Diriwayatkan
bahwa Rasulullah saw. telah bersabda :
“Maukah kuceritakan kepadamu tentang amalmu terbaik dan paling bersih dalam
pandangan Allah swt, serta orang yang tertinggi derajatnya di antaramu, yang
lebih baik dari menyedekahkan emas dan perak serta memerangi musuh-musuhmu dan
memotong leher mereka, dan mereka juga memotong lehermu?” Para sahabat
bertanya, “Apakah itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Dzikir kepada Allah
swt.” (H.r. Baihaqi).
Sang Nabi saw, bersabda : “Yang paling utama aku ucapkan, aku dan ucapan para Nabi sebelumku adalah Laa
Ilaaha Illallaah…”
Setiap maqom dzikir ada kualifikasi martabat tertentu, baik dzikir
bersuara (jahr) maupun yang tersembunyi (khafy). Semula adalah dzikir Lisan,
kemudian dzikir Jiwa (Nafs), kemudian dzikir Qalbu, lalu dzikir Ruh, lantas
dzikir Sirr (rahasia ruh), kemudian dzikir rahasia (khafi), lalu dzikir paling
rahasia (akhfal khafy)
Kualifikasi dzikir yang diamaksud di atas adalah :
- Dzikir Lisan adalah dzikir di mana dengan dzikir itu mengingatkan qalbu yang
alpa pada dzikrullah Ta’ala.
- Dzikir Jiwa (Nafs) adalah dzikir yang terdengar oleh huruf maupun suara, tetapi
terdengar oleh rasa dan gerak-gerik dalam batin.
- Dzikir Qalbu adalah aktifitas qalbu dengan segala apa yang tersembunyi di
dalamnya dari pancaran Kemaha-agungan dan Kemaha-indahanNya.
- Dzikir ruh, tersimpul pada penyaksian cahaya-cahaya Tajalli Sifat.
- Dzikir Sirr, adalah fokusnyaketersingkapan rahasia-rahasia Ilahiyah.
- Dzikir Khafy adalah menyelaraskan cahaya-cahaya Kemahaindahan Dzat Ahadiyah di
posisi yang benar.
- Sedangkan Dzikir Akhfal Khafy adalah memandang pada hakikat Haqqul Yaqin, dan
tak ada yang tampak kecuali hanya Allah Ta’ala, sebagaimana firmanNya : “Maka sesungguhnya Dia Maha Tahu yang rahasia dan yang lebih tersembunyi (Q.S.Thaha
: 7). Inilah yang paling total dibanding setiap panji dzikir, dan lebih pangkal dari
segala tujuan.
Perlu diketahui, di sana ada sisi Ruh lain yang lebih lembut disbanding ruh-ruh
yang ada yang disebut dengan Thiflul Ma’aany, yaitu suatu kelembutan yang
memotivasi seluruh orientasi menuju kepada Allah swt. Para Ulama Sufi
menegaskan, “Ruh ini tidak bersemai pada setiap orang namun lebih bersemai pada
kalangan khusus, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
“Allah mempertemukan ruh dari perintahNya pada orang yang dikehendaki dari
kalangan hamba-hambaNya.” (Q.S.Ghafir: 15).
Ruh tersebut yang berkelindan secara lazim dengan Alam Qudrat dan Musyahadah di
alam hakikat, sehingga sama sekali tidak berpaling kepada selain Allah swt,
seperti yang disabdakan oleh Rasulullah saw :
“Dunia itu haram bagi ahli akhirat, dan akhirat itu haram bagi ahli dunia, dan
keduanya haram bagi Ahlullah.” (Ad-Daylamy)
Sedangkan jalan Wushul kepada Allah Ta’ala, melalui peneladanan jejak secara
fisik di Jalan yang Lurus melalui hukum syariat, baik malam maupun siang.
Sedangkan di satu sisi, harus melanggengkan dzikir kepada Allah Ta’ala, sebagai
keharusan yang mesti dilakukan oleh para pencari, sebagaimana firmanNya:
“Yaitu orang-orang yang berdzikir kepada Allah baik ketika berdiri dan
ketika duduk dan ketika tidur, dan bertafakkur…” (Q.S.Ali Imron: 191)
Dimaksud dengan berdiri adalah dzikir di siang hari, dan makna “duduk” adalah
dzikir di malam hari. Begitu pula ketika dalam tidur, dalam suasana tergenggam
Ilahi, terhamparkan keleluasaan jiwanya, ketika sehat, sakit, kaya, miskin,
mulia dan abadi, dan sebagainya.
(Syeikh Abdul Qadir Al Jailany)