(Sebuah Masukan untuk Pemerintah)
SAYA terharu dan ikut merasakan
keprihatinan Wakil Presiden Jusuf Kalla terhadap rendahnya etos kerja rakyat
Indonesia. Keprihatinan ini jelas dirasakan oleh para pendiri republik ini.
Karena itu, pendiri republik menetapkan bahwa salah satu fungsi penyelenggaraan
pemerintahan negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa.
Untuk itu pula para pendiri republik
menetapkan dalam UUD 1945 perlu diselenggarakannya satu sistem pengajaran
nasional (sistem persekolahan) dan memajukan kebudayaan nasional. Para pendiri
republik berangkat dari pengalamannya sendiri-sendiri mengikuti pendidikan
sekolah yang bermutu dan perbandingan perkembangan negara-negara yang kini
masuk dalam jajaran negara maju, adalah negara yang menjadikan sekolah sebagai
wahana untuk membangun suatu negara bangsa melalui proses transformasi budaya.
Pertanyaannya adalah seberapa jauh ujian nasional dapat menjadi penentu
peningkatan mutu pendidikan dan etos kerja rakyat Indonesia?
Sebagai pelajar ilmu pendidikan yang
telah berkesempatan mempelajari pendidikan sebagai ilmu pengetahuan sejak usia
muda, yang berkesempatan terlibat dalam proses pembaruan pendidikan pada tahun
1963-1967 dan 1971-1981, yang berkesempatan mempelajari pelaksanaan pendidikan
di negara maju (2 tahun di Amerika Serikat, 4 tahun di Jerman, 4 bulan di
Jepang, dan 3 bulan di Singapura) dan secara terus-menerus menjadi pengajar
ilmu pendidikan, melalui tulisan ini ingin memberikan tinjauan analitik secara
ringkas tentang faktor yang memengaruhi peningkatan mutu pendidikan dan
kedudukan evaluasi dan ujian nasional terhadap peningkatan mutu pendidikan.
SUATU pendidikan dipandang
bermutu-diukur dari kedudukannya untuk ikut mencerdaskan kehidupan bangsa dan
memajukan kebudayaan nasional-adalah pendidikan yang berhasil membentuk
generasi muda yang cerdas, berkarakter, bermoral dan berkepribadian. Dalam
bahasa UNESCO (1996) mampu moulding the character and mind of young generation.
Untuk itu perlu dirancang suatu
sistem pendidikan yang mampu menciptakan suasana dan proses pembelajaran yang
menyenangkan, merangsang dan menantang peserta didik untuk mengembangkan diri
secara optimal sesuai dengan bakat dan kemampuannya. Memberikan kesempatan
kepada setiap peserta didik berkembang secara optimal sesuai dengan bakat dan
kemampuannya adalah salah satu prinsip pendidikan demokratis. Sebagai lawan
dari penyelenggaraan pendidikan yang menjadikan pendidikan hanya sebagai sarana
untuk memilih dan memilah.
Atas dasar ini pula, negara maju
yang demokratis, seperti Amerika Serikat dan Jerman, tidak mengenal ujian
nasional untuk memilih dan memilah. Kebijaksanaan yang diutamakan adalah
membantu setiap peserta didik dapat berkembang secara optimal, yaitu dengan:
(1) menyediakan guru yang profesional, yang seluruh waktunya dicurahkan untuk
menjadi pendidik; (2) menyediakan fasilitas sekolah yang memungkinkan peserta
didik dapat belajar dengan penuh kegembiraan dengan fasilitas olahraga dan
ruang bermain yang memadai dan ruang kerja guru; (3) menyediakan media
pembelajaran yang kaya, yang memungkinkan peserta didik dapat secara
terus-menerus belajar melalui membaca buku wajib, buku rujukan, dan buku bacaan,
(termasuk novel), serta kelengkapan laboratorium dan perpustakaan yang
memungkinkan peserta didik belajar sampai tingkatan menikmati belajar; (4)
evaluasi yang terus-menerus, komprehensif dan obyektif.
Yang terakhir inilah, yang dalam
pandangan saya berdasarkan penelitian, dapat memengaruhi dapat tidaknya kita
menjadikan sekolah sebagai pusat pembudayaan berbagai kemampuan dan nilai, etos
kerja, disiplin, jujur dan cerdas, serta bermoral. Melalui model pembelajaran
yang seperti inilah, yaitu peserta didik setiap saat dinilai tingkah lakunya,
kesungguhan belajarnya, hasil belajarnya, kemampuan intelektual, partisipasinya
dalam belajar yang-menurut pengamatan saya-menjadikan sekolah di Jerman dan
Amerika Serikat mampu menghasilkan rakyat yang beretos kerja tinggi, peduli
mutu, dan gemar belajar.
Mereka setiap hari belajar selalu
mendapat tugas dari semua mata pelajaran yang proses maupun hasilnya dinilai
dan nilai-nilai ini memengaruhi nilai akhir semester dan seterusnya. Model
seperti ini di Indonesia, dari periode Menteri Mashuri sampai Daoed Joesoef,
telah dikembangkan melalui Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP) di
beberapa tempat (Padang, Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Semarang, Surabaya,
Ujung Pandang, sekarang Makassar). Melalui sekolah-sekolah tersebut diterapkan
prinsip belajar tuntas (learning for mastery) sebelum mencapai tingkat
penguasaan tertentu belum boleh mengikuti pelajaran berikutnya dan belajar
berkelanjutan (continuous progress).
Setelah enam tahun dicobakan, model
tersebut ternyata lebih efektif dari sistem yang di sekolah biasa. Sayangnya,
karena pertimbangan mahalnya pelaksanaan model tersebut, oleh Menteri Nugroho
Notosusanto program tersebut tidak dilanjutkan. Pada periode itu, yaitu periode
Menteri Mashuri, Menteri Soemantri Brojonegoro, Menteri Sjarif Thayeb, dan
Menteri Daoed Joesoef, dari tahun 1968 sampai dengan periode Menteri Nugroho
Notosusanto, Indonesia tidak menerapkan ujian nasional. Semula Menteri Daoed
Joesoef akan menerapkan ujian nasional, pada saat itu sebagai Staf Ahli
Menteri-yang baru menyelesaikan penelitian untuk disertasi doktor pada tahun
1981, saya menulis memo kepada Menteri Daoed Joesoef, yang intinya agar beliau
tidak menerapkan ujian nasional.
Dari penelitian yang kami lakukan
dan dilakukan di Amerika Serikat (Benjamin Bloom) ditemukan bahwa tingkah laku
belajar peserta didik dipengaruhi oleh perkiraan peserta didik tentang apa yang
akan dinilai (diujikan). Karena itu, ujian nasional yang umumnya menanyakan
dimensi kognitif dari mata pelajaran akan menjadikan peserta didik selama
belajar tidak merasa perlunya melakukan eksperimen di laboratorium, tidak perlu
membaca novel, tidak perlu latihan mengarang, tidak perlu melakukan kegiatan
terus-menerus secara berdisiplin dan berbagai kegiatan belajar yang dalam
dirinya diarahkan untuk menanamkan nilai dan mengembangkan sikap. Sebab,
kesemuanya itu tidak akan diujikan/dinilai. Dampak lebih lanjut adalah
munculnya lembaga bimbingan tes yang mengakibatkan tidak lagi menjadikan
sekolah sebagai pusat pembudayaan.
Saya tidak menolak keampuhan
pelajaran Matematika dan Bahasa Inggris sebagai indikator kecerdasan peserta
didik. Akan tetapi, dengan pelaksanaan pendidikan yang demikian, SMA sebagai
sekolahnya semua lulusan SMP. Bandingkan dengan Singapura, yang untuk masuk SMA
(Junior College) peserta didik sudah disaring sejak kelas 5 SD, demikian juga
dengan Jerman yang untuk memasuki SMA Jerman (Gymnasium), anak didik disaring
sejak masuk kelas V, dan di Amerika Serikat yang sejak kelas 9 telah diadakan
diversifikasi kurikulum, yaitu kurikulum untuk calon mahasiswa (Preparatory
College) yang berbeda dari kurikulum untuk mereka yang tidak memenuhi syarat
untuk menjadi calon mahasiswa.
Mengapa? Karena SMA di Indonesia
peserta didiknya meliputi juga mereka yang secara akademik tidak memenuhi
syarat untuk menjadi calon mahasiswa dan dengan fasilitas tenaga guru yang
tidak merata, baik jumlah maupun mutunya. Di Amerika Serikat dan Jerman, untuk
menjadi mahasiswa-apa pun jurusannya-harus berhasil dalam pelajaran Kalkulus,
Trigonometri, Fisika, dan Bahasa Asing. Dr Mochtar Buchori menyatakan bahwa
kurikulum SMA kita hanya dapat diikuti oleh 30 persen peserta didik. Karena
itu, dapat diramalkan bahwa mereka yang benar-benar dapat lulus ujian nasional,
yang seharusnya minimum 6 (sesuai dengan pandangan Wapres) tidak akan lebih
dari 40 persen.
Dan, dapat diramalkan pula bahwa
bila demikian hasilnya akan berakibat hasil ujian nasional kembali hanya akan
menjadi salah satu penentu kelulusan. Dan ini yang terjadi pada tahun 2004,
yang karena rendahnya jumlah yang lulus, lalu dilakukan rumus konversi. Apalagi
kalau dikembalikan ke daerah, akan kembali bahwa semua dapat diatur dan tidak
ada aturan yang pasti. Dan ini, dalam pandangan saya, adalah akar dari budaya
koruptif.
ATAS dasar serangkaian ulasan
terdahulu, seyogianya ujian nasional yang sudah direncanakan tidak digunakan
untuk menentukan kelulusan, apalagi untuk SMP. Karena, SMP adalah bagian dari
wajib belajar, yang ketentuannya adalah lamanya pendidikan yang harus ditempuh,
yaitu sembilan tahun. Rencana ujian nasional itu hanya dapat digunakan untuk:
(1) memperoleh peta mutu hasil belajar pada tiga mata pelajaran yang diujikan
sebagai dasar untuk melakukan serangkaian perbaikan dan pembaruan, (2)
menentukan lulusan SMA yang dapat melanjutkan pendidikan ke universitas, untuk
itu minimum nilai kelulusan adalah 6 (dalam skala 1-10), dan (3) menentukan
lulusan SMP yang dapat melanjutkan pendidikan ke SMA.
Adapun kelulusan peserta didik
ditetapkan oleh sekolah berdasarkan prestasi mereka yang diamati secara
terus-menerus oleh para pendidik.
Secara ringkas kiranya dapat
disimpulkan bahwa ujian nasional, seperti pendapat Prof Dr Winarno Surakhmad,
tidak dapat menjadi penentu peningkatan mutu pendidikan, banyak elemen dari
sistem persekolahan yang perlu ditata sebagai minimum quality assurance bagi
meningkatnya mutu pendidikan. Dan, bila ketentuan UUD 1945 Pasal 31 dan UU
Sistem Pendidikan Nasional secara konsekuen dilaksanakan, mutu pendidikan akan
dapat mulai ditingkatkan.
H
Soedijarto Guru Besar Ilmu Pendidikan UNJ,
Ketua Umum Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia, Ketua Badan Akreditas Sekolah
Nasional, Ketua CINAPS
sumber:
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0502/28/Didaktika/1579467.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar