Dalam
bahasa yang kita gunakan, kata Ludwig Wittgenstein, ahli filsafat bahasa dari
Austria, tersirat suatu orientasi hidup yang bukan saja mencakup konsep yang
kita anut mengenai sekitar, melainkan juga perasaan, nilai, pikiran,
kebudayaan, hingga takhayul. Bahasa amat penting. Ialah yang menentukan
hubungan dan pergaulan dalam segala segi di masyarakat.
Dengan bahasa kita dapat menyembunyikan dan mengungkap pikiran, dengan bahasa pula kita mencipta dan menyudahi konflik. Karena bahasa, kita menyerahkan cinta dan dengannya pula kita mengumumkan perang. Singkatnya, bahasa adalah petunjuk kehidupan dan gambaran dunia kita. Padanya ditemukan analisis objektif kehidupan kita.
Dengarkan
laporan dan berita di televisi, bising ujaran di kampus, dan saksikan kemampuan
baca tulis di hampir semua lapisan. Kalimat yang tidak koheren, ejaan
serampangan, pilihan kata yang bersalahan sampai ke kisah yang tidak berkembang
dan mudah ditebak apalagi tidak imajinatif, ditemukan di banyak terbitan. Buku
yang amat diminati, bahkan dipenuhi bahasa lisan.
Deskripsi-deskripsi
serupa ini, "Seharian di rumah terus, keluar rumah kalo kuliah aja. Kalo
nggak ada kuliah? Ya ngurung diri di kamar masing-masing. Kalo nggak belajar,
ya tidur. Seringnya malah belajar sambil ketiduran. Aneh juga, ya? Nggak
biasanya anak kos yang centil-centil itu nggak bertingkah. Biasanya, begitu
denger ada sale di mal atau ada pagelaran konser musik oke, hebohnya sejak dua
bulan sebelumnya." bagaimanapun, menunjukkan bahwa ada yang salah
dengan-pengguna-bahasa Indonesia.
Tentu
saja contoh itu tidak mungkin dipahami dengan cara pukul rata, apalagi dari
satu segi saja. Sekilas contoh itu dapat diterima sebagai hasil pendidikan yang
semrawut, dapat juga mewakili jiwa yang ingin bebas. Tampak ketidakpedulian,
terasa pelecehan, dan keduanya memastikan bahwa bahasa Indonesia tidak dianggap
penting juga tak berharga bagi pemiliknya. Tetapi, bila kita percaya pada
bahasa sebagai buah pikiran, alat logika untuk meramu idiom demi penyampaian
pikiran dan perasaan, cara berbahasa harus dikaitkan dengan kemampuan berpikir.
Kecermatan dan kesantunan berbahasa dengan begitu, adalah cerminan nalar dan
budaya seseorang.
Hal
itu mengantar kita pada sekolah yang mendidik siswa mampu membaca dan menulis
dalam pelajaran bahasa Indonesia. Apakah yang terjadi di sekolah? Apakah dengan
semua upaya, dana, waktu, dan tenaga yang dicurahkan, kita hanya akan menuai
kegagalan? Bagaimanakah caranya mengelola mata pelajaran bahasa Indonesia
sehingga menarik dan dapat berbekas pada siswa? Adakah jalan sehingga dengan
belajar bahasa siswa menemukan minat dan dengan begitu dapat mengembangkan
potensinya apalagi menemukan jati dirinya?
Pertama,
harus dipercaya, belajar bahasa yakni membaca, menulis, dan berbicara adalah
bagian dari proses berpikir. Dengan bahasa, siswa dimampukan berpikir kalau
boleh hingga ke tataran yang rumit karena tersedianya sebuah struktur untuk
mengekspresikan dan mengenali hubungan antarkonsep dan dengan itu ia dapat
berkomunikasi dengan sesamanya. Dalam pelajaran bahasa, siswa belajar tentang
bagaimana berkomunikasi sambil mengenali cara berpikir yang sesuai budaya
bahasa yang dipelajarinya. Karena itu, semua upaya di kelas dikerahkan untuk
memampukan komunikasi dan menumbuhkan keterampilan berpikir kritis. Contoh
keseharian tulisan membuktikan bahwa siswa tak biasa dan bisa berpikir.
Bercakap dan berkomunikasi juga sulit bagi banyak orang. Hal yang sama tampak
pula pada bacaan mereka.
Kedua,
karena bahasa adalah pikiran dan perasaan yang lahir dari sebuah budaya dan
dunia, maka siswa hanya akan terlibat dalam pelajaran bahasa kalau ia
diperlakukan sebagai subyek, diizinkan masuk secara aktif dalam dunia yang
sedang dibacanya, dan membuat bacaannya menjadi bagian dari dirinya. Inilah
yang disebut Paulo Freire sebagai membaca dan menulis yang tumbuh dari gerakan
dinamis "membaca dunia", yaitu berbincang tentang pengalaman,
berbicara bebas dan spontan, dan tidak memisahkan membaca dan menulis huruf dan
kata dari membaca dan menulis kehidupan.
Ketiga,
dengan kerendahan hati guru perlu menyadari pentingnya peningkatan pengetahuan
tentang siswa, mengenai bahasa yang diajarkan dan harus diyakini, apalagi
perihal kehidupan sebagai sumber dan alasan pentingnya berbahasa dan menjadi
manusia. Guru perlu sabar dan toleran menghadapi dan menerima siswa dan
senantiasa tak sabaran untuk memberikan yang terbaik. Dengan menyadari
kompleksitas perkembangan siswa, para penentu keberhasilan diharapkan mengasihi
siswanya secara afirmatif, sekaligus dapat menerima dan mendorongnya berbuat
lebih banyak, yang membuatnya makin bertanggung jawab atas tugasnya. Kualitas
itu menguatkan guru untuk memotivasi siswa menginterpretasi bacaannya, merebut
makna dan menulis ulang apa yang dibacanya, dan berubah karenanya.
Sayang,
Uji Coba Ujian Akhir Nasional Bahasa Indonesia SLTP 20 April 2003 lalu
menunjukkan betapa pendidikan bahasa di Indonesia masih menganut konsep
perbankan, karena ujian direkayasa melulu untuk memeriksa apa yang diterima
siswa-yang dideposito para guru-apa yang mereka kunyah dan hafalkan. Soal
pilihan ganda tentu meniscayakan pengetahuan tentang bahasa bukan keterampilan
berbahasa.
Penyempitan
makna, kalimat berobyek, kata ganti, keterangan kesalingan, hubungan
pengandaian, makna akhiran, kalimat majemuk antara lain diujikan. Hal dilematis
timbul saat siswa harus menentukan watak tokoh dalam karya sastra berdasarkan
hanya satu alinea.
Sebuah
karya terbitan tahun 30-an, tentang seorang tokoh berumur 27 tahun yang
merisaukan jodohnya, sudah jelas jauh dari dunia anak SLTP. Dari ujian ini
tampak kebutuhan siswa diabaikan, disangka berpikir alih-alih dibiarkan
menebak, dan masih diperlukan cara melibatkan perasaan dan minat mereka.
Jadi,
apakah yang dapat dilakukan, dan perubahan manakah yang diperlukan? Pusat
pengajaran bahasa haruslah siswa, demi pemahaman, minat, dan kebutuhan mereka.
Siswa penuh dengan bahasa dan amat gembira belajar. Kemampuan mereka
mengonstruksi makna juga istimewa sehingga para pengajar bisa dengan mudah
menjadi pembelajar ketika berhadapan dengan siswa. Karena yang utama dalam
pelajaran bahasa adalah kebersatuan bacaan, tulisan, dan ujaran siswa dengan
dunia yang hendak dikenalinya, maka guru perlu menjadi satu dengan siswa, punya
kegirangan menjelajah mengenali kehidupan, ingin tahu dan suka berkelana.
Pengajaran
bahasa dengan demikian adalah upaya melibatkan murid, yang tidak bisa
diperlakukan melulu sebagai pelatihan teknis, tetapi harus menghubungkannya
dengan perasaan, minat, dan kebutuhan mereka. Keberhasilannya tergantung dari
partisipasi dalam dialog yang terencana.
Untuk
itu, dua jam pertama setiap hari di sekolah hendaknya dipersembahkan untuk
bahasa, dan sepanjang hari upaya bernalar, mempertimbangkan rasa dengan
mengedepankan keperluan siswa menjadi utama. Karena membaca dan menulis adalah
cara untuk menemukan arah dan arti, keindahan dan keintiman hidup yang dapat
mencipta dan membangun kehidupan siswa. Hanya dengan mengajar bahasa dengan
benar kita membantu anak mendapatkan haknya sebagai anggota keluarga umat
manusia.
Riris
K Toha-Sarumpaet Fakultas
Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia