KOMPETISI
global juga sudah melanda dunia pendidikan. Setiap tahun, saat lulusan SMA dan
SMK bersaing untuk mendapatkan institusi pilihan, perguruan tinggi pun
berlomba-lomba mempromosikan diri dan menjaring calon-calon mahasiswa
potensial. Potensial bisa berarti mampu secara akademis atau finansial.
PERGURUAN
tinggi dari luar negeri pun tidak mau kalah, dan gencar berpromosi. Begitu pula
perguruan-perguruan tinggi swasta (PTS) melakukan berbagai upaya pemasaran dan
menjadikan dunia pendidikan tinggi seperti bisnis dan industri. Kini beberapa
perguruan tinggi negeri (PTN) tidak mau ketinggalan dengan membuka jalur khusus
atau ekstensi.
Persaingan
merebut kue
Akhir
tahun ajaran jenjang pendidikan SLTA sebenarnya jatuh sekitar bulan Mei. Para
lulusan SMA/SMK biasanya mendapat surat tanda tamat belajar (STTB) dan surat
tanda kelulusan (STK) sekitar bulan Juni. Namun sebelum mengikuti ujian akhir
nasional (UAN), sebagian siswa SMA/SMK -terutama yang nilai rapor hingga
semester lima tidak di bawah rata-rata-sudah mendapat tempat di perguruan
tinggi.
Beberapa
perguruan tinggi sudah melakukan ujian seleksi masuk dan menerima siswa SMA/SMK
sekitar bulan Maret dan April. Bahkan ada perguruan tinggi yang sudah memulai
seleksi gelombang pertama pada Januari dan Februari.
Beberapa
tahun terakhir ini, seleksi mahasiswa baru menjadi makin dini karena perguruan
tinggi berlomba-lomba memajukan tanggal penerimaan mahasiswa baru untuk
menjaring mahasiswa pilihan sebelum didahului perguruan tinggi pesaing. Dalam
semangat persaingan ini, ada perguruan tinggi yang menetapkan seleksi gelombang
pertama pada awal tahun, tetapi sebetulnya diam-diam sudah memastikan untuk
menerima mahasiswa pilihan sekitar bulan Oktober dan November ketika siswa
SMA/SMK belum mengikuti ujian akhir semester gasal. Seleksi pra-gelombang
pertama ini dibungkus dengan nama jalur prestasi, jalur khusus, jalur kerja
sama, dan semacamnya.
Praktik
penerimaan mahasiswa baru ketika mereka masih berstatus siswa kelas III, sering
menimbulkan protes dari pihak sekolah menengah. Ada keluhan, siswa kelas III
yang sudah diterima di perguruan tinggi menunjukkan kecenderungan meremehkan
pelajaran dan guru mereka, meski beberapa perguruan tinggi menjanjikan bisa
saja membatalkan penerimaan jika ada laporan pihak SMA/SMK mengenai tindakan
indisipliner siswa.
Keluhan
lain pihak SLTA adalah kedatangan dan kunjungan perguruan tinggi yang meminta
waktu untuk melakukan presentasi kepada siswa kelas tiga. Akibat frekuensi
kunjungan yang begitu besar, banyak kepala dan guru SLTA menghkhawatirkan
terganggunya jadwal kerja dan pelajaran sekolah.
Di
satu sisi, siswa kelas III memang membutuhkan informasi dan sosialisasi dari
perguruan tinggi. Tetapi di sisi lain, jika kepala SMA/SMK melayani setiap
permintaan perguruan tinggi untuk mengadakan presentasi, banyak waktu pelajaran
harus dikorbankan, sementara siswa kelas III juga harus menyiapkan diri
menghadapi UAN.
Beberapa
SMA-terutama yang favorit dan menjadi target PTS-mengakomodasi kedua kebutuhan
ini dengan menyediakan satu atau dua hari khusus untuk informasi studi dan
mengundang PTS (dalam negeri maupun perwakilan PT luar negeri).
Untuk
mendapatkan calon mahasiswa yang bersedia membayar sumbangan masuk antara Rp 3
juta hingga di atas Rp 30 juta, pihak perguruan tinggi tidak keberatan membayar
sewa stan atau memasang iklan di buku kenangan yang dibuat sekolah. Jadinya,
selain memberi kesempatan bagi siswa untuk window shopping sebelum membuat
keputusan akhir, ajang promosi perguruan tinggi juga memberi kesempatan bagi
siswa SMA untuk mendapat dana tambahan yang mungkin dipakai untuk keperluan
sekolah maupun kesejahteraan guru.
Program
unggulan
Akreditasi
program studi Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) merupakan
syarat minimal namun tidak cukup memadai untuk dijadikan poin jual. Kini
perguruan tinggi berlomba mengemas dan menonjolkan beberapa program unggulan
lain, di antaranya sertifikasi internasional, kerja sama dengan industri, dan
kerja sama internasional. Sertifikasi internasional bisa berupa pengakuan dari
organisasi profesi di luar negeri (misalnya ada program bisnis yang mengklaim
mendapatkan pengakuan AACSB, American Association of Colleges and Schools of
Business) atau sertifikasi kendali mutu yang biasanya dilakukan di dunia
industri (ada PTS yang telah memperoleh ISO 9001).
Keterkaitan
antara perguruan tinggi dan dunia kerja merupakan salah satu area yang sering
mendapat sorotan. Dalam pelaksanaan kurikulum berbasis kompetensi (SK Mendiknas
No 045/U/2002 perihal Kurikulum Inti), pengajaran harus relevan dengan
kebutuhan masyarakat dan kompetensi yang ditentukan industri terkait dan
organisasi profesi. Maka dari itu, kerja sama dengan industri sering dijadikan
poin jual. Beberapa perguruan tinggi mencantumkan pelatihan dan sertifikasi
Microsoft, SAP, atau Autocad dalam brosur mereka. Sementara perguruan tinggi
lain memasukkan nama-nama perusahaan besar sebagai tempat magang dan penampung
lulusan mereka.
Kerja
sama internasional-berupa program transfer, sandwich, double degree dengan
universitas luar negeri, dan pertukaran mahasiswa-sering ditonjolkan sebagai
daya tarik karena dipercaya meningkatkan citra perguruan tinggi sebagai
institusi berkualitas internasional. Dalam hal ini, calon mahasiswa dan
orangtua perlu jeli dan memperhatikan dua hal.
Pertama,
apakah institusi luar negeri yang dipasang sebagai mitra benar-benar
berkualitas. Tidak semua institusi asing bermutu. Perguruan tinggi di Indonesia
bisa saja memanfaatkan gengsi dan kelatahan orang Indonesia (termasuk diri
sendiri) terhadap label asing. Ada universitas terkemuka di Indonesia yang
pernah terkecoh dan mengecoh publik melalui kemitraan dengan institusi yang
ternyata malah hanya menawarkan program nongelar dan reputasinya biasa-biasa
saja. Kadang, institusi luar negeri yang dicantumkan menggunakan nama pelesetan
yang bisa mengecoh. University of Berkeley tentu tidak sama dengan University
of California at Berkeley dan Nanyang Institute berbeda dengan Nanyang
Technological University.
Kedua,
jika institusi luar negeri yang dipasang benar-benar bergengsi, betulkah ada
kesepakatan timbal balik antara kedua institusi. Beberapa perguruan tinggi di
Indonesia tidak segan-segan mencatut nama besar seperti INSEAD, Harvard
University, universitas dalam kelompok Ivy League atau universitas besar
lainnya. Calon mahasiswa perlu bertanya, sejauh mana dan dalam kapasitas apa
kesepakatan antara kedua institusi dilakukan, apakah ada perjanjian tertulis,
manfaat apa yang bakal diperoleh mahasiswa dalam kerja sama ini.
Tim
dan strategi pemasaran
Seperti
layaknya di perusahaan, banyak perguruan tinggi mempunyai tim pemasaran khusus
meski mereka kadang agak sungkan menggunakan istilah marketing. Umumnya, tim
marketing ini bekerja dengan bendera humas, tim informasi studi, atau biro
informasi. Di beberapa PTS swasta, tim pemasaran ini bekerja penuh waktu secara
profesional dengan armada lengkap mulai dari staf relasi media, presenter,
desainer brosur, sampai dengan petugas jaga pameran. Periode sibuk bagi tim ini
biasanya dari Oktober sampai Mei, tetapi mereka bekerja sepanjang tahun.
Di
luar periode sibuk, tim marketing melakukan pembenahan internal di perguruan
tinggi. Mereka merancang prospektus, brosur, dan katalog dengan cetakan dan
desain yang tidak kalah mewah dengan prospektus perusahaan multi nasional.
Selain itu, mereka juga mengoordinasi dosen dan wakil mahasiswa dari semua
program studi yang ada dan melibatkan beberapa di antaranya dalam aneka
kegiatan promosi di dalam maupun di luar kampus. Beberapa dosen pun tidak
segan-segan menjalankan peran sebagai petugas promosi jurusan dalam kemasan
seminar maupun pameran studi.
Selama
periode sibuk, berbagai macam kegiatan promosi dilakukan, baik PTS maupun PTN.
Kegiatan promosi yang berkaitan langsung dengan jurusan adalah lomba untuk
siswa-siswi SLTA. Program studi Sastra Inggris, misalnya, menyelenggarakan
lomba pidato, debat, membaca berita, atau menulis esai dalam bahasa Inggris.
Program studi teknik informatika merancang lomba desain web atau program
software. Program studi desain menantang siswa SMA untuk berkreasi dengan
berbagai macam desain. Acara-acara lomba ini juga memberi kesempatan menarik
siswa-siswi SMA berkunjung ke kampus dan melihat-lihat fasilitas perguruan
tinggi.
Selain
lomba, beberapa perguruan tinggi juga menyelenggarakan open house. Ada yang
melakukannya di kampus, tetapi ada pula yang menyewa hotel berbintang. Dalam
open house ini, berbagai keunggulan pada tiap program studi dan di tingkat
perguruan tinggi dipamerkan melalui presentasi, tayangan video, foto, dan
contoh produk. Seakan tidak ingin kehilangan kesempatan, ajang open house juga
dipakai untuk menerima pendaftaran dan melaksanakan tes masuk saat itu juga.
Kegiatan
promosi tidak hanya dilakukan di kota tempat perguruan tinggi. Tim pemasaran
juga melakukan perjalanan ke luar kota bahkan ke luar pulau dalam rangka
"menjemput bola". Seleksi dan tes masuk juga bisa dilakukan di kota
yang dikunjungi, sehingga siswa tidak harus jauh-jauh meninggalkan kota asal
untuk berburu perguruan tinggi. Sekarang adalah era perguruan tinggi berburu calon
mahasiswa.
Upaya
pemasaran tidak hanya terbatas pada kegiatan promosi sesaat, tetapi juga
strategi jangka panjang berupa program menjalin relasi dan kerja sama dengan
SMA. Dalam beberapa tahun belakangan, para kepala dan guru bimbingan konseling
di SMA menjadi orang penting yang diperhatikan dan dimanjakan. Perguruan tinggi
menggelar berbagai seminar tahunan dan mengundang mereka dengan menanggung
semua biaya transportasi dan akomodasi. Ada pula perguruan tinggi yang
melakukan kerja sama secara berkesinambungan misalnya program pendampingan
pelajaran teknologi informasi atau revitalisasi perpustakaan di SMA. Program
kerja sama ini diharapkan bisa menanamkan brand awareness di kalangan guru dan
siswa SMA dan membuat mereka mengingat perguruan tinggi itu untuk dipilih di
kemudian hari.
Berbicara
soal promosi, tidak ada kecap nomor dua. Masing-masing perguruan tinggi
berupaya menampilkan keunggulan dan nilai jual. Kepala SMA/SMK, calon
mahasiswa, dan orangtua perlu mencermati persaingan antar-perguruan tinggi
dengan cerdas, bijak, dan mempelajari tiap tawaran dengan kritis agar bisa
membuat keputusan dan pilihan yang paling baik dan sesuai di antara semua
alternatif yang ada.
Anita
Lie Sekjen Dewan Pendidikan
Jawa Timur