Cica mencuci cangkir dan piring
“Cuci tanganmu sebelum makan,Cica!” kata Ibu
“Ya, Bu,” jawab Cica.
“Coba cari adikmu!” Cica mencari adiknya. Adik Cica sedang membaca.
“Badanmu kotor, Yun. Bersihkan dulu badanmu!”
“Ya, Kak,” kata Yuyun.
Mereka biasa hidup bersih. Bersih itu sehat.
Teks dialog tanpa judul tersebut terdapat dalam buku Aku Cinta Bahasa Indonesia
terbitan Tiga Serangkai Solo (2002). Buku ini dimiliki oleh hampir setiap siswa
kelas satu di beberapa sekolah dasar di Yogyakarta dan Jawa Tengah yang
menjadikan buku ini sebagai buku utama dalam pelajaran Bahasa Indonesia. Teks
di atas memang dibuat untuk siswa kelas satu SD yang sedang belajar membaca
permulaan, yang biasanya terfokus pada latihan melisankan bacaan mulai dari
melafalkan huruf, suku kata, kata dan kalimat secara benar, jelas dan lancar.
Tetapi apakah dengan demikian teks boleh dibuat sembarangan tanpa
mempertimbangkan logika berbahasa? Perhatikan saja urutan deskripsi
peristiwanya. Bagi umumnya anak-anak, logika peristiwa yang lebih mudah
dipahami tentunya mencuci cangkir dan piring dilakukan setelah makan, bukan
sebelum makan seperti pada bacaan di atas. Juga lebih mudah dipahami jika badan
adik kotor ketika sedang bermain pasir atau tanah, bukan ketika sedang membaca
. Sementara itu dalam buku pelajaran Bahasa Indonesia untuk siswa kelas lima
SD, Bina Bahasa Indonesia terbitan Erlangga Bandung (2003) terdapat teks bacaan
seperti berikut:
Wajib
Belajar
Desa kelahiran orang tua Indri tergolong tandus. Penduduk hanya panen setahun
sekali. Itu pun kalau ada air hujan. Hasil pertanian penduduk umumnya singkong
dan ubi jalar. Keadaan seperti itu bukan menandakan penduduknya miskin. Justru
penduduknya tergolong makmur. Banyak hal yang dapat mereka kerjakan. Kaum ibu
membentuk Home Industry atau Industri Rumah Tangga Jika kita masuk ke toko
suvenir, hampir semua suvenir di sana adalah karya ibu-ibu. Begitu pula kalau
kita berbelanja kue-kue tradisional. Semua itu hasil dari desa kelahiran ibunya
Indri. Bagaimana dengan aktivitas bapak-bapak dan para remaja? Di sana tidak
kita jumpai penduduk yang duduk di pojok gang atau di warung kopi. Konon
sebagian besar remaja bekerja di kota lain. Mereka mengirimkan sebagian gaji ke
desa untuk membeli sawah dan menyekolahkan adik-adik mereka. Jika ada anak usia
sekolah berkeliaran pada waktu tersebut, setiap orang wajib menegur. Jika
ternyata orang tua atau kakaknya yang menyuruh, pasti mendapat sanksi.
Teks bacaan ini berada dalam salah satu bab berjudul Membaca Pemahaman, yakni
bab yang khusus dibuat untuk melatih siswa memahami bacaan. Setelah teks,
diajukanlah pertanyaan-pertanyaan berkaitan dengan isi teks seperti: apa mata
pencaharian ibu-ibu, apa yang dilakukan para remaja, mengapa penduduk desa makmur,
bagaimana kesimpulanmu mengenai hasil perjuangan penduduk. Setelah itu
pembahasan untuk memahami teks pun selesai. Kalaupun siswa dapat menjawab semua
pertanyaan tersebut secara benar sesuai dengan isi bacaan, yakinkah kita bahwa
mereka telah belajar memahami bacaan secara benar pula? Kita pasti tidak yakin
akan keberhasilan pembelajarannya jika teks yang mereka baca adalah teks
seperti tersebut di atas.
Dengan mempertimbangkan logika bahasa yang baik atas sebuah teks, perlu
dipertanyakan dimana kita bisa temukan gagasan pokok yang dimaksud oleh judul
yakni wajib belajar, sementara sebagian besar teks membahas industri rumah
tangga ? Lalu jika kita perhatikan kalimat pada alinea terakhir, “mereka
mengirimkan sebagian gaji ke desa untuk membeli sawah…?” , tentulah timbul
pertanyaan, sawah mana yang dibeli? Sebuah kalimat yang kontradiktif dengan
deskripsi pada alinea pertama. Dimana ada sawah jika kondisi desa dilukiskan
sangat tandus dan hanya bisa menghasilkan singkong dan ubi jika ada hujan ?
Teks-teks bacaan yang buruk dalam
pengaturan logika berbahasa seperti ini cukup banyak terdapat dalam buku-buku
pelajaran Bahasa Indonesia untuk anak-anak SD. Kekacauan logika terlihat mulai
dari teks yang tidak memiliki judul, judul yang kurang menggambarkan isi teks,
alinea yang tidak jelas gagasan utamanya, kalimat-kalimat dalam alinea yang
tidak padu, dan sebagainya. Teks dialog penuh dengan tanya-jawab basa-basi tak
bermakna. “Selamat pagi Firman”. “Selamat pagi Indri”. “Kamu sudah baca
pengumuman belum?” “Pengumuman apa? Dimana? Aku belum membacanya tuh.” Dan
seterusnya. Teks bacaan dan dialog dengan kualitas seperti ini umumnya teks
yang dibuat sendiri oleh penulis buku yang biasanya adalah para guru atau
sarjana ilmu pendidikan.
Kondisi yang memprihatinkan dari teks-teks bacaan buku pelajaran Bahasa
Indonesia tidak hanya terjadi pada logika berbahasa, tetapi juga pada pilihan
tema. Tema kebersihan dan kesehatan mulai dari mandi, sikat gigi, menyapu,
mengepel, membuang sampah, menanami halaman rumah, kerja bakti di kampung,
pemberantasan nyamuk, makan sayur, muncul berkali-kali dalam banyak bacaan
terutama untuk siswa kelas satu sampai kelas tiga.
Tema yang tidak menarik, tidak menumbuhkan minat seperti ini menjadi semakin
membosankan karena dibahas berulang-ulang. Sementara teks buku pelajaran Bahasa
Indonesia untuk siswa kelas empat hingga kelas enam, sarat dengan tema program
pemerintah dan konsep-konsep yang terlalu kompleks untuk diajarkan kepada
anak-anak sekolah dasar seperti urbanisasi dan gerakan kembali ke desa,
transmigrasi, ekonomi koperasi, perlindungan tenaga kerja, krisis moneter,
cara-cara memberantas hama, dan sebagainya. Teks bacaan dengan tema seperti itu
disajikan dengan bahasa penyuluhan sehingga tidak menimbulkan kesan yang
bermakna bagi siswa. Apalagi kondisi di lapangan memperlihatkan kecenderungan
guru-guru juga terbatas wawasannya mengenai program-program pemerintah
tersebut.
Salah satu contoh teks berisi tema program pemerintah adalah teks dialog
bejudul Posko Korban Banjir dalam buku pelajaran bahasa Indonesia untuk siswa
SD kelas tiga. (Tim Bina Karya Guru, Bina Bahasa Indonesia 3A, Penerbit
Erlangga, 2000, hal 134-135). Dengan maksud menanamkan kesan dan makna kepada
siswa, teks dialog ini harus diperagakan sebagai permainan peran. Latar
belakang dialog adalah rapat di Balai desa, tokoh yang diperankan adalah Kepala
Desa, Sekretaris Desa, dan dokter Puskesmas. Teks berisi tanya jawab antara
ketiga tokoh seputar kondisi pengungsi, kesiapan Puskesmas, dan kesiapan dapur
umum. Bisa kita bayangkan bagaimana canggungnya anak-anak usia 10 tahun kelas
tiga SD memainkan peran aparat pemerintahan desa. Terbayang pula bagaimana
repotnya guru-guru memandu siswa masuk ke suasana rapat desa yang menjadi
konteks dialog itu. Setelah teks, siswa diminta menyebutkan nama tokoh,
sifat-sifat mereka dan alasan mengapa menyebutkan sifat itu. Bagaimana mungkin
siswa dapat menggambarkan sifat tokoh dari dialog singkat tidak lebih dari 25
kalimat, dari sebuah peristiwa rapat di Balai Desa yang berlangsung datar-datar
saja tanpa dinamika, dan tanpa pelukisan karakter tokoh-tokohnya? Kesan dan
makna apa yang bisa diharapkan muncul dari anak-anak kelas tiga SD dari bacaan
dan dialog dengan tema yang sama sekali tidak mengundang minat semacam ini?
Contoh-contoh di atas memperlihatkan kepada kita bahwa materi pembelajaran
bahasa di kalangan siswa sekolah dasar sulit diharapkan dapat berperan dalam
meletakkan bahasa sebagai sarana berolah pikir dan sarana ekspresi.
Anak-anak mulai mempelajari
konsep-konsep ilmu sosial pada saat duduk di kelas 3 SD. Diawali dengan
mengenal lingkungan keluarga, kemudian lingkungan sekolah, lingkungan tetangga
sekitar dan seterusnya. Apa yang digambarkan oleh buku-buku pelajaran IPS kelas
3 SD tentang lingkungan tetangga ? Keadaan wilayah RT yang satu mungkin berbeda
dengan keadaan wilayah RT yang lain. Ada wilayah RT yang terletak di tanah
datar, ada yang di tanah berbukit. Wilayah RT di daerah perkotaan umumnya
terletak di atas tanah datar. Wilayah RT yang terdapat di daerah pedesaan
sebagian terletak di atas tanah berbukit. Wilayah RT 06/ RW 03 terletak di
daerah perkotaan. Wilayahnya terdiri atas tanah datar dan rata. Di sana tidak
ada bukit. Juga tidak ada sungai yang mengalir. (IPS Terpadu Kelas 3 SD, Tim
Bina Karya Guru Penerbit Erlangga, 2000).
Dua alinea di atas membuka pembahasan mengenai lingkungan RT, RW, Kelurahan,
hingga provinsi. Tanpa ada penjelasan yang memadai mengenai lembaga RT,
tiba-tiba lembaga administratif itu dihubungkan dengan kondisi geografis yang
secara konsep berbeda konteksnya. Deskripsi menjadi lebih kacau dengan kalimat:
tidak ada bukit dan tidak ada sungai di perkotaan. Dalam memperkenalkan
konsep-konsep ekonomi, buku pelajaran memulainya dengan menyebutkan jenis-jenis
mata pencaharian. Mata pencaharian penduduk desa bertani, beternak, berkebun.
Penduduk daerah pantai bermatapencaharian sebagai sebagai nelayan. Penduduk
kota sebagian besar bekerja sebagai pegawai negeri, pegawai perusahaan swasta
dan perusahaan daerah.
Berbagai jenis mata pencaharian disebutkan bagai sebuah daftar jenis pekerjaan.
Konsep “bekerja” itu sendiri tidak banyak mendapat porsi dalam penjelasannya.
“Bekerja” yang merupakan aktivitas ekonomi produksi, menyempit maknanya menjadi
sekedar jenis pekerjaan. Tidak ada gambaran yang memadai mengenai proses. Peran
Guru Deskripsi isi buku di atas hanya merupakan cuplikan kecil saja dari
seluruh isi buku pelajaran yang dipakai anak-anak di sekolah dasar. Buku
pelajaran adalah media pembelajaran yang paling umum dipakai di sekolah-sekolah
di Indonesia. Jika isi buku pelajaran kondisinya sangat buruk, kita tentu
berharap guru dapat berperan menutup kelemahannya, misalnya dengan memberikan
bahan bacaan lain yang lebih baik atau menyusun sendiri bahan bacaan yang
diperlukan.Tetapi kenyataannya tidaklah demikian. Dari pengalaman penulis
bergaul dengan para guru sekolah dasar dan mengamati keseharian mereka dalam
mengajar siswa, ada kecenderungan yang memprihatinkan yakni ketergantungan guru
yang sangat tinggi terhadap buku pelajaran dalam proses belajar mengajar di
kelas. Ketergantungan ini mematikan daya kritis guru terhadap kualitas isi buku
pelajaran.
Ketergantungan terjadi karena beberapa faktor. Pertama, sebagian besar guru
tidak memiliki pengetahuan yang memadai mengenai teks yang baik. Kedua,
sebagian besar guru memiliki minat baca yang rendah sehingga sulit bagi mereka
untuk berkreasi menyusun sendiri bahan pelajaran untuk siswa. Ketiga, akses
mereka terhadap bahan bacaan sangat terbatas. Dana untuk buku tidak ada,
perpustakaan sekolah tidak tersedia dan sekolah tidak punya referensi bacaan
yang memadai selain koran. Kondisi menjadi lebih parah karena waktu di luar jam
sekolah lebih banyak digunakan para guru untuk memberikan les privat dalam
rangka menyiasati pendapatan yang rendah.
Kondisi kurang kritisnya guru
terhadap kualitas teks antara lain juga tampak pada hasil penelitian staf
pengajar FKIP Universitas Terbuka, Suparti dkk tentang persepsi guru terhadap
penggunaan buku teks Bahasa Indonesia SD di Kabupaten Jombang. (Jurnal
Pendidikan Vol.3 No 1, Maret 2002, Lemlit UT). Dalam hal persepsi terhadap isi
buku, para guru lebih menyoroti kualitas gambar yang kurang menarik, daripada
kualitas teks. Yang terjadi kemudian, lebih penting bagi guru adalah
menyelesaikan pembahasan materi yang ada di dalam buku pelajaran tepat pada
waktunya. Kalau bisa lebih cepat sehingga lebih banyak waktu bisa dicurahkan
untuk mengajak siswa berlatih mengerjakan soal. Soal-soal pun diambil dari buku
pelajaran itu lagi, atau buku pelajaran yang diterbitkan oleh penerbit lain
yang isinya nyaris sama. Wacana guru dan siswa akhirnya hanya berkembang
sebatas apa yang ada di buku pelajaran. Bagi umumnya guru, buku dianggap sudah
lengkap mewakili konten kurikulum dan organisasi materi sehingga mereka seringkali
merasa kurang aman kalau tidak mengikutinya. (Arsyar, 1989). Dampak pada
Anak-anak Kualitas isi buku yang rendah ditambah dengan kemampuan guru yang
kurang memadai, sangat tidak mendukung perkembangan kemampuan literasi dan
pemahaman siswa.
Hasil penelitian yang dilakukan Tim Program of International Student Assessment
(PISA) Badan Penelitian dan Pengembangan Depdiknas menunjukkan kemahiran
membaca anak usia 15 tahun di Indonesia sangat memprihatinkan. Sekitar 37,6
persen hanya bisa membaca tanpa bisa menangkap maknanya dan 24,8 persen hanya
bisa mengaitkan teks yang dibaca dengan satu informasi pengetahuan (Kompas 2
Juli 2003).
Sangat menyedihkan mengingat kemampuan membaca dan menulis merupakan kompetensi
paling dasar yang dibutuhkan seseorang untuk mengembangkan pengetahuan dan
meraih kompetensi yang lain. Membaca buku yang tidak menarik dan sulit dicerna
isinya, menjadi beban berat bagi anak-anak. Yang kemudian dilakukan akhirnya
hanya menghafal saja isi buku. Kebiasaan menghafal menumpulkan daya nalar dan
kreativitas dalam memecahkan masalah dan menghasilkan karya cipta. Penghafalan
juga mematikan rasa ingin tahu, padahal keingintahuan adalah kunci dari
eksplorasi dalam perkembangan ilmu. Banyak penelitian mengungkapkan, kesulitan
paling besar yang dhadapi siswa dalam memecahkan soal matematika berbentuk
cerita adalah dalam membuat model atau memetakan masalahnya dan membuat kalimat
matematika. (Hilum, 1997). Ini menunjukkan bahwa kemampuan analisa anak-anak
sangat rendah akibat tidak berkembangnya logika berpikir. Kebiasaan menghafal
diperkuat oleh dorongan yang diberikan para guru. Karena wawasan yang terbatas
mengenai bahan yang diajarkan, guru juga selalu mendorong anak-anak untuk
menghafal saja apa yang ada di buku. “Jangan cuma dibaca teksnya.
Latihan-latihan soal juga harus dikerjakan. Hafalkan jawabannya. Ibu kan sudah
berkali-kali mengingatkan soal-soal itu nanti pasti keluar waktu ujian,” kata
seorang guru PPKn (pendidikan kewarganegaraan) kepada siswa-siswa kelas enam.
Seorang anak bisa saja hafal nama tokoh pahlawan dan tahun kejadian, tetapi
belum tentu paham apa yang membuat para pahlawan memberontak, melawan dan
berjuang. Buku pelajaran sejarah hanya memuat nama tokoh,tahun kejadian,
urut-urutan kejadian, tanpa memberi penjelasan logis latar belakang terjadinya
peristiwa-peristiwa itu. Buku Pelajaran, Kurikulum dan Pendidikan Tradisional
Sebagai salah satu media pembelajaran, buku pelajaran memang harus memenuhi
validitas kurikuler yakni disusun sesuai dengan kurikulum yang ditetapkan.
Dapat dikatakan, buku pelajaran mencerminkan kurikulum.
Jika kondisi buku pelajaran sekolah anak-anak sangat memprihatinkan seperti
terpapar di atas, bagaimana dengan kurikulum pendidikan kita ? Kurikulum di
Indonesia baru mulai populer pada tahun 1950an, dan digunakan oleh mereka yang
memperoleh pendidikan Barat. Definisi kurikulum beragam. Dalam arti sempit,
kurikulum didefinisikan sebagai “a plan for learning”, sesuatu yang
direncanakan untuk dipelajari oleh anak-anak di sekolah. Namun para ahli pendidikan
saat ini mendefinisikan kurikulum secara lebih luas, yakni semua pengalaman dan
pengaruh yang diperoleh anak di sekolah.
Konsep kurikulum adalah konsep pendidikan moderen, pendidikan formal sekolah.
Konsep kurikulum tidak dikenal dalam pendidikan tradisional yang ada di
masyarakat, baik sosialisasi maupun pendidikan agama atau pendidikan
ketrampilan. Pendidikan tradisional tidak memerlukan kurikulum, tidak
memerlukan perencanaan karena tujuannya adalah mewariskan nilai dan tradisi,
Materi pendidikannya relatif tetap dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Pendidikan formal sekolah memerlukan kurikulum karena tujuan pendidikannya
bukan sekedar mewariskan pengetahuan dan ketrampilan secara turun temurun
kepada anak-anak.
Tujuan pendidikan sekolah lebih luas dan kompleks karena dituntut selalu sesuai
dengan perubahan. Kurikulum harus selalu diperbarui sejalan dengan perubahan
itu. Untuk mencapai tujuan pendidikan yang ditetapkan, kurikulum harus disusun
secara strategis dan dirumuskan menjadi program-program tertentu. Karena harus
selalu relevan dengan perubahan masyarakat, penyusunan kurikulum harus
mempertimbangkan berbagai macam aspek seperti perkembangan anak, perkembangan
ilmu pengetahuan, perkembangan kebutuhan masyarakat dan lapangan kerja dan
sebagainya.
Kondisi materi buku pelajaran yang memprihatinkan seperti digambarkan di atas,
menunjukkan betapa kurikulum pendidikan sekolah yang ada saat ini belum disusun
dan direncanakan dengan baik. Hal ini terjadi kemungkinan disebabkan oleh
pertama, kelemahan manajemen perencanaan di tingkat operasional, dalam hal ini
Pusat Kurikulum. Kedua, visi dan tujuan pendidikan belum dirumuskan secara
jelas sehingga menimbulkan kebingungan dalam menerjemahkannya ke dalam strategi
dan program. Ketiga, masih kuatnya pengaruh sistem pendidikan tradisional yang
cenderung tidak responsif terhadap perubahan membuat sistem pendidikan sekolah
cenderung hanya mengadopsi aspek formalitasnya sementara esensi sistem yang
bersifat dinamis belum terbentuk.
Pustaka Arsyar, Mohammad (1989).
Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum. Jakarta: Proyek Pengembangan LPTK Ditjen PT
Departemen P&K.
Kompas (2003). Kemahiran Baca di Indonesia Menyedihkan. (2 Juli 2003)
Mulder, Niels (2001). Indonesian Images. Yogyakarta: Kanisius
Nasution, S (1986). Asas-asas Kurikulum. Bandung: Jemmars
Hilum, Rium (1997). Pengaruh Kemampuan Memecahkan Masalah-masalah cerita dalam
aljabar terhadap prestasi siswa. Skripsi S1 FMIPA IKIP Yogyakarta.
Supriadi, Dedi (2001). Anatomi Buku Sekolah di Indonesia. Yogyakarta: Adicita
Shaver, James P ed. (1991). Handbook of Research on Social Studies Teaching and
Learning. New York: National Council for the Social Studies.
penulis : Anis Suryani
Sumber: http://antropologi.fib.ugm.ac.id/artdetail.php?id=14
Tidak ada komentar:
Posting Komentar