A. Pendahuluan
Pengkajian Pancasila dengan menggunakan pisau analisis filsafat ilmu adalah hal yang menarik karena di dalam nilai-nilai Pancasila secara genuine sudah terkandung juga filsafat ilmu. Filsafat ilmu pada dasarnya adalah suatu telaah kritis terhadap metode yang digunakan untuk mengkaji ilmu tertentu, baik itu secara empiris maupun rasional. Filsafat ilmu merupakan bagian filsafat yang mencoba berbuat bagi keilmuan yang dikerjakan filsafat terhadap seluruh pengalaman manusia. Filsafat melakukan dua hal : di satu sisi, membangun teori-teori tentang manusia dan alam semesta serta menyajikannya sebagai landasan-landasan bagi keyakinan dan tindakan; di sisi lain, filsafat memeriksa secara kritis segala hal yang dapat disajikan sebagai suatu landasan bagi keyakinan dan tindakan.
Archie J. Bahm dalam tulisannya yang berjudul What Is
Science menegaskan bahwa
persoalan-persoalan di dalam kehidupan masyarakat, jika masalah itu
dikatakan ilmiah, harus meliputi
komponen-komponen : sikap,
metode, tindakan, kesimpulan dan
implikasi. Sikap ilmiah diperlukan dalam menyelesaikan problem kehidupan
manusia. Sikap ilmiah ini sangat penting dalam memperoleh ilmu pengetahuan.
Bahm menjelaskan bahwa untuk memperoleh ilmu pengetahuan harus memiliki
beberapa syarat, yakni harus memiliki rasa ingin tahu, bersifat spekulatif dan
objektif, membuka cakrawala pengetahuan baru atau inovatif serta mampu
memberikan penilaian, dan bersifat tentatif.
Pengetahuan ilmiah itu dibangun dengan tujuan untuk
memecahkan problem-problem ilmiah. Menurut Bahm, ilmu itu sendiri adalah suatu
nama bagi usaha manusia untuk mampu memahami sifat dasar berbagai hal dengan
jalan merumuskan hipotesis-hipotesis atau teori-teori tentang sifat-sifat dasar
dan mengujinya secara pengamatan atau
percobaan untuk mengetahui apakah masih berlaku atau tidak. Oleh karena itu,
untuk dapat memecahkan masalah ilmiah diperlukan sikap-sikap
yang ilmiah juga.
Bahm juga memberikan hipotesis bahwa sesungguhnya masalah
ilmiah dapat diterima oleh para ilmuwan dan masyarakat jika dapat
dikomunikasikan, dapat dipecahkan secara ilmiah, dan bahkan dapat
dipecahkan dengan menggunakan
metode secara ilmiah juga. Dengan
demikian, setiap persoalan–persoalan yang muncul di dalam kehidupan manusia itu
harus dapat diteliti dan dikaji secara ilmiah. Di sini, filsafat ilmu berperan dan berfungsi untuk
mengkaji permasalahan secara ilmiah.
Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, sudah seharusnya filsafat ilmu dengan dasar-dasar dan metode ilmiahnya mampu menyelesaikan persoalan kebangsaan yang sekarang dihadapi oleh bangsa Indonesia. Salah satunya adalah lunturnya pemahaman dan penerapan nilai-nilai Pancasila sebagai pandangan hidup di dalam masyarakat. Lunturnya pemahaman dan penerapan nilai-nilai Pancasila sebagai dasar ideologi negara Indonesia menyebabkan bangsa Indonesia banyak ditimpa masalah-masalah besar, seperti praktek korupsi yang menggurita, dan bencana alam yang berkelanjutan, serta bencana kemanusiaan lainnya.
Koento Wibisono menyatakan bahwa sejak reformasi 1998, akibat praktek politik yang dilakukan oleh rezim Orde Baru menyebabkan banyak orang menjadi pesimis, alergi, dan apatis dengan Pancasila. Bangsa Indonesia ini kadang juga menyalahkan Pancasila, di mana semua kesalahan mengenai persoalan kebangsaan itu dijatuhkan pada ideologi Pancasila. Padahal, jika dipikirkan kembali persoalannya bukan pada Pancasila, akan tetapi bagaimana masyarakat Indonesia mampu menerapkan nilai-nilai Pancasila di dalam kehidupan.
Pancasila yang
memiliki sumber pengetahuan dan
nilai- nilai luhur sudah seharusnya dapat diimplementasikan oleh setiap
masyarakat Indonesia. Akan tetapi, persoalan secara filosofis adalah mengapa
Pancasila itu sulit diterapkan di dalam diri bangsa Indonesia? Pancasila hanya menjadi sebuah simbol dan
tidak memiliki arti serta sumbangsih dalam menyelesaikan persoalan negara,
persoalan yang seharusnya diselesaikan secara bersama.
Berdasarkan asumsi itu, persoalan mengenai lunturnya pemahaman bangsa Indonesia mengenai Pancasila sebagai pandangan hidup (way of life) menjadi tugas dari disiplin filsafat ilmu untuk mengkaji secara ilmiah dengan mengedepankan sikap akademis dan intelektual yang tinggi, sehingga dapat diperoleh pemecahan masalah secara komprehensif. Filsafat ilmu sebagai dasar ilmu pengetahuan harus mampu mengembangkan Pancasila sebagai dasar-dasar ilmu pengetahuan yang sesungguhnya mempunyai nilai-nilai luhur untuk mengatasi persoalan kehidupan manusia dengan menggunakan aspek ontologi, epistemologi dan aksiologi.
B.Sejarah Filsafat Ilmu
Filsafat ilmu berasal dari zaman Yunani Kuno, di mana filsafat ilmu lahir karena munculnya sebuah pengetahuan dari Barat. Akan tetapi, pada perkembangannya ternyata ilmu pengetahuan di abad ke-17 mengalami perpecahan, di mana ilmu dan filsafat berdiri sendiri.
Dengan demikian, dapat dikemukakan bahwa sebelum abad ke-17 ilmu identik dengan filsafat. Pendapat tersebut sejalan dengan pemikiran Van Peursen (1985) yang mengemukakan bahwa dahulu ilmu merupakan bagian dari filsafat, sehingga definisi tentang ilmu bergantung pada sistem filsafat yang dianut. Koento Wibisono menyatakan bahwa filsafat itu sendiri telah mengantarkan adanya suatu konfigurasi dengan menunjukkan bagaimana “pohon ilmu pengetahuan” telah tumbuh mekar-bercabang secara subur.
Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dapat
dipahami bahwa para filsuf Yunani Kuno
ternyata telah merintis tentang pengertian apa itu filsafat ilmu dan bagaimana
ilmu pengetahuan itu harus diletakkan? Ilmu pengetahuan menampakkan diri sebagai
masyarakat, sebagai proses
dan sebagai produk,
di mana kaidah-kaidah ilmu pengetahuan itu dikatakan oleh Robert Merton
adalah universalisme, komunalisme, disinterestedness dan skeptisisme yang
terarah.
Sementara itu, perkembangan ilmu pengetahuan semakin lama
semakin maju dengan munculnya ilmu-ilmu baru yang pada akhirnya memunculkan
pula sub-sub ilmu pengetahuan baru bahkan ke
arah ilmu pengetahuan
yang lebih khusus
lagi seperti
spesialisasi-spesialisasi. Oleh karena itu, tepatlah apa yang dikemukakan oleh
Van Peursen (1985), bahwa ilmu pengetahuan dapat dilihat sebagai suatu sistem
yang jalin-menjalin dan taat asas (konsisten)
dari ungkapan-ungkapan yang
sifat benar-tidaknya dapat
ditentukan.
Ilmu pengetahuan adalah rangkaian aktivitas manusia yang
rasional dan kognitif
yang terdiri dari
berbagai metode berupa aneka prosedur dan tata langkah
sehingga menghasilkan kumpulan pengetahuan yang sistematis mengenai
gejala-gejala kealaman, kemasyarakatan atau perorangan untuk tujuan mencapai
kebenaran, memperoleh pemahaman, memberikan penjelasan, ataupun melakukan
penerapan.
Francis Bacon (1561-1626) mengembangkan semboyan Knowledge
is Power yang mensinyalir bahwa peranan ilmu pengetahuan terhadap kehidupan
manusia, baik individual maupun sosial
menjadi sangat menentukan.
Karena itu, implikasi
yang timbul adalah bahwa ilmu
yang satu sangat erat hubungannya dengan ilmu yang lain, serta semakin kaburnya
garis batas antara ilmu dasar-murni atau teoritis dengan ilmu terapan atau
praktis.
Untuk mengatasi gap antara ilmu yang satu dengan ilmu yang lain dibutuhkan satu bidang ilmu yang dapat menjembatani serta mewadahi perbedaan yang muncul. Filsafat mampu mengatasi hal tersebut. Ini senada dengan pendapat Immanuel Kant yang menyatakan bahwa filsafat merupakan disiplin ilmu yang mampu menunjukkan batas-batas dan ruang lingkup pengetahuan manusia secara tepat. Oleh sebab itu Francis Bacon menyebut filsafat sebagai ibu agung dari ilmu-ilmu (the great mother of the sciences).
Pengetahuan ilmiah atau ilmu merupakan a higher level of knowledge maka lahirlah filsafat ilmu sebagai penerus pengembangan filsafat pengetahuan. Filsafat ilmu sebagai cabang filsafat menempatkan objek sasarannya ilmu (pengetahuan), ilmu tentang ilmu. Berkenaan dengan filsafat dalam konteks kearifan hidup personal maupun kolektivitas tertentu, filsafat ilmu (Philosophy of Science) adalah sebuah refleksi kritis secara mendasar atas perkembangan ilmu, khususnya terhadap tendensi filsafat ilmu, yaitu filsafat sebagai “pandangan hidup” atau weltanschauung. Hal ini berkaitan dengan upaya sekelompok manusia untuk merespon dan menjawab permasalahan pokok kehidupan manusia. Selain itu, filsafat sebagai pandangan hidup hampir sama juga dengan Pancasila yang merupakan way of life. Karena itu, Pancasila dan filsafat juga memiliki ilmu pengetahuan (knowledge). Hubungan-hubungan keilmuan nampak terlihat di dalam nilai-nilai Pancasila yang terdiri dari lima sila.
C. Filsafat Ilmu dan Relevansinya dengan Nilai-Nilai
Pancasila
Filsafat ilmu adalah segenap pemikiran reflektif terhadap persoalan-persoalan mengenai segala hal yang menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala segi dari kehidupan umat manusia. Filsafat ilmu merupakan satu bidang pengetahuan campuran yang eksistensi dan pemekarannya bergantung pada hubungan timbal-balik dan saling-pengaruh antara filsafat dan ilmu.
Robert Ackermann mendefinisikan filsafat ilmu adalah sebuah
tinjauan kritis tentang pendapat-pendapat ilmiah dewasa ini dengan perbandingan
terhadap pendapat-pendapat lampau
yang telah dibuktikan atau dalam kerangka ukuran-ukuran yang
dikembangkan dari pendapat-pendapat demikian itu. Filsafat ilmu demikian jelas
bukan suatu cabang ilmu yang bebas dari praktek ilmiah senyatanya.
Rudolf Carnap memakai istilah science of science dan memberikan definisi the analysis and description of science from various points of view, including logic, methodology, sociology and history of science. (Analisis dan deskripsi tentang ilmu dari berbagai sudut tinjauan, termasuk logika, metodologi, sosiologi dan sejarah ilmu). Filsafat ilmu sebagai sumber pengetahuan ternyata memiliki keterkaitan dengan Pancasila. Pancasila sebagai pandangan hidup (way of life) ternyata juga menyimpan banyak pengetahuan-pengetahuan yang sudah selayaknya dikembangkan oleh disiplin filsafat ilmu yang secara ilmiah mempunyai nilai-nilai muatan positif dalam membentuk watak dan karakter bangsa Indonesia.
Di sisi lain, ketika berbicara tentang filsafat, ada dua hal
yang patut diperhatikan
: pertama, filsafat
sebagai metode dan kedua,
filsafat sebagai suatu
pandangan. Oleh karena itu, di sini filsafat sebagai
sebuah ilmu pengetahuan akan dijadikan sebagai pandangan hidup. Terkait dengan
Pancasila, Pancasila sebagai sebuah pandangan hidup sudah tentu memiliki
nilai-nilai filsafat yang terkandung di dalamnya, dan bahkan Pancasila telah
memiliki ilmu pengetahuan.
Secara filsafati, Pancasila merupakan sistem nilai-nilai
ideologis yang berderajat. Artinya di dalamnya terkandung nilai luhur, nilai
dasar, nilai instrumental, nilai praksis, dan nilai teknis. Agar ia dapat
menjadi ideologi bangsa dan negara Indonesia yang lestari tetapi
juga dinamis berkembang,
nilai luhur dan
nilai dasarnya harus dapat bersifat tetap, sementara nilai
instrumentalnya harus semakin dapat direformasi dengan perkembangan tuntutan
zaman.
Di samping itu, Pancasila mampu dijadikan pangkal sudut pandang dalam mengembangkan ilmu pengetahuan (science of knowledge) yang dalam karya-karya berikutnya ditunjukkan segi- segi ontologik, epistemologi, dan aksiologinya sebagai raison d’etre bagi Pancasila sebagai suatu faham atau aliran filsafati.
Pancasila sejak semula dijadikan weltanschauung atau
pandangan hidup bangsa Indonesia, sekaligus prinsip-prinsip dasar negara.
Dengan demikian, isi pemikiran Pancasila sangat berhubungan dengan nilai-nilai
yang mendasari urusan kemasyarakatan. Ketika Pancasila dinyatakan sebagai
pandangan hidup, berarti Pancasila itu sendiri memiliki ilmu pengetahuan yang
sesungguhnya sangat bermanfaat bagi bangsa Indonesia sebagai petunjuk
(guidance) di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pancasila yang dipelajari secara ilmiah adalah satu objek pembahasan di mana secara umum Pancasila merupakan hasil budaya bangsa Indonesia. Filsafat ilmu juga tidak dapat dilepaskan dengan Pancasila sebagai sebuah ilmu (science). Anton Bakker dalam analisisnya menyatakan secara tegas bahwa Pancasila dapat berperan selaku framework di mana sekian ilmu serentak bekerja secara interdispliner. Di sini kapasitas Pancasila dapat dieksplorasi ke dalam ranah filsafat ilmu (Philosophy of Science) berkaitan dengan aras ontologis, epistemologis dan aksiologis.
Pancasila merupakan sebuah pandangan dunia atau world
view yang juga
dapat ditanamkan nilai-nilai
filsafat. Pancasila adalah
filsafat bangsa yang sesungguhnya berhimpit dengan jiwa bangsa. Di sini yang
muncul adalah kapasitas pengetahuan bangsa, misalnya yang berkaitan dengan
hakikat kenyataan dan kebenaran. Hakikat kenyataan dan kebenaran serta
nilai-nilai filsafat tersebut sebenarnya adalah bagian dari aspek ontologi,
epistemologi dan aksiologi yang harus dieksplorasi oleh filsafat ilmu dalam
upaya mengembangkan Pancasila.
Sebagai
pandangan dunia atau
filsafat, Pancasila merupakan acuan
intelektual kognitif bagi
cara berpikir bangsa, yang
dalam usaha keilmuan
dapat terbangun ke
dalam sistem filsafat yang
kredibel. Bahan materialnya adalah berbagai butir dan ajaran kebijaksanaan
dalam budaya etnik maupun agama.
Penguasaan ilmu pengetahuan di Indonesia harus berpedoman pada keilmuan Pancasila. Pancasila berfungsi sebagai sudut pandang. Hal ini adalah konsekuensi logis dari pendirian teleologis dalam ilmu. Ilmu pengetahuan tidak bebas nilai: ilmu pengetahuan “masuk” ke dalam matriks Pancasila yang berbasis Ketuhanan Yang Maha Esa dan berpuncak pada Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
D. Pengembangan Nilai- Nilai Pancasila
Pancasila mempunyai pengertian secara umum sebagai pandangan dunia (way of life), pandangan hidup (weltanschauung), pegangan hidup (weldbeschauung), petunjuk hidup (wereld en levens beschouwing). Dalam hal ini, Pancasila diperuntukkan sebagai petunjuk hidup yang harus diamalkan dalam kehidupan sehari-hari (Kaelan, 1993:67). Dengan kata lain, Pancasila diperuntukkan sebagai petunjuk arah semua kegiatan dan aktivitas hidup dan kehidupan di segala bidang : politik, pendidikan, agama, budaya, sosial dan ekonomi. Ini berarti semua tingkah laku dan tindak tanduk perbuatan manusia Indonesia harus dijiwai dan merupakan pancaran dari semua sila Pancasila.
Secara etimologis, menurut tingkatnya, kata “Pancasila” berasal dari bahasa Sansekerta, India (bahasa kasta Brahmana). Menurut Prof. Muhammad Yamin, dalam bahasa Sansekerta perkataan ”Pancasila” ada dua macam arti, yaitu: Panca artinya
‘lima’, sedangkan, syiila berkaitan dengan peraturan tingkah
laku yang penting/ baik.
Dengan demikian, Pancasila
itu memiliki prinsip-prinsip
moral dan etika.
Adapun isi dari
Pancasila adalah sebagai
berikut: Ketuhanan Yang Maha Esa, sila pertama ini meliputi dan menjiwai
sila-sila kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan,
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Di dalam sila pertama ini kita
harus percaya dan taqwa kepada
Tuhan Yang Maha
Esa, saling menghormati
dan bekerjasama antara pemeluk agama, saling menghormati kebebasan dalam
menjalankan ibadah sesuai agama dan kepercayaan masing- masing, tidak
memaksakan satu agama dan kepercayaan kepada orang lain.
Kemanusiaan Yang Adil
dan Beradab, sila kedua,
pada dasarnya diliputi dan dijiwai oleh Sila Ketuhanan Yang Maha Esa,
yang juga menjiwai sila-sila persatuan
Indonesia, kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawatan, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Di dalam
sila kedua, kita harus mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan
kewajiban, saling mencintai
sesama manusia, mengembangkan sikap tenggang rasa, tidak
semena-mena terhadap orang lain,
menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.
Persatuan Indonesia, sila ketiga ini diliputi dan dijiwai
oleh Sila Ketuhanan Yang Maha Esa serta kemanusiaan yang adil dan beradab,
meliputidan menjiwai sila-sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Di dalam
sila ketiga ini kita harus menempatkan persatuan, kesatuan, kepentingan dan
keselamatan bangsa dan negara Indonesia di atas kepentingan pribadi atau
golongan, rela berkorban
untuk kepentingan bangsa
dan negara, cinta tanah air dan
bangsa, memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa yang ber-Bhineka
Tunggal Ika.
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, adalah diliputi dan dijiwai oleh sila-sila Ke-Tuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Persatuan Indonesia, meliputi dan menjiwai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Di dalam sila keempat, berarti mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat, mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama, musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi oleh semangat kekeluargaan, dengan itikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil keputusan.
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, sila ini
diliputi dan dijiwai oleh sila-sila Ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Kemanusiaan yang
adil dan beradab,
persatuan Indonesia, kerakyatan
oleh hikmat kebijaksanaan dalam permuswaratan/ perwakilan. Di dalam sila kelima
berarti perbuatan-perbuatan yang luhur yang mencerminkan sikap dan suasana
kekeluargaan dan kegotong royongan, bersikap adil, menghormati hak-hak orang
lain, suka memberi pertolongan kepada orang lain, tidak melakukan perbuatan
yang merugikan kepentingan umum, bersama-sama berusaha mewujudkan
kemajuan yang merata
dan berkeadilan sosial.
Pancasila disebut juga weltanschauung atau pandangan hidup.
Hal itu menunjukkan bahwa Pancasila merupakan gagasan vital bangsa,
sistem nilai dasar
yang derivasinya terbangun
ke dalam sistem moral dan sistem hukum negara bangsa, negara kesatuan RI
modern. Sebagai pandangan hidup, Pancasila mengandung sistem normatif
preskreptif bagi kehidupan manusia.
Pancasila mengandung prinsip-prinsip mulia. Kehendak untuk
menegakkan negara Indonesia pastilah didasari oleh niat dan pedoman yang
baik. Gagasan-gagasan yang
terkandung di dalamnya merangkum
kebijaksanaan bangsa Indonesia atas konteks budaya dan agama yang berabad
lamanya disimpan sebagai norma etis. Unsur-unsur kebaikan tercantum dan menjadi
pedoman masyarakat Indonesia.
Koento Wibisono menyatakan bahwa untuk mengembangkan Pancasila, pertama harus ada unsur keyakinan. Setiap ideologi selalu memuat konsep-konsep dasar yang menggambarkan seperangkat keyakinan yang diorientasikan kepada tingkah laku para pendukungnya untuk mencapai suatu tujuan yang dicita-citakan. Yang kedua adalah unsur mitos. Setiap ideologi selalu memitoskan ajaran dari seseorang atau “badan” sebagai kesatuan, yang secara fundamental mengajarkan cara bagaimana hal yang ideal itu pasti dapat dicapai. Yang ketiga adalah loyalitas. Setiap ideologi selalu menuntut adanya loyalitas serta keterlibatann optimal para pendukungnya untuk mendapatkan derajat penerimaan optimal. Selain itu, dalam ideologi terkandung juga adanya tiga sub unsur, yaitu rasional, penghayatan dan susila.
Notonagoro dalam usahanya memberikan dasar yang sahih bagi
tafsir Pancasila secara ilmiah menyajikan sejumlah alasan yang dianggapnya
penting. Pertama, dia mengutip apa yang dikatakan oleh Menteri Roeslan
Abdulgani pada seminar manipol di Bandung tanggal 28 Januari 1961 bahwa
presiden Soekarno menghendaki penarikan ke atas dan penarikan ke bawah ajaran
Pancasila. Yang dimaksud dengan penarikan ke atas adalah perumusan teori
Pancasila, khususnya ke dalam filsafat ilmu yang mengkaji Pancasila. Sedangkan,
yang dimaksud dengan penarikan ke bawah adalah tingkat penjabaran dan
pelaksanaannya yang boleh disebut sebagai sikap hidup atau way of life.
Sementara itu, Notonagoro juga mengatakan bahwa Pancasila
bermanfaat secara epistemologis bagi cara pandang hidup berbangsa dan
bernegara. Karena itu, untuk meneruskan manfaat Pancasila sebagai
pendirian dan pandangan
hidup dalam menentukan sikap dalam
kerangka penyelidikan dan penyampaian pandangan
dalam ilmu pengetahuan
dapat dikemukakan tiga hal penting dan fundamental sebagai
pertimbangan, yaitu : kecakapan cipta untuk mencapai kenyataan, sebab-akibat
dan hubungan antara ilmu pengetahuan, serta keadaban etika.
Pengetahuan mengenai Pancasila sebagai dasar filsafat dan
asas kerohanian (ideologi) negara Republik Indonesia, sebagaimana halnya
pengetahuan yang lain, adalah bertingkat-tingkat. Pengetahuan dapat dibedakan
menjadi dua macam. Pertama, pengetahuan
biasa, pengetahuan yang
dicapai dengan akal
sehat oleh orang pada umumnya atau disebut common sense. Kedua,
pengetahuan ilmiah, pengetahuan yang diperoleh dengan cara ilmu pengetahuan
atau analisis.
Filsafat ilmu sebagai dasar sebuah ilmu pengetahuan
(science of knowledge)
dapat mengembangkan Pancasila
dengan tiga cara, yakni
ontologi, epistemologi dan
aksiologi. Pertama, secara
ontologi, Pancasila pada hakekatnya adalah sebuah sistem nilai atau prinsip
yang mendasari bentuk negara Indonesia. Sebagai nilai atau prinsip dasar, di
dalamnya terkandung makna-makna kebijaksanaan reflektif yang menyiratkan
idealisasi pada hal yang dianggap baik, benar, indah dan bermanfaat bagi
manusia.
Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, pada dasarnya menegaskan secara ontologi, bahwa manusia hidup di dunia harus selalu bertaqwa dan beriman kepada Tuhan. Sila pertama memiliki makna secara ontologi sebagai sebuah ilmu pengetahuan yang seharusnya dapat dipahami oleh masyarakat dan bangsa Indonesia agar di dalam kehidupan tidak melakukan perbuatan yang tercela dan merugikan orang lain.
Kedua, secara epistemologis, Pancasila pada mulanya adalah
harmonisasi dari paham Barat modern sekuler, paham kebangsaan, Islam dan
pelbagai jenis pengetahuan lainnya yang melalui proses perdebatan panjang
hingga mencapai titik temu. Kebenaran yang dikandung Pancasila adalah kebenaran
konsensus. Watak konsensus berkonsekuensi pada fleksibilitas peninjauan atas
konsensus, meskipun jika berubah dalam bentuk yuridis akan memiliki kekuatan
mengikat. Pancasila yang
mengandung kebenaran
konsensus adalah sistem
terbuka yang dapat
ditafsir dalam pelbagai arti, dinilai kelemahan dan kelebihannya dan
dikontekstualisasikan dengan semangat perubahan.
Pengetahuan yang bersifat kefilsafatan mengenai Pancasila
memiliki kesesuaian dengan proses
tercapainya kesiapan pribadi. Dengan adanya pengetahuan yang bersifat kefilsafatan mengenai
hakikat Pancasila, itu
berarti adanya dasar
yang kuat dan
kekal untuk terbentuknya way of life negara, bangsa dan warga negara.
Nilai-nilai Pancasila yang terdiri dari lima sila itu
memiliki banyak sumber pengetahuan yang sudah seharusnya mampu
diimplementasikan dalam kehidupan manusia, dan dijadikan petunjuk dalam
berperilaku. Pengetahuan yang terkandung di dalam Pancasila sesungguhnya sudah
cukup untuk mengatasi
persoalan kebangsaan dan membawa kemajuan jika ia diterapkan secara
genuine di dalam
menjalankan semua aktivitas,
tugas negara maupun tugas
akademik.
Ketiga, secara aksiologi,
Pancasila sebagai pandangan hidup mempunyai nilai-nilai luhur
yang terkandung di dalam sila- silanya, yakni nilai ketuhanan, kemanusiaan,
persatuan dan kerakyatan serta
keadilan sosial. Nilai-nilai
luhur tersebut sudah seharusnya
mampu diserap oleh masyarakat Indonesia.
Berpijak dari ketiga aspek dalam filsafat ilmu tersebut,
sistem filsafat di dalam nilai-nilai Pancasila mengandung ajaran tentang
potensi dan martabat manusia yang merupakan anugerah dari Tuhan. Karena itu,
ketika seseorang mampu menghayati dan menjiwai nilai-nilai budi pekerti dari
Pancasila, besar kemungkinan masyarakat Indonesia akan lebih baik dalam
berperilaku sehingga apa yang dicita-citakannya akan tercapai serta menjadikan
jati diri bangsa Indonesia lebih bermartabat.
Tepat kiranya jika Notonagoro mengembangkan Pancasila seringkali menggunakan “pisau filsafat ilmu”. Ia menghampiri Pancasila dari jendela filsafat, meminjam pelbagai perspektif di dalam teori-teori filsafat dalam rangka membedah hakikat Pancasila. Satu-satunya jalan untuk meluruskan, atau untuk memberi porsi pantas bagi batas-batas pengertian, debat ilmiah- filosofis diyakini dapat menghantarkan masyarakat Indonesia dan dinamika kenegaraan pada nilai hakiki Pancasila. Filsafat sebagai ilmu yang berkerangka komprehensif, radikal, koherensi diyakini dapat menggali unsur-unsur paling inti dari Pancasila .
Dengan menguak secara filosofis nilai-nilai Pancasila
diharapkan memunculkan suatu pengetahuan
baru dan pengembangan baru terhadap nilai-nilai luhur Pancasila. Dengan
didasari oleh nilai-nilai
luhur Pancasila diharapkan
dapat menggugah manusia-manusia Indonesia untuk kembali setia dan
konsisten meresapi dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila. Karena itu, sudah menjadi tanggung jawab
sebagai seorang ilmuwan untuk mampu membantu dan menerapkan ajaran nilai-nilai
dalam Pancasila. Pancasila bagian dari falsafah bangsa Indonesia yang sudah
semestinya memiliki nilai-nilai etis dan luhur untuk selalu diimplementasikan
di dalam perguruan tinggi sehingga ajaran dan nilai-nilai Pancasila
tidak menjadi sebuah
simbol saja serta dijadikan sebagai alat kepentingan
politik.
Karena itu, untuk menyelesaikan problem Pancasila agar
tidak dijadikan alat
kepentingan politik, dan
tidak menyebabkan manusia-manusia Indonesia menjadi apatis, masyarakat
Indonesia harus dapat menempatkan
ideologi Pancasila sebagai sebuah sistem ilmu pengetahuan sehingga upaya untuk
mengikis anggapan negatif atas ideologi Pancasila menjadi lebih memungkinkan.
Namun demikian, masyarakat Indonesia
itu juga harus
mampu menempatkan daya kritis dari cipta karsa pikir manusia terhadap
nilai-nilai Pancasila.
Apabila Pancasila tidak didukung oleh manusia-manusia yang
sadar dan terdidik serta ilmuwan-ilmuwan yang handal, dan para mahasiswa yang
duduk di Perguruan Tinggi, maka nilai-nilai Pancasila akan menjadi
pudar, disfungsional dan
mungkin terjerumus dalam kemandekan dan kebekuan dogmatik, kemiskinan
konseptual sebagai akibat langkanya gagasan-gagasan segar secara filsafati.
Dengan begitu, sudah semestinya kita perlu merefleksikan kembali ajaran Ernest Renan dalam uraiannya Qu’est ce qu’une Nation? (1882). Ia menegaskan bahwa hakikat bangsa itu adalah “asas kerohaniaan/asas kejiwaan yang lahir dari suatu solidaritas besar dan dikuatkan oleh keinginan untuk tetap hidup bersama (l desir de vivere ensemble). Ditambahkannya bahwa hakikat suatu bangsa tidak cukup kuat apabila hanya didasarkan pada kesamaan ras, agama, ataupun bahasa .
Filsafat, adalah sebuah ilmu pengetahuan sudah seharusnya
mampu mengembangkan nilai-nilai
Pancasila, dengan jalan dijadikan bahan dan kurikulum dalam
pendidikan di Indonesia. Dengan begitu, masyarakat harus memahami bahwa
Pancasila yang memiliki nilai-nilai luhur itu adalah sifat-sifat dan karakter
yang sesuai dengan bangsa Indonesia. Karena itu, perguruan tinggi harus mampu
mengembangkan dan menanamkan sejak dini di dalam pikiran masyarakat Indonesia.
Filsafat ternyata ilmu
yang sangat mendasar bagi setiap pengembangan ilmu. Oleh karena itu
sudah seharusnya jika ia dijadikan dasar bagi pengembangan ilmu pengetahuan.
Sebab dalam filsafat itulah kita dapat mengetahui bagaimana hakikat ilmu
pengetahuan. Karena itu, Pancasila sebagai ilmu pengetahuan sudah
seharusnya juga dikembangkan
di dalam struktur
masyarakat, bahkan mulai dari tingkat RT, RW, Kelurahan, Kecamatan,
Kabupaten, Provinsi dan bahkan di tingkat pejabat negara. Sehingga dengan
memberikan penanaman kembali esensi dan ontologi Pancasila, epistemologi
Pancasila, aksiologi Pancasila, dapat dijadikan pedoman hidup bagi bangsa
Indonesia dan umat manusia.
Di sisi lain, dalam konteks keilmuan di dalam akademik,
pemahaman dan pengembangan terhadap
Pancasila sesungguhnya sangat relevan dengan filsafat ilmu yang
menekankan pada pengetahuan ilmiah, penghayatan dan pengamalan nilai-nilai
Pancasila. Hal ini dapat dilakukan oleh seorang ilmuwan dan akademisi dan
bahkan itu menjadi tanggung jawab mereka untuk melakukan pengembangan Pancasila
melalui jalur akademik. Langkah-langkahnya dapat berupa pengajaran dalam
lembaga pendidikan formal, seminar, penelitian atau juga penyusunan karya
ilmiah.
Oleh karena itu, pengembangan Pancasila secara terus- menerus melalui jalur keilmuan itu akan berdampak signifikan. Pancasila dapat memberikan sumbangsih dalam tingkat perguruan tinggi. Penerapan secara terus-menerus filsafat ilmu ke dalam pengembangan Pancasila merupakan kekaryaan yang penting, sebagaimana juga pernah diisyaratkan oleh Bung Karno bahwa Pancasila harus ditarik ke atas, pada tingkat ilmiah. Tugas ini harus dilakukan di tingkat perguruan tinggi. Tetapi, juga dapat dilakukan oleh komunal dan media didik yang perlu diangkat ke dalam diskusi publik.
E. Problem Kebangsaan dan
Pengamalan Nilai-Nilai Pancasila
Proses kebangsaan Indonesia sampai hari ini terus berlangsung dengan pelbagai dinamika dan permasalahannnya. Beberapa tahun terakhir persoalan persatuan kebangsaan terasa mengalami tantangan yang tidak ringan, yang tampak pada munculnya peristiwa-peristiwa kerusuhan yang tak sedikit. Perbedaan aliran keagamaan dapat menyulut perpecahan yang pada akhirnya rasa persatuan semakin hilang.
Permasalahan aktual yang lain ialah merebaknya praktek
korupsi yang dilakukan oleh pejabat negara dan pejabat daerah membuat peradaban
bangsa Indonesia semakin hancur. Ketika korupsi menjadi budaya bangsa
Indonesia, maka negara Indonesia akan mengalami kesulitan untuk maju dan
bersaing dengan negara lain. Menguatnya praktek korupsi di Indonesia disebabkan
oleh para pejabat negara yang
tidak mampu mengamalkan
nilai-nilai Pancasila.
Bahkan mereka apatis,
dan tidak peduli
dengan Pancasila. Pancasila dijadikan sebagai sebuah identitas saja,
tetapi tidak pernah diimplementasikan ke
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Untuk mengatasi persoalan kebangsaan dalam upaya
pengembangan Pancasila diperlukan
beberapa faktor. Pertama, harus ada proses penyadaran terhadap
nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila yang memiliki banyak makna bagi
kehidupan umat manusia. Penyadaran dapat
dilakukan selain kepada
masyarakat juga kepada pejabat negara dengan memberi pengetahuan bahwa Pancasila sebagai
pandangan hidup harus
selalu diikutsertakan dalam
setiap pengambilan kebijakan pemerintah sehingga perilaku menyimpang dan
korupsi dapat direduksi.
Pengetahuan sebagai kesadaran (consciousness) dan kerjasama cipta-rasa-karsa menimbulkan disiplin kehendak kejiwaan (sesuai dengan bawaan karsa-kejiwaan untuk berbuat baik) atau wajib melaksanakan pengetahuan yang kebenarannya/ kenyataannya telah dipastikan oleh cipta-rasa dan telah sesuai dengan rasa keindahan kejiwaan. Pengetahuan tentang Pancasila sebagai kesadaran ideologis menimbulkan wajib ideologis. Pengetahuan tentang Pancasila sebagai kesadaran dapat menimbulkan kelanjutan transformasi di dalam kepribadian dan jiwa manusia.
Kedua,
memperbaiki mental pejabat
negara agar tidak selalu melakukan korupsi yaitu dengan
selalu menanamkan nilai- nilai Pancasila. Dengan memberikan pengetahuan
mengenai nilai- nilai Pancasila akan menambah pengalaman dan peresapan
pengetahuan seseorang tentang Pancasila ke dalam mentalitasnya, dan
hati-budi-nuraninya.
Ketiga, menanamkan
nilai-nilai Pancasila ke dalam hati
nurani. Jika hati nurani tidak memiliki kepedulian dan empati terhadap
nilai-nilai luhur dari ontologi Pancasila maka sulit untuk mengimplementasikan
makna Pancasila di dalam kehidupan masyarakat. Karena itu, yang perlu dibenahi
adalah nurani manusia sehingga penyadaran nilai-nilai Pancasila tidak hanya
dilakukan melalui rasio dan pikiran manusia saja, melainkan juga menyentuh hati
nurani manusia.
Pancasila adalah inheren pada eksistensi manusia sebagai
manusia yang terlepas dari keadaan kongkretnya. Untuk menunjukkan “akses”
ke arah Pancasila,
Driyarkara memulai dengan eksistensi
manusia yang cara
mengadanya ialah ada bersama dalam “Aku-Engkau”, dan bukan
antara “Aku-Engkau” . Karena itu, jika nilai-nilai Pancasila
itu sudah inheren di dalam diri manusia, kemungkinan persoalan-persoalan
kebangsaan itu dapat diselesaikan.
Pengetahuan
tentang Pancasila dimulai
saat seseorang mulai mengerti
keberadaan cipta, rasa dan karsa yang dimilikinya. Saat ketiga unsur tersebut
mulai bekerja sama dalam kesatuan yang bulat dan menyeluruh meliputi
perinciannya dalam memandang, menilai dan menyelesaikan masalah yang
dihadapinya, saat itulah Pancasila (sebagai pengetahuan) mulai terbentuk dalam
dirinya. Pengetahuan tentang Pancasila tidaklah cukup berkedudukan
di luar, akan
tetapi harus dapat
menyatu dengan pribadinya, terjelma sebagai sifat, sebagai suasana yang
meliputinya dengan mutlak, sampai-sampai dialami sebagai mentalitas, sebagai
watak insan kamil di dalam seluruh jiwa dan pikiran manusia.
Notonagoro menyatakan
bahwa dalam keseharian
pengetahuan yang dimiliki
seorang manusia tidak menjamin
keberadaannya sebagai pelaksana
aktif atas pengetahuan tentang
nilai-nilai Pancasila yang
dimilikinya.
Oleh karena itu, dibutuhkan rasa atau kemauan untuk mengaplikasikan pengetahuan nilai-nilai Pancasila. Sebab hanya dengan kemauan, kemampuan tersebut dapat berguna bagi masyarakat dan bangsa Indonesia. Oleh karena itu, kebutuhan kebangsaan saat ini dan mendatang untuk menyelesaikan masalah- masalah bidang sosial, politik, ekonomi, dan budaya adalah dengan memberikan pemahaman secara komprehensif dan filosofis mengenai nilai-nilai Pancasila dalam pemenuhan eksplanasinya di kalangan elit politik, pejabat negara dan birokrat. Mereka perlu dididik mengenai nilai-nilai Pancasila agar mereka tidak melakukan praktek korupsi dan kecurangan lainnya di dalam sistem demokrasi Indonesia.
Pancasila adalah sistem ajaran bangsa Indonesia dalam
menjalani kehidupan bernegara
dan bermasyarakat. Bangsa Indonesia meyakini kebenaran
nilai-nilai yang terkandung dalam
Pancasila sebagai pedoman
berpikir dan bertindak.
Karena itu, setiap manusia
yang ingin melakukan
tindakan harus bercermin pada nilai-nilai Pancasila terlebih
dahulu. Pancasila sebagai norma fundamental berfungsi sebagai suatu cita-cita
atau ide yang harus diwujudkan menjadi suatu kenyataan. Wujud Pancasila secara
kongkret merupakan perwujudan Pancasila dalam setiap perbuatan, tingkah laku
dan sikap hidup sehari-hari.
Untuk merealisasikan pengamalan Pancasila dalam upaya
mengatasi persoalan kebangsaan di
Indonesia, maka pengamalan
Pancasila dapat dilakukan di jalur pendidikan. Pertama, dengan memberikan
pengetahuan, pengetahuan biasa, pengetahuan ilmiah dan pengetahuan filsafat
tentang Pancasila. Hal ini sangat penting terutama bagi para pemimpin, dan
ilmuwan. Kedua, dengan kesadaran, melalui sikap yang sadar dan mengetahui
pertumbuhan keadaan yang ada
dalam diri sendiri
akan membantu seseorang untuk mengamalkan nilai-nilai
Pancasila. Ketiga, dengan ketaatan, yaitu selalu dalam keadaan sedia untuk
memenuhi wajib lahir dan batin, lahir berasal dari luar misalnya dari
pemerintah, batin dari diri sendiri. Keempat, kemampuan yang cukup kuat,
pendorong untuk melakukan perbuatan yang sesuai dengan nilai-nilai luhur
Pancasila. Kelima, mawas diri, yakni dengan selalu menilai diri sendiri apakah
dirinya berbuat baik atau buruk dalam melaksanakan Pancasila.
Setiap warga negara Indonesia sudah seharusnya mendasarkan cipta, rasa, karsa dan karya atas nilai-nilai Pancasila. Pada hakikatnya, sebagaimana dikatakan Notonagoro, memiliki pengetahuan dan ilmu mengenai Pancasila pun belum cukup. Oleh karena itu, hal yang penting adalah mengetahui, kemudian meresapi, menghayati dan akhirnya mengamalkan Pancasila dalam setiap aspek kehidupan umat manusia. Pancasila sebagai kepribadian bangsa yang merupakan perwujudan dari jiwa bangsa dalam sikap mental dan tingkah laku adalah dasar filsafat hidup, ideologi, dan moral negara yang harus dikembangkan sesuai dengan kodrat manusia.
Wawasan dan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila
telah lama berakar serta hidup dalam hati nurani, sanubari, watak, kepribadian
dan pergaulan hidup bangsa Indonesia yang tercermin dalam adat-istiadat,
kebiasaan, perilaku serta lembaga-lembaga masyarakat. Kelima nilai dasar yang
tercakup dalam Pancasila merupakan inti hidup dalam kebudayaan bangsa,
sekaligus menjadi tuntutan dan tujuan hidupnya, serta menjadi ukuran dasar
seluruh perikehidupan bangsa Indonesia. Dengan kata lain, pada hakikatnya
adalah moral, moral bangsa Indonesia yang mengikat seluruh warga masyarakat,
baik sebagai perorangan maupun sebagai kesatuan bangsa.
Pancasila adalah etika dan moral bangsa Indonesia dalam arti
merupakan inti bersama dari pelbagai moral yang secara nyata terdapat di
Indonesia. Bangsa Indonesia mempunyai berbagai moral yang berasal dari
agama-agama, kepercayaan, dan adat istiadat. Masing-masing moral
itu mempunyai coraknya
sendiri, berbeda satu sama
lain dan hanya
berlaku bagi kelompok
yang bersangkutan. Namun demikian, dalam moral-moral itu terdapat unsur-unsur
bersama yang bersifat umum dan mengatasi segala paham golongan. Dengan
demikian, nampaklah bahwa moral Pancasila
mengatasi segala golongan
dan bersifat nasional. Pancasila adalah lima asas
moral yang relevan untuk ditetapkan menjadi dasar negara. Karena
itu, nilai-nilai Pancasila yang juga memiliki ilmu pengetahuan dari aspek
ontologi, epistemologi, dan aksiologi itu harus mampu dijadikan landasan dasar
dalam upaya mengembangkan Pancasila dan mengatasi persoalan bangsa Indonesia
saat ini.
F. Penutup
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kehadiran filsafat di Perguruan Tinggi, bahkan dalam kehidupan manusia, amatlah penting. Hal itu tampak nyata dengan diajarkannya filsafat ilmu di semua bidang disiplin pada jenjang S1, S2 dan S3. Filsafat ilmu juga dapat digunakan untuk menyelesaikan persoalan kebangsaan secara ilmiah yang bermuara pada melemahnya pemahaman masyarakat terhadap nilai-nilai Pancasila.
Melemahnya pemahaman dan penghayatan masyarakat dapat
diatasi dengan melakukan revitalisasi dan reaktualisasi nilai- nilai Pancasila.
Dalam kerangka ini, nilai-nilai Pancasila yang memiliki ilmu pengetahuan dan
hakekat pengetahuan dapat dikaji melalui
filsafat ilmu. Pertama,
secara ontologi, Pancasila
mempunyai ajaran dan nilai-nilai luhur, seperti mengembangkan sikap saling
menghormati dan menyayangi
sesama manusia, di mana Tuhan mempunyai peranan dalam
memberikan petunjuk pada umat manusia. Kedua, epistemologi, Pancasila mempunyai
sumber pengetahuan dan wawasan
kebangsaan yang sudah
seharusnya dapat
diimplementasikan dalam kehidupan
sehari-hari. Ketiga, secara
aksiologi, nilai-nilai Pancasila memiliki sumbangan berarti bagi kehidupan umat
manusia, nilai-nilai luhur untuk saling membantu dan memberikan rasa keadilan
sosial harus diejawantahkan dalam setiap aspek kehidupan manusia.
Oleh karena itu, pengembangan Pancasila dapat dilakukan dengan filsafat ilmu. Dalam konteks ini, seorang ilmuwan dan akademisi memiliki peran dan fungsi yang sangat signifikan sebagai mediator untuk memberikan pemahaman tentang nilai-nilai Pancasila. Melalui kebebasan mimbar dan kebebasan akademik yang dikembangkan secara bertanggung jawab, telaah filsafati mengenai pengembangan Pancasila itu sangat relevan dan urgen untuk “disuarakan” oleh dunia perguruan tinggi.