MUNGKIN kita perlu bersyukur karena hampir semua anak Indonesia telah memperoleh akses pendidikan dasar. Meski demikian, kita juga perlu mawas diri. Dalam rangka mawas diri inilah, saya tidak tahu kita harus menangis atau tertawa jika menengok aneka indikator yang tersedia untuk dikaji.
Salah satu komponen Indeks
Pembangunan Manusia (IPM), yaitu Rata-rata Lama Pendidikan, menunjukkan angka-
angka yang kurang membanggakan, terutama setelah merdeka lebih dari setengah abad.
Angka tertinggi dimiliki Jakarta (9,7 atau setara dengan lulus SLTP), terutama
Jakarta Selatan (10,0 atau setara dengan kelas I SMA), dan terendah adalah Nusa
Tenggara Barat (5,2 atau setara dengan kelas V SD) dan Kota Sampang, Jawa Timur
(2,5 atau tidak sampai kelas III SD). Apa sebabnya? Setelah lebih dari 60 tahun
pendidikan nasional pascapenjajahan, generasi dengan lama pendidikan 0-10 tahun
seharusnya sudah berganti dengan mereka yang memperoleh akses lebih baik. Mari
kita memeriksa dua indikator penting sebagai berikut:
Akses
terhadap pendidikan
Akses terhadap pendidikan memberikan
informasi kepada publik tentang berapa banyak anak kita yang dapat memanfaatkan
fasilitas pendidikan yang dibangun oleh pemerintah dan masyarakat. Indikator
yang digunakan adalah: Angka Partisipasi, Angka Mengulang, Angka Putus Sekolah,
Angka Kelulusan, Angka Melanjutkan, dan Angka Penyelesaian. Angka-angka ini
bersumber pada data Depdiknas 2002. Di tingkat sekolah dasar (SD/MI) hampir
semua indikator cukup memuaskan. Angka Partisipasi tahun 2002 cukup tinggi
(APM: 94,04; APK: 113,95; dan APS: 98,53), berarti hampir semua anak usia 7-13
tahun tertampung di sekolah. Angka Mengulang (5,4 persen) dan Angka Putus
Sekolah (2,7 persen) cukup rendah.
Persoalan timbul ketika kita
mengamati Angka Menyelesaikan (tepat waktu) dan Angka Melanjutkan. Meski
kebanyakan anak yang melanjutkan ke SD/MI akan lulus, tetapi hanya sekitar 71,8
persen yang berhasil menyelesaikan sekolah tepat waktu (enam tahun). Angka
Melanjutkan juga amat mengkhawatirkan, karena hanya separuh (51,2 persen) yang
akhirnya melanjutkan ke SMP/MTs.
Angka Partisipasi di SMP/MTs dan
tingkat selanjutnya amat dipengaruhi Angka Menyelesaikan dan Angka Melanjutkan
yang relatif rendah. Di tingkat SMP/MTs, Angka Partisipasi 2002 cukup tinggi
(APM: 59,18; APK: 77,44; APS: 77,78) dan Angka Mengulang (kurang dari 0,5
persen untuk semua kelas) dan Angka Putus Sekolah (3,5 persen) juga cukup
rendah. Sekali lagi yang mengganggu adalah Angka Menyelesaikan karena hanya
45,6 persen yang sanggup menyelesaikan sekolah tepat waktu.
Kualitas
pendidikan
Sebagai bangsa yang menyongsong
kemajuan Iptek yang amat pesat, kita masih harus berkutat dengan kualitas
pendidikan. Terlepas dari kesahihan standar kualitas dalam Ujian Nasional,
hasil yang diperoleh adalah baik di tingkat SD/MI maupun SMP/MTs menunjukkan
kurang dari 60 persen dari materi belajar yang dikuasai siswa. Ini amat
merisaukan. Jika standar kualitas itu digunakan untuk menilai kualitas sekolah
di tingkat SMP/ MTs, maka hanya 24,12 persen SMP/MTs yang masuk kategori
"sedang" ke atas. Di antara mereka hanya 0,03 persen yang tergolong
"baik sekali" dan 2,14 persen tergolong "baik".
Jika rasio guru : siswa (1 : 23) dan
siswa : kelas dijadikan salah satu tolok ukur kualitas, maka kesan yang
diperoleh adalah standar mutu telah dipenuhi. Meski demikian, pengamatan di
lapangan menunjukkan distribusi guru dan kelas memang tidak merata, terutama
antara kota dan desa. Selain itu, untuk semua provinsi masih ada
sekolah-sekolah SD/MI maupun SMP/ MTs yang harus melakukan jam masuk sekolah
ganda (double shift) karena kekurangan ruangan. Ketersediaan Laboratorium IPA,
Bahasa, dan IPS baru dinikmati 68 persen dari sekolah SMP/MTs yang ada meski
tanpa ada informasi tentang kelayakan fasilitas yang ada. Kualitas fisik yang
digunakan sebagai tolok ukur adalah kerusakan atau kelayakan ruang kelas. Data
menunjukkan, kurang dari separuh (42,82 persen) fasilitas ruang kelas SD/MI
berkategori "baik" dan pada tingkat SMP/MTs 85,78 persen dalam kategori
itu.
Kualitas guru sudah menjadi
perhatian nasional. Kriteria kualitas ditentukan dengan prasyarat pendidikan,
yaitu D2 untuk mengajar di SD/MI dan D3 untuk SMP/MTs. Berdasarkan kriteria
itu, hanya 49,9 persen guru SD/MI dan 66,33 persen guru SMP/MTs yang memenuhi
standar kualitas. Sayang, standar kompetensi bidang pelajaran fakultatif tidak
tersedia.
Akses terhadap buku pelajaran wajib
merupakan tolok ukur kualitas yang penting. Pada tingkat SD akses terhadap buku
adalah 75 persen untuk bidang studi Bahasa Indonesia, Matematika, dan IPA.
Angka akses terhadap buku menyembunyikan keragaman antarprovinsi. Dari data
yang tersedia masih ada kesenjangan dalam akses terhadap buku wajib yang
berkisar dari 38,8 persen sampai 99,3 persen (persentase penyediaan buku yang
paling rendah adalah buku IPA).
Mencari
solusi
Rata-rata akses terhadap buku
pelajaran wajib pada tingkat SLTP sebesar 70 persen dengan kesenjangan berkisar
dari 37,6 persen sampai 99,5 persen. Dari data yang ada, penyediaan buku-buku
IPA, Fisika, dan Biologi masih terbatas. Selain akses, mutu dari isi pelajaran
juga mungkin bermasalah. Menurut analisis Sri Redjeki (1997), sebagai contoh,
ditemukan isi buku-buku teks biologi SD-SLTA di Indonesia tertinggal 50 tahun,
begitu pula dengan buku teks geografi SLTP yang menunjukkan banyak informasi
yang disajikan sudah usang.
Solusi yang baik berawal dari
pengetahuan yang baik atas masalah. Data-data itu tersedia di lingkungan
departemen. Artinya, semua birokrat pendidikan tahu masalah dalam angka itu.
Meski demikian, ada aneka masalah lain yang diketahui, tetapi tak pernah
dijadikan kajian serius dalam policy making. Misalnya, kita tahu dengan subsidi
pemerintah, masyarakat mampu menyekolahkan anak ke SD meski masih banyak yang
terseok-seok karena biaya yang dipaksakan, yaitu buku pelajaran nonterbitan
Depdiknas, seragam, sepatu, serta transportasi dan makanan (jajan) untuk anak.
Pada tingkat SLTP, biaya jauh lebih besar. Persoalan ini klasik, tetapi solusi
tak ada yang signifikan. Orangtua masih dipermainkan sekolah yang tidak
menggunakan buku terbitan Depdiknas, membeli seragam dan membayar ongkos
transpor dan makanan anak sendiri.
Hal lain yang juga diketahui adalah
pengelolaan pendidikan di Indonesia dilakukan Depdiknas dan departemen lain,
khususnya Departemen Agama. Investasi pada sekolah di kedua departemen ini amat
berbeda sehingga menciptakan kesenjangan mutu. Kita tahu sekolah-sekolah
berbasis agama di bawah Departemen Agama banyak dilakukan dalam skala amat
kecil sehingga anak tidak terjamin kelanjutan studinya. Masalah ini diketahui,
tetapi jarang dibahas karena sensitif.
Kita juga tahu banyak sekolah SD
yang rusak dan tidak layak pakai, tetapi aneka keluhan bagai teriakan di padang
pasir. Penyebabnya jelas, tanggung jawab pembangunan ada di tingkat kabupaten
(Depdagri melalui kantor dinas). Selain persoalan korupsi, tidak semua
pemerintah lokal mempunyai komitmen yang tinggi pada sektor pendidikan.
Kita sadar mutu pendidikan amat
ditentukan kualitas dan komitmen guru, tetapi kita tidak dapat melawan kehendak
zaman yang kian alergi dengan sekolah keguruan, IKIP, atau FKIP. Profesi guru
menjadi tidak menarik di banyak daerah karena tidak menjanjikan kesejahteraan
finansial dan penghargaan profesional.
Kita tahu untuk memperbaiki sistem
pendidikan dasar secara menyeluruh diperlukan komitmen tinggi masyarakat dan
pemerintah. Masalah ini sering menjadi wacana politik dan tetap tinggal sebagai
wacana seperti dalam grafik berikut. (grafik)
Dibandingkan dengan negara-negara
serumpun, komitmen Indonesia sampai tahun 1999- 2001 adalah yang terendah.
Kenyataan ini sudah lebih dari dua dasawarsa.
Menghadapi semua masalah yang
seharusnya dapat diatasi satu per satu secara serius, kita justru sibuk
mengutak-atik kurikulum, "bermain-main" dengan Ujian Nasional,
bereksperimen dengan sistem pengelolaan sekolah, sibuk dengan menata kembali
peristilahan, dan mengacuhkan berbagai persoalan yang jelas-jelas ada di depan
mata. Padahal, semua yang kita lakukan memerlukan sumber daya yang tidak
sedikit yang akan lebih baik dialokasikan untuk menyelesaikan hal-hal yang
lebih mendasar dulu. Dalam menyaksikan berbagai gebrakan Depdiknas, kita
bertanya: Mau dibawa ke mana anak- anak kita? Jika pendidikan dasar dikelola
seperti ini, sepuluh tahun lagi angka-angka yang sama akan kita jumpai. Semoga
tidak demikian!
Irwanto
Dosen
Fakultas Psikologi, Ketua Lembaga Penelitian Unika Atma Jaya, Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar