangani kasus pasien yang mengalami hipoglikemia berat akibat minum obat
tradisional secara salah. Sebelumnya, pasien sudah mendapat obat antidiabetes
dari dokter. Lalu, tanpa sepengetahuan dokter, pasien juga minum obat
tradisional yang berisi beberapa macam tanaman. Dua di antaranya sambiloto
(Andrographis paniculata) dan brotowali (Tinospora crispa). Padahal kedua
tanaman ini diketahui punya efek menurunkan kadar gula darah. Walhasil,
bukannya sembuh, pasien justru mengalami hipoglikemia berat. Efek ini diyakini
timbul karena kerja sinergi dari obat antidiabetes dari dokter, ditambah efek
hipoglikemia dari sambiloto dan brotowali.
Kasus tadi
hanya salah satu contoh dari banyak kasus lain yang tidak sempat
terdokumentasi. Efek buruk lain misalnya timbulnya perdarahan atau hipotensi
berat setelah minum obat tradisional tertentu. Ini semua membuktikan kalau jamu
pun bisa menimbulkan efek buruk jika diminum tanpa hati-hati. Efek buruk ini
sulit diperkirakan karena dokter pun tidak tahu mekanisme kerja obat
tradisional di dalam tubuh.
Ini memang
salah satu kekurangan obat tradisional. Berbeda dengan obat-obat modern yang
cara kerjanya diketahui jelas. Kita bisa membandingkan antara sari kumis kucing
dan kaptopril atau HCT. Baik kaptopril maupun HCT punya berjibun data
penelitian yang menunjukkan mekanisme kerjanya. Kaptopril diketahui bekerja
menurunkan tekanan darah dengan cara memperlebar dan memperlentur pembuluh darah.
Sedangkan HCT menurunkan tekanan darah dengan cara mengurangi volume cairan di
dalam pembuluh darah. Cara kerja kedua obat ini telah diketahui jelas. Nah,
pada kumis kucing, mekanisme kerjanya masih sebatas dugaan.
Para
peneliti belum bisa memastikan cara kerjanya karena kandungan obat tradisional
jauh lebih kompleks daripada obat modern. Sebagai gambaran, dalam sehelai daun
kumis kucing terdapat puluhan hingga ratusan macam senyawa fitokimia (fito:
tumbuhan). Begitu pula di dalam buah pace, pare, mahkota dewa, buah merah, dan
sebagainya. Lain di buah, beda di akar. Sebagian besar senyawa fitokimia ini
tidak diketahui strukturnya. Apalagi mekanisme kerjanya. Semuanya masih gaib.
Isinya
bermacam-macam
Menurut
Hedi, penelitian obat tradisional hingga sekarang kebanyakan masih dalam tahap
farmakodinamika. Maksudnya, para peneliti hanya menguji ada tidaknya efek
tertentu pada hewan coba. Misalnya, apakah memang benar ekstrak buah mahkota
dewa mempunyai efek menurunkan kadar gula darah pada binatang coba.
Karena itu,
penelitian semacam itu belum bisa menjawab pertanyaan lebih lanjut: senyawa apa
yang punya efek menurunkan kadar gula darah; bagaimana strukturnya; dan
bagaimana mekanisme kerjanya. Semua masih samar-samar.
Kebanyakan
penelitian masih berhenti sampai di sini. Itu terjadi pada hampir semua tanaman
obat. Para peneliti baru bisa membuktikan bahwa ekstrak buah pace memang bisa
menurunkan tekanan darah. Tapi mereka hanya bisa menduga-duga cara kerjanya di
dalam tubuh. Masih wallahu a’lam.
Bahkan
sediaan fitofarmaka yang layak diresepkan dokter pun masih belum jelas betul
mekanisme kerjanya. Kandungan aktifnya masih sebatas dugaan. Mekanisme kerjanya
juga masih kira-kira. Kalaupun para peneliti mengetahui kandungan fitokimianya,
kebanyakan masih sebatas golongan umum. Misalnya alkaloid, flavonoid,
antioksidan, minyak atisiri, asam amino, dan sejenisnya. Nama-nama ini bukanlah
nama sebuah senyawa fitokimia tertentu, tapi nama golongannya. Jika
dianalogikan dengan orang Indonesia, nama-nama itu nama suku, bukan nama orang.
"Alkaloid itu jenisnya sangat banyak. Flavonoid juga begitu," ujar
Hedi.
Jika suatu
tanaman mengandung alkaloid, tidak berarti ia pasti berkhasiat sebagai obat
diabetes atau hipertensi. Begitu pula, jika suatu tanaman mengandung antioksidan
atau flavonoid, tidak otomatis ia punya efek antikanker. Sama persis seperti
logika kita sehari-hari. Orang Madura tidak otomatis berprofesi sebagai penjual
sate. Orang Padang tidak mesti punya warung nasi padang.
Contoh ada!
Kompleksitas
kandungan fitokimia ini di satu sisi memang menimbulkan masalah bagi peneliti.
Tapi di sisi lain, hal ini justru menjadi rahasia yang menantang. Jika dokter
mengatakan belum ada buktinya, itu sama sekali tidak berarti tanaman tersebut
tidak berkhasiat. Bisa saja berkhasiat. Cuma masalahnya, belum ada penelitian
yang mendukung.
Buktinya
melimpah. Banyak obat modern yang awalnya obat tradisional. Kita bisa menyebut
contoh vinkristin, vinblastin, digitalis, artemisin, morfin, kodein, dan masih
banyak lagi. Semua nama ini contoh senyawa tunggal yang masuk kategori obat
modern. Vinkristin
dan vinblastin, dua senyawa antikanker, diisolasi dari tapak dara (Vinca
rosea). Digitalis, obat jantung, berasal dari tanaman Digitalis purpurea.
Artemisin, obat antimalaria, berasal dari tanaman Atemisia annua. Morfin, obat
penekan sistem saraf pusat yang sering disalahgunakan itu, berasal dari tanaman
opium (Papaver somniverum). Dari morfin, para ilmuwan lalu mengembangkan kodein
yang biasa dipakai sebagai obat batuk.
Semua contoh ini membuktikan, tanaman
obat punya potensi menghasilkan senyawa tunggal untuk obat modern. Dalam
pandangan Hedi, salah satu kendala penelitian obat tradisional adalah masalah
waktu dan biaya. Agar jamu bisa naik kelas menjadi obat modern yang diketahui
mekanisme kerjanya, penelitiannya membutuhkan waktu hinga 20-an tahun.
"Biayanya
gak kebayang, deh!" ucap Hedi sambil geleng-geleng kepala. Lebih susah
lagi, para peneliti sejauh ini biasanya bekerja sendiri-sendiri, tidak fokus
meneliti suatu tanaman tertentu mulai dari A sampai Z. "Jadi, kalau
sekarang kita ditanya bagaimana mekanisme kerjanya, itu masih jauh,"
tandasnya, masih dengan geleng-geleng kepala.
Artinya,
kita tidak perlu tergesa-gesa menyimpulkan bahwa tanaman anu pasti punya
khasiat anu. Di lain pihak, kita juga tidak boleh meremehkan dan menganggap
bahwa khasiat tanaman obat hanya mitos belaka. Semua harus dipandang secara
rasional dan objektif. Bisa saja suatu saat nanti kita berhasil mengisolasi
obat antihepatitis dari meniran atau temu lawak. Siapa tahu nanti kita bisa
menemukan obat antikanker dari buah mahkota dewa, atau obat anti-HIV dari buah
merah.
Sumber :
kompas.com
semakin membingunkan info skrg, kr sebagian pendapat mengstaksn bhw herbal adalah salternatif obat ramah racun.....
BalasHapus