BIAYA
pendidikan akademis tidak pernah murah. Yang membuat biaya pendidikan terlihat
tinggi karena dibandingkan dengan penghasilan rata-rata rakyat Indonesia.
Di
zaman kolonial Belanda, pemerintah kolonial sebenarnya tidak berniat mendirikan
universitas. Mereka mendirikan hogeschool agar lulusan dapat membantu mission
mereka menjajah rakyat Indonesia dengan mudah karena dapat memanfaatkan tenaga
inlanders untuk diangkat sebagai pembantu utamanya.
Meski
demikian, pemerintah kolonial akhirnya membuat sekolah juga. Pada mulanya,
pemerintah kolonial mendirikan sekolah Nederlands Indische Artsen School di
Surabaya. Lalu, didirikan School tot Opleiding voor Indische Artsen di Batavia.
Di beberapa kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Yogyakarta didirikan
Algemene Middelbare School (AMS), Middelbare Opleiding School voor Indlandse
Amstenaren di Magelang, Middelbare Opleiding School voor Inlandse Bestuur
Ambtenaren di Bandung, Middelbare Landbouw School di Bogor dan Ungaran. Juga
Veeartsen School di Bogor.
Sekolah-sekolah
itu adalah setara dengan jenjang sekolah menengah. Setelah itu, pemerintah
kolonial baru mendirikan Rechts Hogeschool (RH) dan Geneeskundige Hogeschool di
Jakarta. Di Bandung, pemerintah kolonial mendirikan Technische Hogeschool (TH).
Kebanyakan dosen TH adalah orang Belanda.
Pada
zaman kolonial (kalau tidak salah ingat), hanya ada seorang pribumi yang
menjadi guru besar, yaitu Prof Husein Djajadiningrat, yang kemudian menjabat
Direktur Departement Van Onderwijs en Eredienst, disusul kemudian oleh Prof Dr
Mr Supomo yang mengajar di RH. Sementara universitasnya baru didirikan setelah
Perang Dunia II usai dan pemerintah kolonial mau menjajah kembali Indonesia.
BAGI
kaum inlanders atau pribumi, mereka agak sulit untuk masuk ke sekolah-sekolah
tinggi itu. Bahkan, ketika almarhum Prof Roosseno lulus TH, jumlah lulusan yang
bukan orang Belanda hanya tiga orang, yaitu Roosseno dan dua orang lagi vreemde
oosterling alias keturunan Tionghoa. Bila demikian, lantas berapa orang yang
lulus bersama almarhum Ir Soekarno (presiden pertama RI) dan Ir Putuhena? Di
zaman pendudukan Jepang, pernah dicari 100 orang insinyur yang dibutuhkan.
Padahal saat itu belum ada 90 orang insinyur lulusan TH Bandung.
Biaya
kuliah untuk satu tahun di salah satu sekolah tinggi itu besarnya fl (gulden)
300. Saat itu, harga satu kilogram (kg) beras sama dengan 0,025 gulden. Maka,
besar uang kuliah sama dengan 12.000 kg beras. Bila ukuran dan perbandingan itu
diterapkan sebagai biaya kuliah di universitas sekarang, sedangkan harga beras
sekarang rata-rata Rp 3.000 per kg, maka untuk kuliah di universitas biayanya
sebesar Rp 36 juta per mahasiswa per tahun.
Biaya
di MULO, setingkat sekolah lanjutan tingkat pertama, adalah sebesar 5,60 gulden
per siswa per bulan, setara dengan 224 kg beras. Bila dihitung dengan harga
beras sekarang, akan menjadi Rp 672.000 per siswa per bulan. Maka, saat itu
banyak rekan sekolah saya masuk ke Ambachtschool atau Technische School, karena
biayanya agak murah sedikit. Berbekal keterampilan yang diperoleh di
Ambachtschool atau Technische School, siswa bisa langsung bekerja setelah
lulus.
Meski
biaya sekolah mahal, bagi siswa yang berasal dari keluarga tidak mampu secara
ekonomis, tetapi mempunyai bakat dan nilai rapor bagus, kepala sekolah dapat
mengajukan pembebasan biaya uang sekolah ke Departement O & E. Biasanya,
bila pengajuan pembebasan biaya diajukan oleh Direktur MULO atau AMS,
Departemen O & E akan mengabulkan, bahkan amat mungkin siswa bersangkutan
juga diberi beasiswa untuk hidup.
Dari
pengalaman pribadi, orangtua saya berhenghasilan 100 gulden sebulan. Dengan
penghasilan itu, hampir mustahil orangtua saya bisa mengirimkan keempat anaknya
menikmati pendidikan tinggi. Meski demikian, dengan kerja keras, saya dan semua
adik saya dapat menikmati pendidikan tinggi. Bahkan, saya dan beberapa ratus
teman pada tahun awal kemerdekaan, ketika Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) masih miskin, dapat menikmati beasiswa.
PADA
tahun 1950, NKRI baru saja menyelesaikan perang kemerdekaan melawan penjajah
Belanda. Toh Pemerintah NKRI yang masih miskin mampu memprogramkan pendidikan
bagi kader bangsanya. Ratusan pemuda Indonesia dibiayai Pemerintah NKRI untuk
meneruskan pendidikannya di perguruan tinggi, baik di dalam negeri maupun di
luar negeri. Dewasa ini NKRI sudah begitu kaya, mengapa beasiswa bagi para
kader bangsa tidak lancar? Padahal NKRI ingin mencerdaskan kehidupan bangsa,
sedangkan penghasilan rakyatnya amat rendah. Kepada mereka yang rajin dan
cerdas, sudah seharusnya pemerintah memberikan beasiswa karena pendidikan
akademis memang mahal.
Seyogianya
industri atau instansi pemerintah menyerahkan tugas penelitiannya kepada
universitas sehingga biaya penelitian yang harus dipikul perguruan tinggi dapat
dibantu atau bahkan dipikul industri dan instansi pemerintah. Dengan demikian,
biaya bagi mahasiswa dapat dikurangi.
Juga
cara perguruan tinggi melakukan pembibitan, jangan langsung diambil dari yang
fresh graduate. Lebih-lebih kalau dosen muda itu lulusan perguruan tinggi itu
karena akan timbul inbreeding bila mereka tidak disekolahkan ke tingkat
lanjutan atau dimagangkan di profesi tertentu. Dosen di perguruan tinggi
membutuhkan pengalaman kerja di luar perguruan tinggi, di mana mereka dapat
menerapkan ilmu dan pengetahuan yang dikuasai. Maka, di luar negeri banyak
profesor yang diambil dari industri atau instansi. Mereka sudah pernah menguji
kemampuannya untuk berkompetisi dengan alumni dari perguruan tinggi lain.
Setelah diketahui kemampuannya, mereka dipanggil untuk menjadi profesor di
perguruan tertentu.
Profesor
yang mengajar di universitas seyogianya mampu mengembangkan ilmunya melalui
riset yang dilakukan para kandidat doktor yang dibimbingnya. Bila ada profesor
yang tidak membimbing doktor, maka risetnya sudah berhenti atau ilmunya tidak
berkembang. Mereka yang tidak mampu mempromotori doktor jangan diangkat sebagai
profesor, cukup lektor kepala saja. Apakah tugas seorang profesor hanya
mengajar dari buku yang ditulis rekannya saja?
Seorang
profesor harus mau mengembangkan ilmunya dengan cara mempromotori kandidat
doktor bidang ilmunya. Bila tidak demikian, perkembangan perguruan tinggi akan
menjadi seperti sekolah menengah atas plus. Pada umumnya, perguruan tinggi mengembangkan
ilmu yang dikuasai profesornya, maka biaya untuk belajar di perguruan tinggi
selalu mahal. Dari perguruan tinggi inilah timbul inovasi dan kreasi yang
selanjutnya dapat dimanfaatkan masyarakat untuk mempertahankan hidupnya aman
dan nyaman.
Perguruan
tinggi yang satu akan bersaing dengan perguruan tinggi lainnya, terutama dalam
kemajuan ilmu dari hasil risetnya. Mengingat biaya penelitian tidak murah,
untuk dapat mengikuti kuliah di perguruan tinggi dibutuhkan biaya tidak
sedikit. Bila hasil riset dapat langsung diaplikasikan dan dapat dijual ke
industri atau instansi terkait, hasil ini secara kumulatif dapat digunakan
membiayai riset berikutnya. Jadi, hasil riset dapat menumbuhkan multiplier
effect.
BIAYA
mengikuti pendidikan di perguruan tinggi yang mahal bukan hanya terjadi di
Indonesia. Di negara mana pun tetap tinggi dan penghasilan para profesornya pun
amat memadai. Dengan demikian, tidak ada profesor yang bekerja di tempat lain
(nyambi), kecuali di bidang pendidikan.
Di
luar negeri, bila ada seorang direktur industri atau instansi dipanggil untuk
menjabat profesor di salah satu perguruan tinggi, jabatannya akan ditinggalkan.
Karena, jabatan profesor di perguruan tinggi lebih terhormat dan penghasilannya
meningkat. Keadaan ini berbeda dengan situasi perguruan tinggi di Indonesia.
Bila seorang profesor diminta menjadi direktur salah satu industri atau
instansi, jabatan di perguruan tingginya akan ditinggalkan. Karena, penghasilan
profesor di perguruan tinggi Indonesia rendah.
Dengan
biaya kuliah yang tinggi, perguruan tinggi diharapkan akan menghasilkan riset
dan ilmu yang sepadan. Menurut saya, tidak semua pemuda harus kuliah di
perguruan tinggi bila kemampuan berpikirnya tidak cukup baik. Lebih baik mereka
masuk akademi yang mengajarkan ilmu terapan, profesi dan kompetensi yang amat
dibutuhkan oleh masyarakat.
Sebetulnya,
yang dibutuhkan masyarakat adalah ilmu dari seseorang yang dapat disumbangkan,
bukan suatu gelar yang menempel pada namanya, tetapi tidak dapat dimanfaatkan
masyarakat. Janganlah membanggakan diri dengan gelar yang dijualbelikan seperti
pernah disinyalir Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Semoga masyarakat
tidak silau melihat beberapa gelar yang dipajang di sekitar nama seseorang.
Oleh: Nakoela Soenarta Guru Besar Ilmu Teknik Mesin di FTUI,
ISTN, dan FTUP